Putih

Adhiti Larasati 24 Februari 2012

Seorang teman pernah berkata, senyum anak – anak adalah sebuah kekuatan bagi yang melihatnya. Aku sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Bagiku, binar mata bahagia dan senyuman seorang anak adalah lambang kepolosan, kesucian, dan kebahagiaan akan anugerah kehidupan.  Layaknya selembar kertas putih tanpa goresan warna – warna. Begitulah visualisasi seorang anak dalam benakku.

                Tersebutlah Abdon Mury, seorang anak kelas empat SD yang berasal dari Kampung Tetar. Dia merupakan keturunan suku Baham, suku asli masyarakat Fakfak. Anak negeri, kalau orang sini bilang. Perawakannya kurus kecil, dengan rambut keriting dan kulit hitam. Garis mukanya sangatlah kuat. Khas anak negeri. Senyumnya ceria dengan gigi yang selalu terlihat saat dia tersenyum. Dia bukanlah termasuk golongan murid teristimewa dengan rentetan nilai sempurna dari tugas – tugas yang kuberikan padanya. Dia juga bukan siswa termanis yang dapat dengan mudah seorang guru jatuh hati padanya. Akan tetapi, dia juga bukan jenis murid yang membutuhkan perhatian ekstra untuk memotivasinya menyamai kemampuan akademis teman sebaya yang lain. Pun, dia juga bukan seorang anak berkebutuhan khusus yang memerlukan pendampingan tambahan.

                Walaupun demikian, entah kenapa Abdon Mury selalu memiliki daya tarik yang cukup kuat untuk membuatku menaruh perhatian padanya. Dimulai saat hari keduaku mengajar di SD Inpres Offie, Abdon Mury adalah satu- satunya murid yang datang terlambat hari itu. 07.45, 15 menit dari waktu yang seharusnya. Tapi pagi itu dia datang dengan ceria. Mengucapkan salam “Selamat pagi Ibu!” dengan lantangnya dan duduk di bangku paling depan. Dia masuk kelas tanpa sedikitpun merasa bersalah, padahal teman- temannya yang lain sedang berdoa. Aku waktu itu hanya bisa menoleh padanya, melongo. Akhirnya setelah bisa menguasai diri, aku mengingatkannya dengan agak ketus untuk tidak datang terlambat keesokan harinya. “Lain kali kau datang lebih pagi Abdon..Bisa ?” Dan masih kuingat dengan jelas, saat itu dia cuma mengangguk polos dan segera mengeluarkan buku – buku dari tasnya .

Beberapa minggu kemudian, aku baru tahu ternyata jarak Kampung Tetar – Offie cukup jauh dan Abdon harus melewatinya dengan berjalan kaki setiap harinya. Hebatnya, seorang Abdon Mury langsung datang tepat waktu keesokan harinya setelah ia kuperingati tentang keterlambatannya itu. Ia memang anak yang gigih. Dan entah kenapa, saat itu aku dihinggapi dengan rasa bersalah.

Selang beberapa waktu, dia menarik perhatianku dengan berbagai tingkahnya yang polos dan lugu. Terkadang kelakuannya mebuatku kesal, tapi aku tidak pernah bisa benar – benar marah padanya.  Saat aku selesai menerangkan operasi hitung campuran dan menginstruksikan mereka mengerjakan latihan, dengan polosnya ia berkata “Ibu, bikin bagaimana?” “Iyo dikerjakan toh? seperti contoh yang tadi Ibu terangkan. Pakai urutan lagu – lagu yang tadi kita nyanyi sama – sama” “Aish, beta ini tara mengerti ooo” serunya lantang sambil menggaruk – garuk kepalanya.

Ekspresinya sangat lucu, tetapi membuat hatiku mencelos. Tepat sebelum menginstruksikan latihan soal, anak – anak mengaku mengerti dengan contoh soal yang kutulis di papan. Aku juga mengajarkan mereka lagu buatan Dimas Sandya, PM Aceh, tentang Operasi Campuran yang menggunakan nada lagu Becak. Hal itu kulakukan supaya mereka lebih mudah mengingat urutan pengerjaan dalam Operasi Campuran. Akhirnya aku berkata “Ada lagi yang tidak mengerti?” Barulah dari situ beberapa anak mulai mengacungkan tangannya. Akhirnya, kuulangi lagi penjelasanku pada satu persatu dari mereka.

Pernah sekali waktu saat jam terakhir, aku menerangkan pelajaran IPA tentang daur hidup hewan. Tiba – tiba Abdon pindah tempat duduk ke bangku paling belakang, melipat kedua tangannya, lalu menundukkan kepalanya di atas lipatan tangan. Aku lalu bertanya “Abdon, kenapa kau pindah tempat duduk?”. Dia lalu mengangkat kepalanya “Saya mengantuk Ibu” lalu kembali menundukkan kepalanya. Sebagian teman – temannya cekikikan melihat kelakuannya. Sementara aku cuma bisa menghela napas, menghampirinya “Ibu tau ini sudah jam terakhir, tapi tolong sebentaaaaar lagi saja, ya?” dan ia pun akhirnya kembali ke tempat duduknya.  Sesudah kejadian tersebut, barulah beberapa anak lain mulai protes mengenai jam terakhir itu. “Ibuuu..katong su lapar ini..kampung tengah su merontak” (“Ibu, kami sudah lapar, perut kami sudah keroncongan”). Ketika sudah begitu, aku lalu mengajak mereka bernyanyi dan bergembira. “Merah..Merah..ayooo katong nyanyi Duduk Manis dulu”.

Begitulah Abdon Mury, dia seringkali menjadi pionir dari teman – temannya, mengambil sebuah inisiatif, walaupun dia bukanlah seorang anak yang menonjol ataupun bersifat dominan. Hal ini sangat berguna bagiku ketika melakukan evaluasi. Seringkali, Abdon Mury kujadikan parameter utama dalam penilaianku. Keluguan dan keceriaannya justru membukakan cakrawala bagiku untuk memahami kondisi anak – anakku yang lain. Dia adalah pintu gerbang yang membukakan sekat – sekat tak terlihat antara guru dan murid : sebuah rasa segan. Dia adalah sumber kekuatan bagiku. Jika aku bertemu dengannya di jalan, dia selalu menyapaku lantang “Ibuuuuuu...” serunya.

Memasuki semester dua ini, aku meminta murid – muridku untuk meredefinisi kembali harapan dan cita – cita mereka kemudian menggantungkannya di tiang harapan. Agar selalu teringat dalam benak mereka, bahwa mereka memiliki suatu tujuan yang akan mereka kejar. Ketika kuminta satu per satu maju untuk menempelkan harapannya, Abdon menjadi yang pertama kali maju.

Cita – citanya masih sama seperti dulu, menjadi tentara. Namun, berbeda dengan harapan teman – temannya yang lain yang penuh dengan ambisi seperti “Aku ingin mendapat juara semester dua ini” atau “Aku ingin mendapat juara lagi” harapannya sungguh sederhana “Saya berusaha menjadi anak yang pintar”. Sepenglihatanku belakangan ini, dia memang memperlihatkan integritasnya untuk  berusaha dengan sungguh – sungguh menggali ilmu. Kalau dulu ia sering tiba – tiba keluar kelas ketika sudah mulai bosan, akhir – akhir ini ia lebih anteng di dalam kelas. Ia juga selalu berusaha untuk mengerjakan tugas – tugas yang kuberikan dengan tepat waktu.

Beberapa waktu lalu, aku memeriksa kerapian anak – anak di hari Senin. Kerapian ini terdiri dari kelengkapan seragam : kemeja putih, rok / celana merah, sepatu, dan kaos kaki. Barang siapa tidak lengkap, akan diberikan hukuman maju ke depan kelas dan diberikan tugas tambahan. Abdon Mury menjadi yang terakhir kuperiksa (posisinya duduk di bangku paling pojok depan). Kali itu, dia memakai sepatu tetapi tidak memakai kaos kaki. Sepatu yang dikenakannya sudah lusuh dan mulai robek di beberapa bagiannya. Aku menyuruhnya maju ke depan kelas bersama anak – anak lain yang seragamnya tidak lengkap. Anehnya, dia maju dengan percaya diri dan ceria, tanpa rasa bersalah atau malu sedikitpun. Ia melangkah maju dengan wajah tegak dan tangan terayun. Berbeda dengan anak – anak lainnya yang menundukkan kepala ketika kusuruh maju ke depan kelas.

“Abdon , kenapa kau tidak pakai kaos kaki?” “Beta tara punya kaos kaki Ibu” (“Saya tidak punya kaos kaki Ibu”)

 Aku terdiam sejenak. Sungguh, setelah dua semester ini  Abdon Mury tetaplah putih.


Cerita Lainnya

Lihat Semua