Rapat Guru Wilayah 3 Sendana Perihal Porseni

Adeline Susanto 15 Desember 2010
Senin 13 Des 2010 Upacara bendera. Mulai mengawasi kelas 2 upacara. Bendera hampir jatuh kena tanah karena anak kelas 3 yang bertugas tidak tau mengikatkan bendera. Anak-anak lain tidak perhatikan amanat ataupun bagian-bagian upacara yang lain. Andai mereka tahu bahwa merah putih itu adalah mereka sendiri. Membiarkannya terjatuh, apalagi terinjak sama saja dengan membiarkan diri sendiri diinjak. Yah, PR untuk kusampaikan ke anak-anak itu. Aku membuka kelas 2 dengan al-fatihah dan doa belajar. Meminta anak2 berganti baju olah raga karena memang jam pertama adalah olahraga. Menunggu mereka berganti pakaian sambil berharap guru olah raga cepat datang. Akhirnya dia datang. Kemudian, aku menitipkan pelajaran kelas 2 ke guru honorer yang memegang kelas 2 sebelum keberadaanku. Aku tidak bisa memegang kelas sampai selesai karena harus memenuhi undangan rapat perihal porseni. Saat bersiap berangkat,aku diberitahun Bapak kepala sekolah dan guru-guru lain bahwa pasti jam pasti mengaret, tidak benar-benar mulai jam 9 seperti undangan. Jangan tergesa-gesa katanya. Aku tidak tahan berdiam diri, ya sudah kuselesaikan baseline assesment SD sambil guru2 itu berbicara dalam bahasa mandar. Waktu menunjukkan bahwa anak-anakku sudah beristirahat selama 1 jam kurang sekitar 5 menit, dan guru pengganti masih asik ngobrol.. geregetan rasanya. Setelah basa basi lama rupanya mereka mau membicarakan dana BOS dengan kepala sekolah. Ck. Ck. Ck... sampai mengorbankan jam belajar siswa. Ada yang sensitif dengan masalah ini, bendahara sekolah sebelum yang sekarang. Nadanya jadi agak tinggi perihal keuangan. Guru-guru memberi ide untuk mengadakan pergiliran bendahara, dan sang mantan bendahara ini menolak untuk dirinya mendapat giliran. Aku mencoba berbicara dengannya, tapi sepertinya dia bersikeras tidak mau peduli sambil menyalahkan beberapa pihak. Akhirnya aku berangkat, bersama Bu Uni guru penjas. Setelah nyasar sampai ke Kecamatan Sebelah dan berbalik arah, akhirnya kami sampai di SDN 48 Tullu Bulang. Yak, rapat sudah dimulai. Dan dengar-dengar, rapat ini baru dimulai karena menunggu saya. Crap.. I was ready since 8.50, even before. Rapat ini membicarakan acara porseni, pekan olah raga dan seni, se wilayah III Kecamatan Sendana. Dibawah arahan Pak Pengawas dan pimpinan Pak Ketua Gugus, rapat ini dimula dengan membicarakan olah raga apa saja yang akan dipertandingkan. Seorang guru mengangkat tangan dan ingin memastikan apakah semua sekolah setuju dengan keberadaan porseni ini, karena akan tidak efektif kalau rencana sudah dibuat rapi namun dalam pelaksanaan tidak semua mau berpartisipasi. Okey, lalu ketua KKG mendata persetujuan masing-masing sekolah. Semua setuju, dengan salah satu kepsek mengajukan waktu pelaksanaan supaya tidak mengambil waktu libur. Fixed. Mulailah kegerahan berlanjut. Pilihan olah raga adalah sepak bola, dan atletik, dengan tarik tambang, diselingi pramuka. Yah, aku masih belum mau interupsi. Ada tambahan ide dari seorang guru olah raga, supaya ajang ini sekalian dijadikan seleksi untuk olimpiade nasional di kabupaten. Olahraga mencakup guling (rol maksudnya), lari zigzag, lompat gawang, dan lempar lembing. Mulai diskusi memanas. Lembingnya siapa yang mau buat? Gawangnya bagaimana? Tidak ada waktu untuk latihan, dan sebagainya. Mulai geram. Lalu akhirnya disetujui hanya lomba sepakbola, tarik tambang, dan lari estafet. Pertanyaan muncul, untuk tarik tambang apakah untuk laki-laki atau perempuan? Keduanya? Campur? Atau Bebas saja? Bagaimana kalau ada sekolah yang jumlah laki-lakinya ada yang tidak cukup? Bla bla bla.. well, mereka benar-benar memandang perempuan lemah yah. Akhirnya diputuskan kalau tarik tambang dan sepak bola untuk laki-laki. Estafet untuk perempuan. Whaaat?? Main gender itu namanya. Kenapa perempuan tidak boleh tarik tambang dan sepak bola, serta laki-laki tidak bisa atletik? Ada lagi yang bertanya, saat pagi-pagi anak-anak laki bermain bola, bagaimana dengan perempuan? Jawab yang lain, disuruh pramuka saja, dengan bimbingan Indonesia mengajar. Lagi-lagi ada teriakan dari dalam, Whaat??? Kenapa bukan perempuan-perempuan itu disuruh untuk menjadi suporter kreatif saja? Kalau laki-lakinya menyusul untuk pramuka, bukankah akan jadi pengulangan untuk yang perempuan?  Belum lagi bicara masalah dana, mereka menyempitkan jumlah olah raga supaya ada dana untuk kegiatan seni. Dalam ruangan kelas bertembok pink yang tidak besar dengan dipenuhi guru-guru yang duduk dengan berbaju hijau Linmas dengan para laki-laki yang umumnya merokok dan pembicaraan yang kaku dan tidak bersemangat, my head is about to explode. Pak pengawas kemudian mempersilakan kami, Sakti dan Aline untuk berbicara. THANKS GOD! I need to clear some things.. Porseni ini, seharusnya, idealnya, ah mungkin enaknya menurutku, adalah ajang untuk bersenang-senang. Menghilangkan ketegangan setelah anak-anak ujian, setelah guru-guru mengajar. Mencairkan suasana. Bukan menambah ketegangan. Refreshing, itu kata kuncinya. Bukan seperti suatu kewajiban yang membebani. Itu sebabnya saya senang ketika seorang guru olahraga mengajukan untuk menyepakati keberadaan porseni ini. Selanjutnya, olah raga yang dilakukan juga seharusnya yang bisa dinikmati oleh semua orang. Bukan hanya laki-laki saja misalnya. Tidak perlu terlalu memikirkan teknis seperti membuat lembing dan sebagainya. Memakai sesuatu yang sudah ada atau menentukan jenis olah raga yang baru bisa jadi tetap menarik tanpa kehilangan esensi olahraga. Sesederhana lari dengan kaki tiga yang hanya butuh sepotong tali rafia, atau lari melompati meja atau kursi yang disusun, jalan jongkok di bawah meja, dan sebagainya. Mengolah raga tidak harus dikotak-kotakkan dengan cabang olah raga yang telah disahkan oleh badan olah raga internasional. Sakti menambahkan poin yang bagus sekali. Ia bertanya, bagaimana kalau porseni ini bukan hanya untuk murid tapi juga untuk guru? Bukan hanya murid yang butuh penyegaran. Tentunya, mudah-mudahan, akan menjadi ajang kekeluargaan untuk para guru. Apalagi kalau lomba dikemas dengan menarik. Sebut saja futsal dengan sarung sebagai contoh. Mudah-mudahan para guru jadi semakin bersemangat mengajar di semester 2. Pembicaraan dilanjutkan dengan membicarakan kesenian. Bapak pengawas mengajukan ide berupa puisi berantai dan karaoke. Dalam puisi berantai ini, peserta akan diminta membacakan puisi yang sama dalam 3 bahasa, Bahasa Inggris, Indonesia, dan Mandar. Yap, tebakan saya benar, Indonesia Mengajar ditugaskan untuk memegang Bahasa Inggris ini. Baiklah, selama masih bisa dan dilakukan di luar jam mengajar, saya akan lakukan yang terbaik. Setelah daftar kegiatan terkumpul, para guru menentukan panita yang terlibat. Secara sepihak, Bapak Ketua Gugus dipilih menjadi ketua. Sempat menolak, Pak Syamsul ini mengatakan tidak etis kalau ia (ketua gugus) memberikan SK untuk dirinya sendiri (kalau menjadi ketua panitia). Guru lain menyatakan bahwa memang SK ditandatangani oleh Ketua Gugus, namun SK ini dapat ditujukan untuk Kepala Sekolah SD 42 Palipi sekalipun namanya (dan orangnya) sama. Akhirnya Pak Syamsul pun tidak bisa menolak. Setelah kepanitiaan terbentuk, dana mulai menjadi topik pembicaraan. Tidak terlalu kaget mendengar bahwa sekolah yang terlibat akan dikenakan iuran. Agak kaget ketika seorang guru meminta partisipasi PNSdi setiap sekolah terlibat untuk menyumbang RP 10.000. Untung ide diberi label “bagi yang berminat” oleh Bapak Pengawas. Kaget ketika mendengar mereka mengalokasikan dana untuk PLN. Kemah? Listrik? Okay, aku diam dulu. Ada interupsi. Yeah, ada yang merasa ini aneh. Dan ternyata? Beberapa guru menyatakan untuk mengirit pengeluaran PLN yang bisa mencapai 1 juta rupiah dengan penggunaan genset. 1 genset untu 3-4 tenda katanya. APPPAAAH??? Paling kaget adalah ketika saya memprotes penggunaan listrik dalam perkemahan dan bahwa alasan utamanya adalah banyaknya warga sekitar yang akan menonton jalannya acara sehingga tidak akan kondusif tanpa penerangan yang cukup. Mereka berdalih bahwa porseni bukan acara pramuka walaupun ada kegiatan pramuka yang dibawakan. Ya, rupanya porseni ini juga merupakan ajang untuk pamer kepada masyarakat setempat. Lagi-lagi prestige.. Tapi ya sudahlah, bukan bagian saya untuk memprotes bagian ini. Kalau memang prestige ini mampu membuat semakin banyak orang tertarik menyekolahkan anaknya, kenapa tidak? Apalagi kalau memang dana bisa diusahakan tanpa memberatkan salah satu pihak. Betul betul betul?

Cerita Lainnya

Lihat Semua