Tubuh Punya Hak untuk Beristirahat
Adhiti Larasati 16 Oktober 2011
Kejadiannya bermula tiga minggu yang lalu saat fisik ini sudah tak mampu lagi menahan serangan Plasmodium Falciparum yang disebarkan nyamuk – nyamuk Papua ketika menggerogoti tubuhku. Aku sadar, salahku sendiri untuk tidak memenuhi hak tubuh ini beristirahat dan mendapat asupan gizi yang cukup. Padahal saat – saat itu adalah saat – saat dilaksanakannya forum KKG tentang Evaluasi Diri Sekolah (EDS) yang memakan waktu 2 hari kerja tanpa makan siang yang baik. Tidak cukup sampai di situ, pembahasan EDS berlanjut di sekolah dan memakan waktu hampir satu minggu. Walaupun capek, aku sangat bersyukur. Adanya EDS membuat sekolah berbenah, bergiat untuk memperbaiki diri merapikan administrasi sekolah sebelum datangnya tim LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dari Jayapura di Distrik Teluk Patipi. Sekolah bagaikan sang Putri yang sedang bersolek menyambut datangnya Pangeran berkuda putih, tidak ingin memperlihatkan noda – noda hitam di wajah dan mendapat kesan baik dari Sang Pangeran. Aku berharap, Sang Putri tidak akan berdandan sampai Pangeran datang saja, tetapi terus mempercantik diri dengan sebenarnya dengan juga mempercantik kondisi batiniahnya, dalam hal ini SDM Sekolah. Hal itulah yang membuat pola makanku sangat buruk karena setiap harinya, pembahasan EDS berlangsung setelah jam mengajar selesai sementara aku langsung melanjutkan kegiatan tersebut dengan memberi asupan gizi pada anak – anak : Les Sore, tanpa makan siang terlebih dahulu. Hal ini diperburuk dengan Rapat Pencalonan Kepala Desa di akhir minggu (Jumat malam) yang forumnya berlangsung panas, diselingi dengan debat sengit, dan berlangsung hingga jam 12 malam di rumahku. Persis seperti anggota – anggota DPR yang sedang berkelahi memperebutkan kekuasaan dalam berita TV yang sering aku tonton. Setelah rapat selesai, rumah masih ramai dan aku baru bisa benar – benar beristirahat jam 2 pagi. Setelah itu pun, aku tidak bisa tidur karena badan terasa panas, menggigil, dan tulang – tulang serasa akan dicopot dari tempatnya.
Esok paginya di hari Sabtu, aku merasa kondisiku membaik dan aku mengajar seperti biasa. Namun di akhir pelajaran, tubuh ini sudah benar – benar memberontak dengan memberikan reaksi mual dan memuntahkan sebagian isi perut. Aku pun menyerah, kembali ke rumah tanpa memberikan Latihan Upacara Bendera seperti biasanya. Saat itu Bapak sedang pergi berkebun sementara Mama pergi ke kota untuk menjual hasil kebunnya sehingga aku hanya bisa berbaring karena sudah tidak memiliki tenaga untuk sekedar memasak nasi. Tak terasa, air mataku menetes, teringat akan Ibu dan Bapak nun jauh di sana. Aku merindukan usapan tangan Ibu di rambutku ketika aku sakit. Tak lama, Mama Kei, Mama ketigaku setelah Ibu dan Mama Dusun datang mengecek keadaanku. Amrin, muridku yang adalah anak Mama Kei melaporkan padanya bahwa aku muntah – muntah di sekolah. Ia membawakanku segelas air hangat, menggosok dan memijat badanku dengan minyak tawon, kemudian membawaku ke rumahnya untuk makan dan beristirahat. Dia menyarankan agar aku segera ke kota untuk berobat karena menurutnya, aku terserang malaria. Aku pun menurutinya sambil menunggu angkot yang lewat untuk membawaku ke kota. Hingga pada akhirnya jam 4 sore, angkot lewat. Akan tetapi angkot itu bukan angkot jalur biasanya. Dia mengantarkan penumpang dulu ke Distrik Kokas, distrik sebelah tempat temanku Eky bertugas. Aku tau, perjalanan ke kota akan memakan waktu dua kali lipat jika aku ikut ke Kokas terlebih dahulu, tetapi aku juga tahu, tidak akan ada lagi angkot yang lewat karena senja sudah mulai menampakkan dirinya. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut. Sampai di kota jam 19.30 malam, aku langsung menuju tempat praktik dokter. Antriannya cukup panjang. Aku baru mendapat giliran periksa jam 21.00 malam. Hasil diagnosa dokter mengatakan tak ada malaria dalam tubuhku. Aku pun sedikit lega. Malam harinya aku memutuskan untuk tidur di hotel, tidak ingin mengganggu saudara-saudaraku di kota karena hari sudah terlalu malam (sekitar jam 10.00). Malam hari itu tubuhku kembali menggigil dan panas, tulang serasa hendak dicopot dari tempatnya, dan aku menjadi tidak yakin kalau aku tidak terserang malaria.
Keesokan paginya, kondisiku membaik lagi, aku lalu menghubungi teman – teman PM, berandai – andai dan berharap semoga mereka juga ada di kota. Benar saja, Angga dan Ika sedang melakukan misa di Gereja Misi. Aku sangat bersyukur dan segera menemui mereka. Aku menceritakan kondisiku pada mereka. Ika dan Angga menyarankan agar aku tetap berada di kota. Ika lalu minta tolong pada Suster di Gereja Misi agar aku boleh tinggal bersama mereka. Hari Senin paginya, ditemani Ika aku pergi ke Balai Pengobatan Fatima, cek darah ulang. Ternyata memang benar, aku terserang malaria tropica. Beruntungnya aku, malarianya baru mencapai plus 1. Saat itu terjadi kebimbangan antara pulang ke desa atau beristirahat di kota. Aku tidak ingin meninggalkan anak – anakku tapi aku juga takut kondisiku akan memburuk jika aku pulang ke desa. Akhirnya aku pun memutuskan untuk tinggal di kota beberapa hari lagi hingga kondisiku benar – benar membaik. Siangnya Ika kembali ke Siboru untuk kembali menunaikkan kewajibannya.
Selama 3 hari, aku tinggal di rumah Kesusteran Katolik. Sangat senang aku berada di sana. Suasana rumahnya sangat asri dan membawa damai, membuatku merindukan Masjid. Mereka juga menerima dan merawatku dengan sangat baik. Walaupun aku muslim dan berjilbab, mereka tetap menerimaku dengan tangan terbuka. Setiap sore, mereka melakukan doa sore. Sebelum makan, mereka juga memanjatkan doa makan Orde Fransiskan yang sangat indah. Ketika mereka berdoa atas nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, aku berdoa pada Allah Yang Maha Esa. Ketika mereka mengatupkan jari – jarinya waktu berdoa, aku menengadahkan tangan saat berdoa. Aku benar – benar terenyuh dengan toleransi yang ditunjukkan di sini. Semboyan “Satu Tungku Tiga Batu” yang dianut Fakfak memang benar – benar diterapkan di kehidupan sehari – hari. Secara batiniah, aku sembuh total walaupun tekanan darahku masih menujukkan angka 90/60 dan hasil tes diagnostik malaria masih menunjukkan angka +1. Aku pun memutuskan untuk pulang ke desa hari Kamis pagi karena rindu dan rasa bersalahku pada anak – anak sudah tidak terbendung lagi. Bagaimana tidak? aku harus meninggalkan kewajibanku mengajar gara – gara kesalahan yang aku perbuat sendiri.
Di desa, aku kembali siap tempur menegakkan perisai di dada. Mama menyambutku dengan pelukan setibanya aku di sana. Bapak dan Mama lalu menyuruhku untuk mengurangi aktivitas sementara waktu itu. Aku pun tersenyum. Ya, aktivitas memberikan pelajaran tambahan memang aku hentikan minggu itu. Tetapi minggu berikutnya, aku sudah kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Aku benar – benar sudah merasa sehat ! Satu hal yang pasti, aku tidak akan melupakan lagi bahwa tubuh ini memiliki hak untuk beristirahat. Jika kau tidak memenuhinya, maka ia akan memberontak mengambil hak orang lain darimu. Tidak baik bukan?
Fakfak, Oktober 2011
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda