Arrum dan Wiwin datang!
Adeline Susanto 15 Desember 2010
11-12 Des 2010
Hujan deras dari subuh. Keras sekali. Sepertinya ada badai. Bapak sakit sehingga tidak dapat masuk sekolah. Andai aku bisa menahan tubuhku berbaring lebih lama. Kenapa tidak bisa? Karena saat aku mencoba membuka jendela, aku telah melihat badan-badan kecil menantang hujan untuk berangkat ke sekolah. Beberapa memakai nampan untuk menutupi kepala, yang lain hanya pasrah menerima badannya agak basah. Memalukan kalau sampai hujan ini menahanku.
Seperti yang kerap terjadi. Guru-guru datang terlambat ketika hari hujan. Saya mencoba memberi tugas untuk kelas 3 dan kelas 5 supaya mereka tetap dapat belajar tanpa keberadaan guru. Hari ini murid-muridku cukup baiiik. Sindrom marah kemarin masih berpengaruh rupanya. Setelah mengajar pengurangan, saatnya SBK (seni, budaya, dan keterampilan). Berlandaskan kurikulum tentang berbagai bunyi, aku mengisi beberapa botol air mineral dengan volume yang berbeda-beda. Dalam garputala otak, aku membayangkan do re mi fa sol untuk menentukan jumlah volume. Sampai kurasa mirip, aku menutup botolnya dan membawanya ke sekolah untuk bahan mengajar.
Aku mencoba mengajak mereka mendengarkan bunyi-bunyi berbeda. Beberapa dari mereka langsung dapat mengetahui perbedaan bunyi. Menarik. Aku meminta mereka menepuk benda yang berbeda dan mendengarkan bunyi yang dihasilkan. Lalu, botol-botol air kukeluarkan dan kunyanyikan lagu “Mary Had a Little Lamb” terjemahan sambil menepuk nada di botol-botol tersebut. Mereka tertarik mendengar. Selanjutnya aku meminta anak-anak mencoba memainkan lagu, namun mereka hanya mengambil, atau lebih tepatnya berebut, satu botol untuk dipukul-pukul. Tidak habis akal, aku mengganti metode besar-besaran. Aku minta mereka menemukan satu benda untuk dibunyikan. Ketika tangan terangkat, semua harus berbunyi. Ketika tangan menunjuk ke satu kelompok, hanya kelompok tersebut yang boleh berbunyi. Awalnya ada anak-anak yang terus menerus berbunyi, namun ketika sebagian besar menikmati adanya jeda-jeda dalam bunyi, satu kelas mengikuti.
Hari berakhir dengan menyenangkan. Bintang-bintang di papan kuhapus. Menghapus dosa ceritanya. Kukatakan bahwa Senin merupakan awal yang baru. Kelas ditutup dengan doa dan membagi-bagikan pensil serta penggaris dari dana BOS.
Bu Anti memintaku datang ke kantor. Ternyata ada makan-makan. Pantas wangi sekali tadi. Bu Anti yang mendapat insentif dari mengikuti pelatihan mau berbagi rejeki katanya. Yang mengagetkan, Ibu Salba tiba-tiba keluar dan pulang. Demikian juga halnya dengan Ibu Titi. Ada masalah. Tentang dana BOS rupanya. Memang, dana BOS sejauh ini baru kudengar dalam pembicaraan. Aku tidak tahu bagaimana penggunaannya. Tidak transparan, itu bahasa gaulnya. Beberapa guru memprotes keberadaan dana BOS yang tidak jelas penggunaanya
Tugas Indonesia Mengajar, kata mereka, untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kepala sekolah tidak bisa diharapkan karena tidak bisa menindak tegas pelanggaran-pelanggaran aturan yang berlaku. Mereka berharap, saya yang tidak berhubungan dengan dana ini bisa menjadi penghubung para guru untuk menyelesaikan inkondusivitas yang terjadi. Baik, saya coba berbincang dengan pihak-pihak bermasalah.
