Uwa'nya Pila

Adeline Susanto 2 Januari 2011
Aku menemukan sosok yang menarik di desaku. Bukan tentang belahan jiwa, tenang saja karena aku masih mengingat pesan Prof. Dr. H. Arief Rachman untuk tidak jatuh cinta. Namanya Uwa Pila. Uwa adalah sebutan Bapak dari anak-anaknya. Beliau adalah orang Mamuju, suami dari Bu Zakia. Bapaknya pernah bekerja di Tanjung Priuk dan kakaknya saat ini tinggal di dekat bandara Mamuju dan bekerja di sana. Setiap bulan beliau mendapatkan akses untuk ke Makasar gratis dari kakaknya itu. Uwa Pila banyak mengatakan bahwa dia terbiasa berada di lingkungan multi kepercayaan. Di rumahnya di Mamuju, beliau dibiasakan bapaknya untuk menerima perbedaan, agama khususnya mulai dari Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Duduk makan bersama orang-orang yang berbeda tidak dianggap najis. Tidak jarang pada masa mudanya beliau ikut ke gereja. Bapaknya tidak melarang, anak-anaknya diberikan kebebasan untuk tumbuh. Satu larangannya, mengganggu agama orang lain. Itu yang paling tidak disukainya. Dalam mendidik anaknya, Uwa Pila juga dapat diacungi jempol karena beliau menyadari adanya potensi yang berbeda-beda dalam diri setiap anaknya. Anak pertamanya bisa membaca karena rajin belajar, sedangkan anak keduanya jadi lancar membaca karena belajar dari tontonan televisi. Anaknya yang tertua, Vira (hipotesisku nama inilah yang menyebabkan ada kata Pila – menurutku, arti Uwa Pila adalah Bapaknya Vira), kelas 2 SMP, merupakan sosok yang rajin belajar dan pandai dan sering berada di rumah. Uwa Pila mendorong anaknya untuk bergaul dengan orang lain dengan mengatakan bahwa “kita harus malu kalau ada satu hari tanpa ada orang datang berkunjung”. Rumahnya memang terbuka untuk siapapun yang mau datang. Anaknya yang lain yang kulihat, Gibran, kelas 3 SD terlihat sibuk membenarkan sepedanya. Sekali-sekali dia datang meminjam peralatan seperti linggis. Memberikan ruang bertumbuh, mencoba, dan berusaha, Uwa Pila tidak menolong di awal. Gibran bebas mengganti Ban sebisanya, kalau tidak bisa barulah sang bapak datang untuk membantu. Uwa Pila memberi anaknya ruang untuk bermimpi dan mengusahakannya. Dalam skala kecil, Uwa Pila mengusahakan untuk pergi ke Majene hanya untuk membeli bakso atau sate ketika anaknya meminta. Tentunya sebagai bentuk apresiasi dari usaha tertentu anak. Kalau masih bisa saya usahakan, pasti akan saya lakukan, katanya. Dalam skala besar, sekolah misalnya, beliau berbincang serius dengan anaknya perihal keinginan sekolah. Anaknya yang memutuskan sendiri apa dia mau sekolah atau tidak. Uwa hanya mengatakan bahwa jangan sampai ia mengorbankan banyak hal untuk mendukung pendidikan sang anak yang tidak bisa menghargainya. Uwa adalah seorang petani. Dan, petani mana di Indonesia yang kaya? Namun, beliau tidak menyerah pada keterbatasannya. Mengusahakan yang terbaik untuk kecerahan masa depan anaknya. Vira mau jadi dokter ucapnya. Uwa Pila sadar bahwa arti kebahagiaan itu bukan tentang gaji. Beliau bisa mengusahakan untuk menjadi PNS, seperti sebagian besar orang di sini yang mengidentikan kesuksesan dengan profesi tersebut, namun beliau memilih tetap menjadi petani. Selama kebutuhannya bisa ditutupi dan beliau punya waktu untuk memeriksa hasil pekerjaan anak-anaknya di sekolah, itu cukup. Aku melihat dari caranya berbicara bahwa dia sangat pandai dalam bersyukur. Rasa sayang terpancar dari raut wajahnya, demikian juga semangat hidup dari matanya. Aku beranjak dari rumahnya sambil mengatakan Assalamualaikum. Beliau tertawa dan bilang, “jangan Assalamualaikum.. Selamat sore!” yang kubalas dengan senyumku, “Untuk saya, Pak, Assalamualaikum adalah bentuk doa yang saya ucapkan dalam Bahasa Arab”. Dia katakan terima kasih dan aku pun melaju menuju rumah dengan tambahan inspirasi. Inspirasi bukan hanya milik orang kota, Bung. Bukan hanya dimengerti oleh orang yang berpendidikan. Inpirasi ada di sekitar kita. Di setiap jiwa-jiwa yang berjuang untuk hidup. Melawan semua keterbatasan. Memikirkan apa yang jauh di depan tanpa kehilangan hari ini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua