PORSENI wilayah 3 Sendana

Adeline Susanto 23 Januari 2011
6-7 Januari 20116 PORSENI memang merupakan ajang keringat, tawa, dan juga keributan. 8 Sekolah Dasar dari wilayah 3 Kecamatan Sendana turun meramaikan Lapangan Palla-Pallang dengan tenda-tenda kebanggaan dan palang di depan masing-masing tenda. Beberapa sekolah bahkan membuat pagar-pagar di sekitar gerbang masuk dan tirai-tirai untuk menutup tenda. Umumnya satu sekolah terdiri atas satu tenda, dengan pembagian ruang untuk masak dan untuk tidur. Menarik karena ada sekolah yang membawa tempat tidur bambu, ada yang membawa speaker dan mic untuk putar lagu-lagu, dan ada yang tentu saja membawa pasokan kayu bakar untuk masak. WC? Terpanjang sedunia kata para guru. Yak, pantai  yang terletak sekitar 50 meter di sebelah tenda menjadi lokasi “bersih-bersih” para siswa. Para ibu-ibu guru sibuk memasak untuk anak-anak dan para bapak-bapak menyiapkan acara. Tentunya saya lebih memilih ikut bapak-bapak. Bukan maksud menyalahi kodrat tapi sepertinya saya lebih bermanfaat di lapangan. Setelah pertandingan tarik tambang yang sengit, lapangan disiapkan untuk perlombaan atletik. Membuat lintasan rupanya bukanlah hal yang mudah. Pertama-tama lapangan terluar diukur, lalu setiap jarak 1,5 meter dibuat lintasan dalam. Setelah selesai, dimulailah penggarisan area pertukaran tongkat estafet. Karena lapangan Palla-Pallang tidak sampai 400 meter, lintasan estafetpun banyak mengalami modifikasi. Pengaruh panas terik, es kul-kul berlapis coklat dan cendol yang dijual di sekitar lapangan benar-benar menjadi cobaan. Belum lagi perhitungan yang salah-salah terus sehingga kantungan kapur bubuk berkali-kali habis dan lapangan menjadi berantakan karena banyaknya garis batas yang salah. Kulitku mulai terasa perih dan kepalaku serasa kosong. Untunglah Bu Anti mengajakku pulang untuk mandi. Hebat sekali bapak-bapak yang terus ada di lapangan sampai selesai. 4 jempol! Estafetpun berjalan dengan lancar. Sayang sekolahku belum jadi juara. Pelari pertama dari sekolahku agak bingung ketika peluit mulai ditiup sehingga tidak langsung melaju lari. Ya sudahlah. Malamnya lagi-lagi aku menjadi juri puisi. Hal yang sangat tidak mengenakkanpun terlihat. Salah satu peserta karaoke bernyanyi dengan goyangan panas dengan rok yang sangat pendek. Sangat terlihat seronok. Apalagi dinyanyikan oleh anak SD. Lebih ingin marah melihat respon masyarakat dan para guru lainnya yang sangat senang melihat aksi heboh tersebut.  Untuk masih ada guru-guru yang waras dan bisa kuajak diskusi tentang hal ini. Apa jadinya kalau pendidik mendukung anak muridnya menjual tubuhnya sedari kecil. Hari terakhir merupakan hari semifinal dan final sepakbola serta penutupan. Tidak terlalu menarik untukku karena anak-anakku tidak masuk di dalamnya. Siang hari, bersama beberapa guru olah raga, aku pergi untuk menyantap kelapa muda dan bakso yang jualan orang karanganyar. Final pun berlangsung. Sampai saat terakhir, skor masih satu sama untuk SD 9 Banua dan SD 45 Parassangan. Adu pinalti pun dilakukan dan skornya tetap kembali sama. Setelah tendangan ditutup oleh kiper dan masih seri, penentuan pemenang dilakukan dengan undian koin. Sedih rasanya melihat bahwa akhir perjuangan ditentukan oleh keberuntungan. Tapi ya memang demikian juga hidup, ada faktor X yang selalu lewat dari perhitungan dan perencanaan. Terharu melihat guru olah raga SD9 Banua mencium kepala semua pemain dari sekolahnya sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya karena sudah melakukan yang terbaik. Penutupan dilakukan dengan upacara, sambutan dari kepala UPTD, dan tentunya ketua panitia. Ada sosok yang kurang dalam Porseni ini,Pak Marsud sang pengawas. Pengawas wilayah yang sangat dihormati ini berhalangan hadir karena sakit. Memang dedikasinya untuk memajukan pendidikan sangatlah luar biasa, sampai beliau lupa memikirkan kesehatannya.  Setelah pengumuman pemenang dan pembagian piala, acarapun resmi ditutup karena memang maghrib sudah menjelang. Mataku agak terganggu melihat sampah berserakan dimana-mana, bisa dibilang hampir merata di seluruh lapangan. Akupun inisiatif mengambil sampah sebisaku. Senangnya aksi ini dilihat dan dihargai oleh beberapa guru lainnya yang kemudian mengerahkan anak-anak murid untuk ikut turun membersihkan sampah. Sampah itu selalu dieluhkan sebagai perusak pemandangan dan pengotor. Namun itu tidak menyebabkan orang-orang membuang sampah pada tempatnya, apalagi memilahnya sesuai kelompoknya. Apakah kita menunggu sampai lapangan bola beralaskan sampah, petani memanen sampah, dan nelayan memancing sampah?

Cerita Lainnya

Lihat Semua