Tidak lama setelah aku pulang sekolah, Arrum, pengajar muda di kecamatan sebelah berangkat menuju tempatku. Dengan soknya, saya coba pinjam motor Bapak untuk menjemput Arrum di jalan poros. Tapi, memang jam terbang membuktikan segalanya. Saya kesulitan memindahkan motor. Saya perlu bantuan menyalakan motor. Setelah sampai di poros, saya mematikan mesin sambil menunggu Arrum. Kemudian, gagal terus distarter. Setelah berusaha beberapa lama, cukup lama untuk membuat kepala gerah dan baju agak basah keringat, ada anak SMP yang mau membantu. Gagal. Katanya sebaiknya ke bengkel di ujung jalan. Saya pun memutuskan untuk singgah di rumah Bu Anti. Ibunya memanggil orang lewat untuk membantu saya. Hanya dengan sekali pijakan, mesinpun menyala. Huaaah apa ituh?! Well, Terima kasih Tuhan. Sayapun akhirnya kembali dengan selamat.
Selanjutnya, sore hari saya berencana mengajak Arrum ke pelabuhan Palipi. Lagi-lagi pinjam motor. Kali ini lancar aku menyalakannya. Entah kenapa tadi. Wiwin pun sms bilang akan datang sebelum maghrib. Balasku, kutunggu di pelabuhan. Namun dia tidak kunjung datang. Setelah magrib lewat, aku mendapat sms bahwa Wiwin sudah di rumah. Lah? Aku segera kembali. Timbul lagi masalah. Di tengah jalan, motor benar-benar mati. Di tengah jalan tanpa penerangan listrik. Dengan panik aku berteriak memanggil nama orang yang kukenal, yang barusan lewat. Ah ternyata tangki bensin yang kukunci lupa kubuka. Tangki harus selalu dikunci jika motor mati karena suka bocor. Malunya aku membuat kegaduhan karena panik. Oh so Aline.
Wiwin sudah di rumah, berbincang dengan Bapak. Senang sekali berkumpul walau hanya ber3. Setelah berbincang dengan ibu dan pamer senyum ke para tetangga yang datang nonton, kami akhirnya mempunyai “us time”. Ngobrol ngalor ngidul, semua gosip, cerita, masalah, dan lain-lain. Sampai semua lampu mati dan kami tertidur.
Pagi hari, setelah berkunjung ke sekolahku (bagian siap-siap dilewatkan saja), kami berjalan ke arah jalan poros yang berjarak hanya satu kilo. Lalu kami naik pete-pete, angkutan umum, yang berplat hitam. Sampai di Somba, Wiwin turun, menyisakan Arrum, Aku, dan 3 orang lain beserta karung-karung beras, kelapa, dan lain-lain. Arrum turun di depan warnet sedangkan aku diantarkan sampai depan gereja. Baik sekali supir pete-petenya. Singkat cerita, melewati bagian bertamu ke rumah HM Rusbi hamid, anggota DPRD, berhubung dia tidak dapat ditemui karena sedang tidur, kami berjalan-jalan untuk mencari makan. Melewati apotik, aku mampir untuk membelikan jamu Sari Buah Naga yang direkomendasikan apoteker untuk penyakit asam urat yang diderita Bapak. At least I have tried to help, even maybe it was helpless. Selanjutnya kami menemukan tempat makan di dekat pasar.
Di tempat makan, kami melihat 2 orang bule. Dalam keingintahuan, kami berkenalan. Rupanya mereka adalah orang-orang AMINEF yang mengajar Bahasa Inggris di SMK1 Majene dan di Polewai. Luca and Devanny kalau tidak salah tulis. Mereka datang sekitar 4 bulan lalu. Wow. Apa ya yang membuat mereka mau datang? Hm.. belum sempat banyak bicara.
Supaya tidak terlalu sore, kami pulang tidak lama setelah makan. Naik panther yang lagi-lagi berplat hitam. Sampai jumpa Arrum.
Aku memutuskan untuk berjalan sampai rumah. Sekalian bersilaturahmi dengan para tetangga. Dan benar, aku diundang masuk ke beberapa rumah. Salah satunya rumah Uwa Pila. Sepertinya butuh tulisan khusus tentang beliau. Suatu pribadi yang menarik! Sampai jumpa di episode Uwa Pila!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda