seputar kisah di SDN Cipare

Adeline Susanto 1 November 2010
Minggu ini aku melihat wajah-wajah Indonesia yang baru. Mengalami praktek mengajar di SDN Cipare merupakan campuran berbagai pelajaran hidup dalam waktu singkat. Sekolah ini mungkin hanyalah satu dari sekian SD yang beruntung memiliki SD dengan lapangan dan meja kursi yang lengkap. Satu set komputer bermonitor cembung  serta satu organ listrik merupakan kemewahan yang mungkin hanya sedikit SD dapat mencicipi. Guru-guru pun terlihat cukup banyak saat kami pertama kali mengunjungi sekolah ini. Namun, setelah hal-hal yang kasat mata itu lewat, nampak pula warna lain dari SD di Ciawi, Jawa Barat ini. Mata-mata dari kepala-kepala yang mungil itu menengok ke arahku dan teman-teman pengajar muda lainnya. Tatapan mata yang menunjukkan kebingungan akan keberadaan seorang asing. Beberapa tersenyum, beberapa cuek dan tetap bermain sambil sedikit-sedikit melirik. Kami mendeteksi keberadan ruang guru dan dengan mudah dapat kami temukan ketika melihat keberadaan sosok dewasa berpakaian cokelat-cokelat khas guru. “Ini Bu, kami calon pengajar muda yang akan ditempatkan di Majene, Sulawesi Barat. Semoga diizinkan untuk belajar mengajar selama seminggu di sekolah ini.” Kata kami kepada Ibu Ris yang paling dituakan. Sebenarnya kami yakin surat dari panitia GIM sudah diterima oleh pihak sekolah, tapi itu tidak ada hubungannya dengan usaha kami untuk mengenal dan dikenal oleh guru-guru di sana. Sambutan dari mereka sangat baik dan kami  langsung menyusun jadwal mengajar selama satu minggu. Maka mulailah hari-hari penuh makna itu. Seorang guru harus dapat merencanakan dengan baik apa yang ingin dia sampaikan pada hari mengajar.Penting sekali untuk guru mengetahui  apa standar kompetensi dari mata pelajaran menurut kurikulum nasional, bagaimana kompetensi dasar yang ingin dicapai, apa indikator keberhasilannya, bagaimana langkah-langkah pembelajaran, dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana evaluasi ketersampaian bahan ajar pada siswa.  Malam-malam itu dipenuhi tumpukan buku serta gelas-gelas kopi, sesekali gunting, spidol dan kertas-kertas. Pelatihan mengenai metode belajar membuat kami tertantang untuk menyajikan pelajaran yang menyenangkan untuk siswa sehingga kondisi optimal untuk belajar dapat tercipta. Hari pertama mengajar merupakan pengalaman yang menarik. Anak-anak antusias ketika kelas dibuka dengan yell-yell dan lagu. Semangat juga terasa ketika anak-anak itu diminta keluar untuk mengamati tumbuhan di sekitar sekolah. Namun, sepertinya memang ruang kelas itu lebih identik dengan keseriusan. Semangat dan antusiasme mulai berkurang ketika mereka masuk kembali ke kelas.  Ketika aku kemudian memicu pertanyaan tentang hasil pengamatan, anak-anak itu terdiam. Ada yang menutup-nutupi hasil pekerjaannya, ada yang tersenyum malu-malu, ada yang beraninya berteriak saat suasana ribut. Jawaban mulai mengalir ketika saya menjadikan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai akses mereka untuk pulang. Ternyata, mereka bersemangat! Hari berikutnya, hal yang mengharukan untukku terjadi. Mungkin adalah hal yang biasa untuk seorang murid mencium tangan guru sebagai salam di pagi hari, namun untukku itu adalah hal yang baru. Baru saja hendak mencapai pagar, puluhan anak berbondong-bondong berebutan untuk mencium tangan kami. Luar biasa, ya, ternyata menjadi guru itu. Dan betapa besarnya juga pengaruh yang mungkin ditimbulkan dari tutur dan perilaku seorang guru. Aku mengajar Matematika di kelas 5 keesokan harinya. Kelas ini terdiri dari anak-anak yang umumnya aktif, dengan anak-anak laki-laki yang cukup sering berhalangan (baca: mabal). Saat itu, beberapa anak berhalangan hadir sehingga keaktifan kelas dapat dikatakan berkurang. Tidak ada lagi pukul-memukul serta tangisan menghiasi kelas, berbeda dengan hari sebelumnya saat teman pengajar lain mengajar di kelas yang sama. Tantangan hari ini hanya satu, menyampaikan materi dengan baik sesuai alokasi waktu yang telah direncanakan. Ternyata lagi-lagi saya membuktikan bahwa manusia boleh berencana tapi tidak dapat menentukan apa yang akan terjadi. Butuh waktu yang cukup lama untuk membuat seorang murid mengerti materi ajar dan seringkali konsentrasi hilang saat diperhadapkan dengan angka-angka besar (di atas 50). Tiba-tiba saja bel berbunyi dan saatnya pulang. Hari selanjutnya merupakan jadwalku mengajar kelas 4. Kelas ini sama sekali berbeda dengan kelas 5. Siswa kelas 4 ini sepertinya sangat terlatih untuk duduk diam saat guru mengajar. Lagi-lagi aku mengajar matematika. Tema hari ini adalah satuan waktu. Pasti tahu, kan kalau 1 jam itu terdiri dari 60 menit dan sebaliknya 60 menit adalah 1 jam? Ya, mereka juga tahu. Lalu bagaimana dengan 2 jam? Bagaimana dengan 240 menit? Sepertinya butuh waktu lebih dari 70 menit untuk mereka memahaminya walaupun mereka sudah mengerti perkalian dan pembagian. Berarti ada yang salah, berarti mereka belum mengerti soal jam. Berarti, semua rencana pengajaran hari ini gagal total. Berarti saya harus mulai dari mana? Saya mencoba dari hal yang sederhana, seperti melihat jam yang menempel di dinding kelas, tapi itu belum cukup. 70 menit berakhir dengan mereka mengangkat tangan ketika saya bertanya, “siapa yang tidak mengerti?” Satu hal yang menarik adalah, mereka mau mengatakan bahwa mereka tidak mengerti. Setidaknya, itulah yang menghibur saya hari itu. Setidaknya, mereka punya keinginan untuk memahami pelajaran tersebut. Hari itu di kelas yang sama, aku masih mendapat jatah untuk mengajar Bahasa Indonesia. Saya harus mengajarkan mereka tentang tanda baca dan pemakaiannya. Mereka dapat membaca memang, secara terpatah-patah dan datar tanpa intonasi maupun ekspresi. Aku coba contohkan perbedaan berseru, bertanya, dan sekedar berucap. Aku lakukan itu dengan gaya yang berlebihan, sekedar supaya mereka tertarik. Mereka sepertinya mengerti. Kucoba evaluasi dengan mengajarkan mereka membaca suatu paragraf di depan kelas secara berkelompok. Berkelompok semata-mata karena mereka tidak mau bicara apalagi maju saat sendirian. 1 dari 3 kelompok melakukan dengan sangat baik, dalam artian memiliki intonasi dan jeda saat membaca. Itu kemajuan. Mereka hanya perlu terus didorong untuk membaca dan mengekspresikan diri. Mereka hanya tidak terbiasa dengan hal tersebut. Hari terakhirpun datang, dan kami mengadakan acara perpisahan yang aneh. Aneh karena ada tangisan karena anak-anak itu mengungkapkan rasa senangnya akan kedatangan kami dan sedihnya akan kepergian kami. Aneh juga dalam artian kami membuat guru-guru berwibawa itu ikut menari seperti kami untuk membuat anak-anak itu tertawa. Mudah-mudahan tawa mereka tidak hilang setelah kami pergi. Mengutip kata-kata Anies Baswedan, “Ibu- ibu di negara ini masih melahirkan generasi yang luar biasa.” Satu dari banyak hal yang kami akan bawa ke Majene dari wajah-wajah kecil Indonesia ini adalah semangat dan antusiasme untuk belajar, dalam keterbatasan yang ada. Secara tersirat, kamipun belajar untuk berbagi mimpi, bahwa cita-cita itu harus setinggi langit, agar Tuhan mudah memeluknya.. dan harus sedalam-dalamnya hati, karena di sana Tuhan menjaganya. SEMANGAT! " ANAK INDONESIA HARUS KUAT!" - Rizka, kelas 5 SDN Cipare

Cerita Lainnya

Lihat Semua