info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Muridku Suri Tauladanku

Aditya Prasetya 31 Agustus 2013

Menginjakan kaki untuk serius mengajar dikelas memang sudah saya azamkan saat pergi ke sekolah ini, SD Kristen Wunlah. Masih terngiang kata-kata dari Bupati Maluku Tenggara Barat saat melepas kami ke Desa saat pisah sambut dulu,'mengajarlah dengan membawa hati' katanya. Hal yang tersirat dari pesan yang ‘dalem’ ini adalah dengan menjadi guru yang tidak seperti guru-guru kebanyakan di sini (Maluku Tenggara Barat). Ya, kebanyakan guru di Maluku Tenggara Barat (MTB) yang saya dengar dan bahkan saya lihatn mereka mengajarkan anak-anak disini dengan falsafah diujung rotan itu ada emas. Dapat dibenarkan jika guru melakukan tindakan mencambuk atau memukul murid. Maka tak heran kalau guru-guru di MTB banyak melakukan tindak kekerasan pada murid baik secara psikologis maupun psikis. Seakan-akan mereka tidak membawa hati mereka. Melakukan pendidikan dengan penuh kemanusiawiaan. Walaupun tidak sedikit juga dr mereka yang membawa hati ke sekolah. Berusaha tidak memukul anak-anak emas MTB ini.

Saya berusaha semaksimal mungkin untuk membawa hati ini, walaupun rasa rindu keluarga seringkali menyatu tak bisa tersaring. Membuat diri seringkali terpecah kosentrasi, untuk mengajarkan anak-anak maluku ini. Yang memang benar kata guru-guru disini mereka sangat kalabur (nakal). Tapi saya yakin sekalabur-kalaburnya mereka, ada mutiara didalam hati mereka. Bukankah nakalnya mereka adalah bentuk ekspresi mereka. Itu mungkin secuil pemahaman saya tentang psikologi anak yang saya tahu. 

Terkadang saya harus menahan emosi dalam dan luas tak berbatas, saat mereka sulit untuk diterangkan tentang pelajaran. Mereka malah asyik main karet panah, atau tepuk karet dilantai. Bentuk permainan yang sedang ‘in-in’ nya dikalangan mereka (anak-anak Wunlah). Mereka bahkan tidak segan saling mengadu ke saya karena ada yang berkelahi satu sama lain. Atau tiba-tiba menangis karena hilang buku, pulpen atau barang-barang pribadi mereka karena diambil temannya yang lain.

Mereka harus berulang-ulang kali diterangkan baru mengerti. Atau bahkan disini kelas 5-nya saja hanya 10 anak dr 23 murid yang bisa perkalian dengan lancar. Selebihnya menulis dengan benar lambang kali dan pertambahan dengan benar saja sudah  Alhamdulillah. Ini yang terkadang membuat hati 'grendel' sendiri., kenapa mereka harus dinaikan kelas sementara kompetensi  dasar  mereka saja masih belum terpenuhi.

Atau saya pun harus mengakui sering menggerutu sendiri. Anak-anak ini sebenarnya diajarkan atau tidak tentang perkalian, penjumlahan, menulis dan membaca dengan benar oleh guru mereka dahulu? Siapa yang salah sebenarnya para guru atau memang anak-anak maluku yang pambodo (bodoh)? Tapi saya pun tersadar ini adalah kesalahan yang tidak baik saya sesali. Hal yang terbaik adalah lakukan dengan cepat, running pembelajar, pagi, siang, sore, malam untuk mengajarkan mereka hal-hal dasar yang tertinggal. Biarkan mereka tertinggal untuk sekarang tapi nanti diantara mereka saya yakin emas itu berkilauan. 

Dan emas itu tidak usah dipukul dengan rotan atau dimaki-maki untuk mendapatkan kilauannya. Namun dengan bersemangat mengajar tanpa menggurutu saya yakin emas itu tercipta. Didalam diri anak-anak ini saya yakin ada emas, karena memang mereka sebenarnya cerdas. Hanya saja cara mendapatkan keemasan mereka saja yang selama ini menurut saya harus diperbaiki.

