Amanah Markisa

Aditio Tantra Danang Wisnu Wardhana 6 September 2016

Pagi mulai tiba di desa Datar Lebar, sebuah desa yang berjarak sekitar satu bukit dari desaku. Membutuhkan waktu tempuh hampir setengah jam untuk kesana dengan menggunakan sepeda motor. Kalau kita memilih untuk berjalan kaki mungkin sekitar 1-2 jam. Bukan hal yang asing ketika orang-orang memilih untuk berjalan kaki ketimbang menaiki kendaraannya. Aku masih berdiri di salah satu tepi pinggiran jalan desa yang terlihat lebih sempit dan lebih gelap dari biasanya. Mungkin karena ini masih jam 3 pagi. Tidak ada penerangan apapun, hanya sebinar cahaya redup dari lampu-lampu yang ada di dalam beberapa rumah panggung.

Berdiri di pinggir jalan sepagi ini bukan tanpa alasan, aku harus tetap terjaga agar bisa menaiki mobil yang turun ke Pusat Kabupaten Muara Enim. Hari itu kita sebagai Pengajar Muda XII Muara Enim telah bersepakat untuk berkumpul di pusat kabupaten. Kulihat sekelilingku, sesekali kulihat ke atas langit malam yang penuh bintang. Rasanya masih tetap saja sama, entah kenapa langit-langit di daerah bukit barisan ini lebih jujur ketimbang langit di kota. Disini langit lebih jujur untuk birunya dan segala kumpulan bintangnya. Masih teringat beberapa kalimat warga desa  bahwa mendekati musim kemarau daerah bukit barisan akan menjadi lebih dingin. Hmmm, mungkin itulah alasan kenapa pagi ini aku memeluk erat tubuhku dengan kedua tanganku. Dinginnya menusuk sampai ke tulang.

Kuhitung sudah hampir lebih dari setengah jam aku berdiri di tepi jalan desa. Beberapa saat setelahnya terdengar suara yang tidak asing lagi bagi kita yang telah lama tinggal di daerah bukit barisan. Seiring dengan suara itu juga terlihat sorot lampu panjang terpantulkan oleh kabut-kabut tipis yang menutupi sepanjang jalan antar desa. Masih tidak terlihat apapun, tapi entah kenapa aku yakin bahwa itulah kendaraan milik Pak Lakun. Siapa lagi yang berkendara sepagi ini kalau bukan Pak Lakun.

Entah sudah berapa lama Pak Lakun menjadi seorang sopir kendaraan yang biasa kita sebut Taksi Semende itu. Dia mungkin adalah orang yang telah bangun lebih dulu dibandingkan yang lain. Disaat yang lain masih tertidur di dalam selimut tebal dia sudah bersiap dengan baju, jaket dan topinya. Pak Lakun jugalah orang pertama yang mengantarkanku kembali ke desa ketika pertama kali aku tiba di Muara Enim.

Taksi itu semakin mendekat hingga beberapa meter saja berhenti di depanku. Kaca mobil perlahan terbuka dan ternyata benar saja, ada senyuman wajah yang tidak asing lagi. Ya, itulah Pak Lakun. Mobilnya terlihat lebih penuh dari biasanya, mungkin karena hari minggu. Ketika hari minggu beberapa warga desa turun ke kecamatan bawah untuk menjual hasil tanam mereka. Pagi itu aku duduk tepat disamping Pak Lakun. Setelah sekian lama inilah kali pertama aku bisa duduk tepat disamping sopir. Biasanya aku hanya duduk di barisan paling belakang, bergantungan di belakang mobil dan terakhir aku duduk di atas mobil. Musik klasik terdengar secara perlahan dari speaker yang sengaja dipasang oleh Pak Lakun demi kenyamanan penumpangnya.

Beberapa menit berjalan tiba-tiba terdengar suara benda yang jatuh. “Pasti salah satu karung yang ditaruh diatas mobil jatuh” Pikirku. Ternyata reaksi yang sama juga muncul dari penumpang yang berada di bagian belakang, mereka memukul body kendaraan tersebut hingga muncul berbagai macam bunyi. Pak Lakun rupanya memahami sinyal itu. Mobil itu berhenti, Pak Lakun mulai turun. “Kardus Markisa Umban Mang” (Kardus isi Markisa jatuh). Jarak waktu antara bunyi benda jatuh dan mobil berhenti cukup lama, berarti jarak tempat jatuh dan jarak mobil kita juga lumayan jauh.

Perlahan-lahan kususuri jalanan gelap berkelok itu bersama Pak Lakun, ditemani oleh angin dingin yang mulai menggoda. Beberapa menit berjalan sampailah kita ditempat yang ingin kita tuju. Sekumpulan markisa telah saling menyebar di daerah itu. Beberapa di jalanan, rerumputan dan semak belukar. Tanpa pikir panjang Pak Lakun segera mengambil buah markisa satu persatu hingga kardus markisa itu penuh lagi seperti semula. Kukira setelah mengumpulkan ini kita akan segera kembali ke bangku depan dan melanjutkan perjalanan lagi. Ternyata aku salah, Pak Lakun masih meminta tolong untuk diberikan penerangan dari lampu sorot hp ke beberapa tempat. Di sudut terbawah dari jalanan berkelok, di pangkal akar semak-semak hingga beberapa titik yang bahkan aku tidak bisa melihat dasarnya.

Jumlah Markisa di daerah Semende cukup melimpah sehingga awalnya aku berpikir Pak Lakun akan mengabaikan satu,dua buah yang jatuh, tapi ternyata aku salah. Pak Lakun tetap berusaha mencarinya sekalipun itu hanya satu markisa. Pak Lakun melakukan itu karena sebuah amanah yang telah diberikan kepadanya harus dijalankan dengan sebaik mungkin. Beliau diberikan amanah untuk mengantarkan sekumpulan buah markisa tersebut ke daerah kecamatan bawah, sehingga beliau akan benar-benar menjaga dan mengantarkannya hingga sampai ke tujuan.

Ini bukan kali pertama aku melihat Pak Lakun dengan semua hal baiknya. Seingatku, terakhir beliaulah orang yang sangat setia menungguku di terminal Muara Enim. Juga seingatku beliaulah yang dengan baik hati menjemputku di suatu tempat yang aku sendiri lupa namanya meskipun waktu itu kita belum pernah bertatap muka. Beliau juga orang yang sering menyuruhku untuk menginap di rumahnya ketika sudah terlalu petang untuk kembali ke desa. Beliau mungkin tahu jarak dari titik terakhir taksi berhenti dan desaku masih lumayan jauh. Berjarak satu bukit kira-kira.

Sesekali aku bertanya kepada diriku sendiri tentang sebuah perjalanan yang akan menjadi sering kulakukan karena sebagai Pengajar Muda tahun terakhir di Kabupaten Muara Enim. Turun ke Kabupaten, meninggalkan desa untuk beberapa saat hingga melewatkan beberapa masa bersama sekolah dan seisinya. Di masa-masa itu rasanya, tak satu sosok atau bahkan orangpun yang mampu menggantikan momen bersama anak-anak di sekolah. Perjalananku ke pusat kabupaten kukira akan menjadi suatu perjalanan yang monoton hingga tidak pernah menarik untuk diceritakan. Nyatanya aku terlewat egois dengan semua pemikiran itu. Nyatanya semua itu punya arti dan makna tersendiri ketika kita benar-benar menikmatinya. Bahkan sekalipun kita hanya berdiri di sela rerumputan sembari bernafas dibawah langit semende.

Aku yakin bahwa ada banyak sosok seperti Pak Lakun di bukit-bukit yang lain, di tempat-tempat yang lain hingga di belahan bumi yang lain. Bahwa bukan tentang profesi yang kita jalani, tapi tentang bagaimana diri kita memaknai hidup dan mengamalkan apa yang seharusnya. Pak Lakun hanyalah seorang sopir Taksi Bukit Barisan, Tapi entah kenapa bersamanya jalanan bukit barisan yang sama tidak akan punya cerita yang sama. Terima Kasih Pak Lakun.


Cerita Lainnya

Lihat Semua