Pelatihan KKG, perkenalan SD, gereja pertama, ETC

Adeline Susanto 4 Desember 2010
14 November 2010 19.46 lagi-lagi di kamar Ditemani lagu-lagu seadanya dari komputer Tidak terasa ini sudah hari ke-4 aku di sini. Setiap hari selalu saja ada hal-hal baru untuk dipelajari dari dunia baruku ini. Penuhnya kegiatanku membuatku terlalu lelah untuk menulis. Kurangkum saja di tulisan ini yah.. Hari kedua aku dibangunkan oleh suara kokok ayam. Luar biasa! Aku bangun oleh suara kokok ayam yang diikat tepat di sebelah kamarku. Begitu aku melongok ke luar jendela, tampaklah ayam itu meneriakkan kokoknya ke hadapanku lagi.  Ya baiklah, aku bangun. Hari ini aku diajak Bapak untuk mengikuti pelatihan guru, untuk berkenalan katanya. Dimintanya aku untuk pakai jaket hitam Indonesia Mengajar yang menurutku, maaf, seperti jaket tukang ojek. Pelatihan guru itu bertempat di SDN 10 Pallapalang, terletak di jalan poros Majene-Mamuju. Berkenalanlah aku dengan Pak Ramli dan Pak Runding sebelum masuk ruang pelatihan. Begitu masuk, aku langsung disambut hangat oleh Bapak dan Ibu Guru yang sudah sangat senior. Beberapa guru tempatku mengajar juga memperkenalkan dirinya padaku, misalnya Ibu Titi Juliati, Ibu Salbaniah, dan Ibu Rapidah. Tidak berapa lama, aku melihat sosok dengan jaket yang sama denganku. SAKTI rupanya! Senang sekali aku melihat sosok yang kukenal. Langsung saja kupeluk dia. Ternyata SDN 19 Limboro masuk ke dalam wilayah yang sama dengan SDN 29 Totolisi. Kami berdua diminta untuk duduk di depan dan memperkenalkan diri. Aku memulai perkenalanku dengan Assalamua’laikum wr.wb dan dibalas dengan baik walaupun aku melihat muka-muka bingung setelah kuakhiri kalimatku dengan Wallaikumsalam wr. wb. Hahahah rupanya aku tertukar dengan Wassalamua’laikum wr.wb. Malu rasanya membuat kesalahan macam itu di depan sekitar 78 guru. Mungkin mereka pikir ini saya ini lebih dari aneh. Sudah putih sendiri, sipit sendiri, bicara ngawur pula. Lengkap! Pelatihan guru wilayah 3 Kecamatan Sendana ini bertemakan pengembangan bahan ajar berbasis ICT (penggunakan teknologi komunikasi). Pelatihan ini cukup up to date karena mencakup teori-teori pembelajaran interaktif dan manajemen kelas. Sakti dan saya diminta untuk memberikan komentar. Ajang yang bagus untuk sedikit pamer, pikir kami. Kami pun mengeluarkan jurus PM angkatan 1 GIM, Superman Wuzz, yang direspon dengan sangat baik oleh guru-guru itu. Mereka katakan bahwa mereka sudah mendapat teori tapi kurang paham bagaimana mengaplikasikannya ke dalam kelas. Ajang unjuk gigi ini sukses dan sepertinya mereka mulai sedikit lebih memandang kami. Ya walaupun bebannya akan lebih berat, tapi kami akan berusaha. Yeaaah.. thanks to Superman and Mr. Bobby! Selain teori pembelajaran ini, hari sebelumnya mereka dilatih untuk membuat RPP dengan baik sesuai dengan SK-KD- dan Indikator. Mereka berujar bahwa bahasa yang ada di SK-KD sangatlah ‘Jawa’ dan kurang tepat untuk dilakukan di Majene. Bagian ini yang belum kupahami. Bagaimanakan SK-KD yang menurut mereka tepat dilakukan di sini tapi tetap dapat menghasilkan pendidikan yang bermutu? Dalam pelatihan ini kami bertemu dengan pengawas sekolah. Badannya besar, kepalanya tidak berambut, dan mukanya menyeramkan. Begitu datang, dia langsung menaruh tas di depan, di deretan meja pembicara, lalu duduk di samping ketua Gugus. Belagu. Itulah respon kami sebelum dia mulai bicara.  Bapak ini rupanya bersuara sangat keras. Tanpa pakai mike pun sudah keras, apalagi pakai. Nyatanya pribadinya berbeda jauh dengan perkiraan kami. Bapak yang menyebut dirinya TIGA BOLA (Tidak Gagah Botak Pula) merupakan sosok yang dihormati oleh para guru. Bukan karena fisiknya yang kubilang menyeramkan tadi, tapi lebih pada tutur katanya yang dekat dengan objek bicara dan kemampuannya untuk memotivasi para guru. Perlu banyak belajar darinya. Namanya, Pak Marsud. Dengannya mungkin kami akan membicarakan acara- acara untuk KKG (Kelompok Kerja Guru) di wilayah 3 Kecamatan Sendana ini. Pak Marsud mengajakku ke Limboro, menuju SD tempat Sakti mengajar. Senang sekali aku mengikuti ajakannya. Jalan-jalan pikirku. Hari itu, bertemu Sakti adalah hal yang paling membahagiakanku. Saat seorang diri, beban bahwa kami dianggap mesias dalam segala keterbatasan ini terasa berat. Kadang kami lupa bahwa 50 orang teman yang lain tengah menghadapi permasalah yang serupa walau mungkin tak sama. Bertemu Sakti sangat melegakan karena mengetahui ada teman yang memahami rasa asing yang sedang kurasakan,rasa bingung berkomunikasi karena tidak bisa menggunakan bahasa yang sama, dan rasa ingin sekali mengurung diri di kamar dan tidak perlu keluar. Seperti umumnya perempuan, saya hanya perlu menumpahkan perasaan ini, dan terus melangkah maju. Di hari ketiga, aku kesiangan. Hahahaha. Saat aku keluar kamar, Bapak sudah berangkat ke sekolah yang berjarak sekitar 50 meter. Jam menunjukkan pukul 06.45. Aku bangun dan mulai bersiap-siap  menyusul bapak walaupun enggan rasanya, belum ingin masuk, belum ingin mulai mengajar. Berikan aku waktu untuk beradaptasi sebentar lagi, teriak batinku. Saat mau berangkat, Ibu menahanku, katanya aku tidak perlu ke sekolah dulu, nanti saja hari Senin. Sepertinya itu yang dia katakan, karena Bahasa Indonesianya sepatah-patah dengan dialek lokal. Spontan aku senang sekali mendengarnya. Aku lantas berjalan-jalan di sekitar rumah, bertemu dengan Ibu Sawi yang baru pulang dari pasar di Pallatoa. Aku diajak ke rumahnya dimana aku bertemu seorang Ibu yang sangat ceria dan bersemangat, rupanya itu sanak saudaranya Ibu Sawi. Ibu ini menemui Ibunya Ibu Sawi yang tuna netra di rumah panggungnya yang dari kayu dengan hiasan dari gelas plastik minuman. Ibu ini mengajak anaknya yang bernama Ka Iming untuk mengantarnya. Ka Iming masih muda, masih berkuliah jurusan keguruan di Universitas Terbuka. Dia sudah mengajar secara periodik di SMP dan SMA. Kami banyak berbincang tentang pendidikan dan kehidupan di sini. Katanya sulit mengajar di sini karena tidak sepintar Orang Jawa dan Bahasa Indonesia tidak terlalu dikuasai. Miris mendengarnya. Memang pembangunan sudah sangat kelewatan bertumpu di Jawa. Padahal, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa anak-anak di Majene sama pandainya dengan anak-anak di Jawa, hanya akses informasi saja terbatas di sini. Ka Iming dan ibunya mengajakku menuju sanak saudaranya yang lain. Melewati pematang sawah dengan pemandangan luar biasa, sampailah kami ke rumah panggung kecil di tengah desa. Di dalamnya ada Pak Ali, istri dan anak-anaknya.  Aku lebih banyak berbincang dengan Ka Iming daripada keluarga tersebut. Semoga ada lain waktu untuk berbincang dengan mereka. Rupanya Ibu mencariku.. Aku langsung pulang dan menemuinya. Katanya Bu Anti, guru di sekolah yang sama mencariku dan akan mengajakku ke Pelabuhan Palipi di sore hari. Kutemui dia sewaktu melewati rumahku hendak menuju ke sekolah. Ternyata dia sebenarnya mencari Bapak tadi. Dan memang dia mau mengajakku ke Pelabuhan Palipi. Senangnya. Aku diajak Bu Anti untuk ke sekolah, melihat-lihat kantor guru, dan berkenalan dengan anak-anak kelas 4-5-6. Mereka kuberikan sinyal “Halo-Hai” dan sangat senang. Ketika aku kembali ke kantor guru, mereka berebutan untuk menyapa saya dengan “halo dan hai” dari kaca jendela. Anak-anak yang penuh semangat! Sambil menunggu Bu Anti menjemputku di sore hari, aku memberes-bereskan barang-barangku. Bapak mengambil satu meja untuk diletakkan di kamarku sehingga buku-buku bisa kiletakkan di atasnya. Kardus buku sendiri kumanfaatkan sebagai kotak bahan ajar dan kotak sehat. Kotak bahan ajar berisi kertas gambar, spidol warna, alat tulis, dan barang lainnya yang akan dimanfaatkan untuk mengajar. Kotak sehat berisi peralatan P3 dan keperluan bersih-bersih diri. Tiba-tiba ada tetangga datang (aku lupa namanya), ingin belajar Bahasa Inggris katanya. Wah, aku belum mempersiapkan untuk yang satu ini. Akhirnya aku ajarkan saja lagu “ABC” dalam bahasa Inggris dan bernyanyi bersama. Lalu kuajarkan pula cara membaca ABC sampai Z dalam Bahasa Inggris. Adiknya Bapak tertarik untuk belajar dan ikut bergabung bersama kami. Cara perkenalan singkat kuajarkan pada mereka. Sambil menyelam minum air. Sambil mengajar Bahasa Inggris, aku belajar Bahasa Mandar. Kuajarkan juga lagu warna yang dibuat Mansyur dkk saat materi Multiple Intelligent oleh Pak Bobby. Mereka tertarik memang. Kehabisan bahan, untunglah aku tidak kehabisan akal. Aku putar video-video pendek yang kupunya. Misalnya video tentang domba yang merasa malu karena bulunya dicukur. Ia malu karena merasa diejek, sampai akhirnya datang kelinci yang mengajaknya bersyukur. Bersyukur masih punya anggota tubuh yang lengkap. Sang domba hanya perlu untuk membenahi pikirannya dan kelinci mengajarkannya melompat. Sang domba suka melompat dan ia terus melompat dengan senang. Teman-teman tidak lagi mengejeknyal. Sekalipun bulunya dicukur lagi setiap tahun, ia tidak peduli lagi. Sambil menonton video, sambil aku berikan juga refleksinya. Bahwa mereka tidak punya alasan untuk tidak bersyukur. Video lain yang kutunjukkan adalah tentang paralympic games, perlombaan orang cacat. Dalam refleksinya, kuajak mereka untuk tidak menyerah dalam keterbatasan. Baterai laptopku pun habis dan Bu Anti datang. Pelajaran singkat kuhentikan dan aku bersiap dengan kamera. Langsung berangkat ke rumah Bu Anti yang terletak di sebelah pelabuhan Palipi. Pelabuhan ini sederhana tapi tampak kuat dan bersahaja, dan sudah disemen dengan rapih. Dari pelabuhan ini terlihat pulau sangat kecil dalam jarak yang sangat dekat. Katanya itu Pulau Tai Manuk. Ya, Pulau Tai Ayam. Kenapa dinamakan demikian? entah.. mungkin karena ukurannya kecil. Kata Ibu Anti, dulu ada yang bertani di sana tapi tidak lagi karena orangnya sudah meninggal dan tidak ada penerusnya. Di pulau tersebut juga ada kuburan, dengan cerita 2 orang yang telah dipanggil oleh kuburan tersebut. Bapak Buta dari Jakarta, misalnya. Datang karena merasa dipanggil oleh kuburan dan ketika sampai ia meminta penanda kubur dipindahkan ke sebelahnya karena tempat sebelumnya salah. Apakah dia halusinasi atau benar, siapa tau? Yang pasti sore itu sangat menyenangkan, memandangi langit sore ditemani ka Uni, Bu Anti, serta Paki, Rika, dan Ega keponakan Bu Anti. Teman Bu Anti juga datang, namanya Bobi kalau tidak salah. Ia adalah Mantri di Tamerodo,lupa tepatnya dimana, dekat Ulidang sepertinya. Dia berkuliah di UnHas jurusan Kesehatan Masyarakat. Banyak bertanya soal tujuan GIM dengan latar belakang pengajar yang bukan guru. Keluarlah sok tauku untuk menjawab semua pertanyaan layaknya selebritis cari sensasi. Enak rasanya berbincang dengan orang baru yang berbahasa Indonesia. Hari Ke-empat, hari ini aku menerima kebaikan dan energi positif dari banyak orang. Pagi-pagi Ka Uni mengantarkanku ke gereja di Majene dengan motornya. Jaraknya terasa lebih jauh dengan motor karena pegal sekali rasanya bantalan tubuhku ini. Tapi tidak apa-apa. Setelah bertanya pada orang-orang tentang lokasi gereja, kami menemukannya. Gereja itu namanya GPIB, Gereja Protestan Indonesia bagian Barat. Saat itu pukul 08.16an dan kebaktian dimulai pukul 09.00. Di depan gereja ada dua sosok yang ternyata dikenal oleh ka Uni. Salah satunya ka Fitri, yang rupanya merupakan guru di SDN 19 Limboro tempat sakti mengajar. Senang betul bertemu teman satu iman. Ka Uni pergi ke tempat neneknya dan aku berbincang dengan Ka Fitri dan ka Palu, ikut kebaktian bersama, dan kemudian menunggu Ka Uni datang menjemput. Ka Uni itu baiiik sekali, dia mengantarku ke Pasar Majene. Berkali-kali kuinjak bagian belakang sendalnya. Aku jalan terlalu cepat. Dia menolongku menemukan barang-barang yang kubutuhkan dan cara menawarnya. Tiba-tiba aku ingin menelepon teman-teman. Selagi ada sinyal. Pertama, kutelepon Wiwin yang rupanya sedang di Malunda bersama Kasek, anak-anak sekolah dan orang tua untuk acara pesta panen. Dia tampak senang. Memang Wiwin selalu positif. Syukurlah. Kedua, kutelepon Nisa yang memberiku jawaban luar biasa. Agung, Arrum, Tika, dan dia sedang di Kota Majene juga rupanya. Mau berteriak rasanya. Suenaang sekalii. Ka Uni merespon positif dan mengantarkanku ke sebuah tempat belajar Bahasa Inggris “English Training Centre” di Jalan Mansyur Atjo. ETC ini rupanya merupakan buah karya Ka Anhar, seorang guru agama yang memiliki visi untuk mengembangkan Bahasa Inggris. Dari awalnya kelas gratis berjumlah 100 orang, bertambah menjadi 23 cabang kelas di seluruh bagian Sulawesi Barat, kecuali Mamasa dan Mamuju Utara. Hebat sekali orang ini yang umurnya sama dengan kami. Bersama PM, kami mengungkapkan kemungkinan kerja sama berupa ‘ETC goes to school’, pelatihan guru, atau bentuk lainnya. Amboi rasanya bertemu orang-orang gila yang mau bergerak demi kemajuan sosial. Sangat Positif. Mudah-mudahan program ini, setelah disosialisasikan dengan teman PM lain dan pihak sekolah, dapat benar terlaksana, dan terlaksana secara kontinu. Amin. Pulang naik motor bersama Ka Uni sambil hujan-hujanan. Brrr... dingin juga ternyata.

Cerita Lainnya

Lihat Semua