Contohnya saja, Agustinus. Menurut para guru disini dia sangat bodoh, sulit diatur bahkan tidak segan mengganggu murid yang lain saat belajar. Ia adalah cucu dari seorang guru disekolah saya mengajar. Dia pernah tidak naik kelas saat kelas 4 yang lalu. Tapi untuk tahun ini dia naik kelas. Yang lagi-lagi saya ragukan bentuk evaluasinya seperti apa. Karena dalam kemampuan dasar menulis saja, apa yang didektekan oleh guru, dia tidak dapat menulisnya dengan baik. Walhasil pertama saya mendiktekan dikelas ini (kelas 5) saya kaget, kenapa dengan si Agustinus, ia hanya memegang pulpen saja tapi tidak mengayunkannya dikertas malah mengayunkannya ditempat temannya (mengganggu). Saat saya tanya, dia hanya tersenyum. Dari senyumnya itu, saya coba menerka bahwa ia tidak bisa menulis saat didikte. Membacanya lancar, menulis dengan membaca pun lancar tapi tidak saat mendikte. Ini keanehan yang saya temukan pertama kali mengajar disini. 

Selama beberapa hari ini saya pun mengajarkannya, walau hasilnya belum terlihat kemajuan secara significant, namun saya melihat ada kemajuan yang dia lakukan. Ia tidak lagi menggangu temannya karena kalau mengganggu ia tahu konsekuansinya. Masuk penjara. Ya, penjara yang saya buat sendiri dengan membatasi ruang geraknya. Dengan cara menaruhnya diujung ruangan namun disekat meja. Hal, yang ia benci. Namun ia harus jalani seketika ia melakukan pelanggaran-pelanggaran dikelas. Oleh sebab itu ia sekarang dengan perlahan-lahan dapat memperbaiki dirinya.

Saya bangga dengan anak ini, walau ia kalabur, tapi ia sangat menghargai saya sebagai gurunya. Saat saya pergi ke Larat, saya pun tidak sekolah karena harus menunggu kapal di pinggir rumah. Ia pagi-pagi sudah kerumah, dan bertanya pada saya, 'pak guru, mari ke sekolah'. Saya pun kaget, anak yang selama ini sangat kalabur (nakal) tapi malah mencari-cari saya. Saya pun mengetahui bahwa sebenarnya ia memiliki semangat belajar yang tinggi. Ia mau memperbaiki dirinya. Mengejar ketertinggalannya dengan kawan-kawan lainnya. Ia sosok yang sangat bersemangat saat belajar, walau sering salah dalam segala hal (membaca, menulis dan berhitung), namun ia terus mencoba. Ia tidak mau kalah dengan murid lainnya, ia dengan berani menulis hasil perkalian didepan kelas dengan salah dan ditertawakan bahkan diejek teman-temannya. Namun anak ini tetap mau saya menunjuknya untuk maju. Ia selalu mengacungkan tangannya saat saya mengajukan pertanyaan untuk mereka.

Ia terus menabrak kesalahan-kesalahan. Berupaya melakukan yang terbaik yang ia bisa. Mencoba semua hal, berlari dengan penuh semangat untuk mengejar ketertinggalan dirinya dari teman yang lain. Ia terus memperbaiki dririnya walaupun terasa berat. Saya bangga dengan anak ini.

Ada lagi sosok anak yang mesti saya sebagai guru harus mencontohnya. 'Kebang' namanya. Ia anak camat disini (Kec. Wuarlabobar). Ia baru pindah dari kota (saumlaki). Ia duduk dikelas 3. Namun kemampuan matematikanya sama dengan anak-anak kelas 5 disekolah saya. Saya pun memakluminya. Wajar saja karena dia dari kota. Mungkin dari cara pembelajaran juga berbeda. 

Tapi yang saya banggakan dari 'kebang' adalah sikap kerendahan hatinya. Berbeda dengan kebanyakan anak pejabat dikota-kota besar, yang tidak sedikit sombong karena jabatan ayah atau ibu mereka. Ini tidak terjadi pada 'kebang'. Ia sangat pandai kemampuan matematika dan menulisnya yang baik ditambah dengan kemampuan bersosialisainya juga baik. Sikapnya tidak menunjukan bahwa ia seorang anak camat. Seorang petinggi ditempat ini.

Suatu kali sekolah kami mengadakan pelepasan guru (karena pensiun). Setiap anak diminta membawa makanannya sendiri (bekal). 'Kebang' yang anak camat ini lupa memberitahu ibunya. Walhasil ia pun tidak mempunyai bekal untuk dibawa ke sekolah hari itu. Karena ibunya belum membuatkan bekal untuknya. 

Kebetulan hari itu saya lewat depan rumah 'kebang' yang dekat dengan kantor camat (ayahnya). Saya melihat kebang sedang sendu menangis sendiri dengan rumput sebagai bahan curahan hatinya. Ia berbicara pada rumput yang dipegang atas segala kegundahan hatinya. Lucu memang anak ini. Melihat itu, saya dengan spontan bertanya sebab tangisan sendunya. Seketika itu juga wajahnya langsung terdiam seakan tidak ingin tangisnya diketahui orang lain. Saya pun baru tahu dari ibunya kalau ia menangis karena tidak ada bekal yang harus ia bawa dari rumah ke sekolah. Ia merasa bersalah dan malu dengan teman-temannya yang lain.

Satu sikap yang mesti saya pelajari dari ia adalah walaupun ia seorang anak camat ia merasa sama seperti anak-anak yang lain. Harus mematuhi peraturan sekolah, harus membawa bekal ke sekolah pada hari itu. Sampai saya bujuk pun untuk ikut bersama saya, ia tidak mau. Yang ia mau adalah sama dengan teman-temannya yang lain. Membawa bekal dari orang tua. Memakan makanan bekal orang tua di kelas berbeda. 

Ia bisa saja bergabung dengan orang tuanya nanti di meja kehormatan. Bisa saja ia tinggal datang kesekolah lalu bilang ke guru bahwa ia tidak bawa bekal ke sekolah kerena lupa. Saya yakin guru pun akan membiarkannya masuk ke acara. Karena tahu kesibukan kedua orangtuanya. Tapi tidak dengan kebang. Ini yang membuat saya bangga dengan kebang. Ia harus menyamakan tempatnya sama dengan anak – anak yang lain.

Sikap rendah hati sang anak camat. Yang tidak mau diperlakukan dengan istimewa malah membuat ia ('kebang') sangat istimewa depan mata dan hati saya. Sungguh saya harus banyak belajar dari kerendahan hati anak ini. Berperilaku sama dengan anak lain, cepat bersosialisasi, beradaptasi, bahkan sepengetahuan saya ia sangat disukai oleh teman-temannya sepermainan. Karena ia tidak segan meminjamkan sepedanya ke teman-temannya yang lain. 

Diwaktu beberapa minggu ini saya pun malu sendiri dibuatnya. Masih terdapat rasa iri melihat hati dan perbuatan para mutiara-mutiara ini. Iri untuk selalu memperbaiki diri. Iri untuk senantiasa belajar dari mereka. Iri untuk lebih dapat bersikap baik pada sesama.

Saya tidak habis pikir ternyata disalah satu ujung negeri ini banyak sekali hal yang menjadi cermin diri saya pribadi. Sosok-sosok yang mesti jadi tauladan, walaupun umur memang kurang sepadan dijadikan contoh. Saya rasa ini adalah kawah candradimuka saya untuk senantiasa belajar dari anak-anak disini. Belajar untuk terus menabrak kesalahan untuk senantiasa memperbaiki diri. Belajar untuk senantiasa rendah hati. 

Doa dalam rasa syukur atas kesempatan emas dalam pembelajaran di Wunlah ini yang hanya dapat saya lakukan. Bertemu dengan banyak mutiara hikmah. Para 'guru kecil' kehidupan saya. Merekalah yang saya jadikan suri tauladan saya disini. Diwunlah, negeri para suri tauladan kehidupan. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua