info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

rapat uptd Sendana, training ETC, gombal Korea

Adeline Susanto 23 Januari 2011
3 Januari 2011 Menghabiskan waktu di sekolah untuk membantu persiapan Porseni  SD se-wilayah 3 Kecamatan Sendana. Mendengarkan latihan nyanyi, puisi, membuat  tulisan umbul-umbul, membereskan persiapan berkemah, dan sebagainya. Malam hari kugunakan untuk mengisi rapor anak-anakku kelas 2. Tidak ada waktu lain mengingat padatnya jadwal sebelum pembagian rapor tanggal 8 Januari. Bagian terlama dari mengisi rapor bukanlah memasukkan angka-angka. Angka-angka itu bukanlah patokan keberhasilan. Warna merah juga bukanlah lambang kegagalan walaupun seringkali sanggup menjatuhkan kepercayaan diri anak. Setiap angka yang tertulis hanyalah bentuk apresiasi atas perjuangan akademis dan sekedar parameter untuk melihat bagian mana yang harus diperbaiki. Buat saya, kotak kosong disebelah kiri lembar nilai yang bertuliskan catatan merupakan hal paling penting. Di sana saya bisa menuliskan kebaikan yang dimiliki sang anak. Kebaikan yang mungkin tidak dianggap penting oleh orang-orang di sekitar anak dan dirinya sendiri. Di sana pula saya bisa memberikan tulisan motivasi untuk anak berjuang. Tulisan yang mungkin baru dimengerti setengah-setengah oleh anak kelas 2 SD yang kurang bisa berbahasa Indonesia. Tidak apa-apa. Jam sudah menunjukkan pukul 02.30. Aku lelah. Mulai bingung harus menulis apa. Baru rapor 13 anak yang kutulis hingga selesai. Setelah memasukkan nilai sisa 12 anak lainnya, aku memutuskan untuk tidur. Kotak kosong tadi kubiarkan tetap bersih. Akan kuselesaikan saat aku menemukan waktu luang. Kuharap ada. 4-5 Januari 2011 Bangun terkaget-kaget melihat jam. Setengah tujuh. Aku langsung lari menyambar handuk dan mandi. Selesai mandi sudah ada Bu Anti yang menjemput. Beberapa saat kemudian, mobil pengangkut juga berhenti di depan rumah setelah sebelumnya singgah di sekolah. Mobil Kijang merah bak terbuka itu sudah penuh sekali dengan tas-tas, bambu-bambu, gulungan terpal, tikar-tikar, rak piring dan lemari, piring gelas, kompor, kardus air minum, dan ditambah sekitar 20 anak di atasnya. Pemandangan menakjubkan. Kami hendak melaju ke ke Lapangan Palla-Pallang tempat PORSENI akan dilangsungkan. Pembukaan akan dilakukan pukul 15.00 namun semua sekolah peserta harus sudah mendirikan tenda sebelumnya. Waktu yang paling tepat tentunya pagi karena terik siang sungguh membakar. Memang kubuktikan sudah beberapa hari setelahnya. Setelah sedikit membantu mengangkut barang, memindahkan tumpukan sampah dan tumpukan kayu-kayu hangus bekas pembakaran, serta meratakan tanah, aku pun pamit sekitar pukul 09.00. Pamit menuju Majene untuk sebuah pelatihan. Pelatihan Bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh ETC (English Training Centre). Pelatihan yang dilakukan supaya kami dapat melatih para guru dan murid. Kesepakatannya adalah pukul 09.00. Tentu saja akhirnya, aku terlambat. Dan bukan aku saja yang telat. Beberapa teman masih mengajar di desanya, ada juga yang tidak mendapatkan transport ke Majene, yang lain mengurus beberapa program di Diknas. Akhirnya, pelatihan dibuka pukul 11.30 dengan 3 dari 10 orang yang ada. Satunya adalah saya, dan dua lainnya adalah teman yang baru kembali dari Makassar sehingga masih sangat lelah. Kalau ada orang asing datang dan melihat keadaan saat itu, tentulah kami akan langsung dikatakan tidak menghargai. Luar biasanya, orang-orang ETC adalah orang yang sangat positif. Lebih banyak sabar daripada menunjukkan kekecewaan. Memang seperti itulah seorang pendidik seharusnya, mendorong murid untuk sadar belajar bukan mencurahkan amarah sehingga murid tertekan dalam belajar. Baiklah, kami akan mengikuti pelatihan ini dengan semangat. Pengajar muda pun satu-dua berdatangan. Minus Sakti karena ia sedang sakit perut. ETC memulai pelatihan dengan membahas masalah apa yang mendasar dalam mengajarkan Bahasa Inggris. Hal yang banyak diungkapkan adalah besarnya gap atau kesenjangan antara kemampuan dasar berbahasa Inggris dengan tuntutan kurikulum. Orang-orang di desa yang sudah cukup kesulitan mempelajari Bahasa Indonesia dipaksa untuk mempelajari bahasa yang lebih asing didengarnya. Jadilah Bahasa Inggris menjadi momok. Menakutkan. Lalu apa jadinya? Tentu saja Bahasa Inggris menjadi semakin sulit dikuasai. Seorang lulusan SMA dari misalnya, memperkenalkan temannya dengan kalimat “ I am Suhardi” bukan “he is Suhardi”. Pertanyaan paling mendasar yang akhirnya dimunculkan adalah “harus dimulai dari mana?” Menurut Ka Anhar, pendiri ETC sekaligus pelatih utama, menyatakan bahwa memberikan motivasi adalah hal yang paling penting di awal mempelajari bahasa Inggris. Bahwa Bahasa Inggris itu mudah dan menyenangkan. Setelah ketertarikan itu muncul, seorang murid dibawa untuk mengenali berbagai benda di sekitar, berbagai kata kerja dan kata sifat dengan cara bermain atau bernyanyi. Selanjutnya mulai diangkat untuk mengenal cara menyapa, memperkenalkan diri, dan orang lain baik secara tulisan. Pada tingkat lanjut, pelatihan lebih diarahkan ke proses percakapan, diskusi, dan bahkan debat. Dalam pelatihan ini, kami belajar banyak tentang ide-ide permainan dan pastinya memang Bahasa Inggris tampak begitu menyenangkan. Malam tanggal 4 kami menginap di Villa seorang kawan di Pamboang. Sebut saja Ary. Vilanya menghadap ke laut lepas sehingga kami menikmati sisa-sisa percikan matahari terbenam sambil bermain ombak. Pertandinganpun dimulai. Pertandingan menggombal a la Korea. Laki-laki melawan perempuan. Barangsiapa yang tertegun, stunned, atau bahkan meleleh wajib memberikan skor untuk sang penggombal. “Seperti ombak ngga pernah menyentuh ujung pantai, kenapa sih aku nggak bisa dapatin kamu?” (Arrum, 2011) “Sedih ngeliat sepasang roda becak. Kaya aku sama kamu. Sejauh apapun pergi sama-sama tetap ngga bisa ketemu” (Fauzan, 2011) Dua penggalan gombalan di atas hanyalah secuil pertandingan sengit yang terjadi. Mudah-mudahan setelah setahun, kami akan dapat menerbitkan buku gombalan. Mas Agung sudah mencatatnya di buku supaya tidak terlupa. Malam itu kami habiskan dengan main kartu, makan ikan bakar dan rapat. Rapat untuk menentukan prioritas agenda selama setahun dan pembagian tugas. Banyaknya tawaran program yang datang membuat kami harus membuat skala prioritas supaya sesedikit mungkin pihak yang keberatan. Pagi yang baru datang lagi, pertempuran gombalpun berlanjut sampai di pelatihan ETC hari kedua. Dalam hal ini, bahkan masuk dalam proses pelatihan, mulai dari percakapan sampai membuat kisah cinta dalam Bahasa Inggris. Teman-teman ETC pun jadi ikut berpartisipasi atau setidaknya jadi target gombalan. Pelatihan ditutup dengan senang walaupun hari ini belum berakhir untuk saya. Setelah sampai di rumah, mandi sebentar, aku berangkat kembali ke Lapangan Palla-Pallang. Malam ini perlombaan puisi 3 bahasa dimulai. Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Mandar. Aku mendapatkan kehormatan untuk menjadi juri puisi bagian Bahasa Inggris. Senangnya aku menemukan Sakti di sana. Dia sudah sembuh rupanya. Setelah berkali-kali disembur oleh dukun. Benar-benar disembur air dari mulut sang dukun ke muka Sakti. Mistis oh Mistis. Sakti menjadi juri untuk puisi bagian Bahasa Indonesia. Berhubung 2 orang pengajar muda Indonesia Mengajar menjadi juri, yang artinya duduk tepat di depan panggung, jadilah kami sasaran empuk untuk disuruh maju dan bernyanyi. Tidak, tidak. Sakti dengan luwesnya berjoget di atas panggung. Saya? Tidak, tidak. Iramanya kurang pas untuk saya. Kalau ajeb-ajeb masih bolehlah. Loh?! Malam masih panjang. Enggan untuk tidur rasanya. Senang bertemu Sakti dan guru-guru aneh lainnya. Kamipun bernyanyi-nyanyi di pinggir pantai, lanjut di dekat tenda. Segala macam tarian mulai dari poco-poco, saman, jaipong, sampai SKJ pun kami lakukan. Malam yang menyenangkan. Akupun terlelap di tenda di sebelah anak-anak muridku.

Cerita Lainnya

Lihat Semua