info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Dia ini.. Menginspirasi

Adeline Susanto 4 Maret 2011
Inspirasi bisa menjadi pedang bermata dua. Menginspirasi dapat membuat orang lain melihat adanya peluang di depan mata untuk mengalahkan gunung mimpi. Inspirasi yang sama juga justru dapat membuat seseorang melihat ketidakberdayaannya menghadapi tanjakan yang curam. Benarkah? Atau kita yang salah mengerti maksud dari inspirasi itu sendiri. Bukalah mata dan ayo kita tapaki kisah yang menurut saya inspiratif ini. Namanya Saktiana Dwi Hastuti, seorang Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar. Gadis ini adalah lulusan dari universitas ternama di Indonesia. Cerdas, lembut, tapi juga berani. Itulah yang aku kagumi darinya. Cerita-cerita yang mengiringi senyumnya di waktu-waktu sempit kala aku bertemu dengannya tidak pernah gagal membuatku kagum. Sakti bertempat di Limboro, sebuah desa di atas bukit dengan kondisi yang unik. Tempat ini dapat dikatakan cukup jauh dari Kota. Jangankan kota, untuk menuju jalan poros menuju kota saja harus melewati 7 km jalan hancur berbatu dan berkelok-kelok. Sejarah memang menunjukkan bahwa  jarak dapat memisahkan daerah menjadi dua peradaban sebelum munculnya teknologi komunikasi.  Desa Limboro yang terletak jauh diatas dengan ketiadaan listrik apalagi sinyal ini merupakan desa yang cukup ramai, mungkin mencapai  sekitar 120 Kepala Keluarga.  Itu baru kepala keluarga. Kalau ditambah dengan tingkat reproduksi yang hampir tidak mengenal KB dan setiap keluarga bisa memiliki lebih dari 6 anak, coba saja perkirakan  berapa jumlah orang di pelosok bukit ini. Di dalam desa yang dapat dikatakan terisolasi ini, keberadaan seorang guru bantu dari Jakarta, tentunya adalah hal yang luar biasa. Kedatangan Sakti disambut dengan sangat baik oleh seluruh penduduk desa. Ditambah dengan kepribadian yang memang hangat dan terbuka, Sakti cepat mendapatkan simpati dan rasa sayang dari penduduk desa. Sakti menyempatkan diri untuk bertamu dari rumah ke rumah, menjalin silaturahmi dengan bantuan terjemahan dari tetangganya yang merupakan guru Aaliyah. Sebagaimana umumnya individu dalam suatu masyarakat, tentunya ada masalah yang terkadang timbul dalam ikatan sosial yang terjadi. Gosip menjadi satu hal yang tidak terelakkan ketika ada hal-hal yang dianggap tidak biasa, contohnya turun bukit menuju jalan poros, atau ada teman yang datang mengantar. Saat sebuah gosip datang, ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, tidak peduli. Kedua, menarik diri. Ketiga, memberikan informasi yang benar. Dalam hidup gotong royong di pelosok bukit ini, opsi yang dapat dipilih untuk tetap hidup nyaman adalah pilihan ketiga. Satu-persatu gosip tersebut bisa ditepis dengan cantik oleh Sakti yang berusaha mengkomunikasikan alasan perbuatannya ke orang-orang yang menganggap hal tersebut sebagai masalah. Dalam tugas pokoknya untuk mengajar, Ibu guru yang satu memang luar biasa. Menangani 23 anak dengan sifat yang berbeda-beda tentunya tidak mudah. Apalagi, sekolah yang ditempati Sakti ini memang kekurangan guru sehingga banyak yang harus dikejar dalam segi akademis. Berbagai metode mulai dari riang sampai adegan marah dilakoni sampai akhirnya bisa mendapatkan kelas yang kondusif untuk belajar. Kelaspun berjalan dengan baik, sesederhana setiap anak jadi memakai sepatu untuk sekolah, rajin membersihkan kuku, sampai terlibat aktif dalam pelajaran. Sebagaimana seorang guru yang baik, Sakti berusaha untuk mengenal setiap murid-muridnya secara personal. Di mana mereka tinggal, dengan siapa mereka tinggal, bagaimana mereka hidup. Menurut Sakti, sebagian besar anak didiknya kelas V merupakan anak-anak yang cerdas kinestetik dan kompetitif. Cerdas kinestetik dan kompetitif dalam arti mereka senang dilombakan dalam kegiatan yang bergerak, entah itu mencari hewan tanahkah, mengumpulkan barangkah, dan sebagainya. Menyadari hal ini, Sakti selalu mengupayakan pendidikanannya secara kompetisi. Dalam kompetisi tentunya selalu ada hadiah. Jangan bayangkan yang megah-megah. Nilai 5 dari setiap soal yang diberikan menunjukkan 5 perak. Setiap anak berkompetisi mengumpulkan nilai terbaik yang sekaligus menjadi tabungan untuk diberikan pada anak. Tidak seberapa memang, tetapi itu cukup untuk membuat anak-anak ini lebih bersemangat belajar. Tidak hanya itu, selain mengajar di sekolah pada waktu pagi, Sakti juga mengajar di rumah pada sore hari dan malam hari. Seolah belum cukup, ia melihat potensi banyaknya anak-anak. Sakti membangun PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Mulai dari menyebar selebaran promosi, mengurus administrasi, membuat cap, amplop iuran, bahkan seragam. Tentunya, pada intinya, ia juga yang menjalankan PAUD tersebut bersama ketiga guru lain yang bersemangat menjalaninya. Kembali lagi pada kata menginspirasi. Inspirasi yang mungkin di dapat dari kisah di atas dapat bermacam-macam, sebutkanlah sendiri. Kita bisa berpikir bahwa kita hanyalah seorang biasa yang tidak akan dapat melakukan hal di atas karena berbagai alasan. Untukku yang mengenalnya, Sakti juga masih seorang biasa. Ia bisa lupa, bisa salah, bisa ketiduran, bisa sakit, bisa marah, dan bisa menangis. Namun, dalam segala ke-biasa-annya itu, di saat anak-anak muda lain mengalami ketergantungan pada teknologi, Sakti dalam kesederhanaan dan kesahajaannya berusaha memenuhi panggilan jiwanya melayani di desa terpencil. Panggilan jiwa inilah yang membuka matanya untuk melihat permasalahan, menetaskan ide-ide inovatif dan inisiatif dalam hatinya, serta menghembuskan ketulusan dalam lakunya. Mungkin, menginspirasi itu bukan tentang melakukan hal besar atau hal yang serupa. Mungkin, inti dari menginspirasi hanyalah tiga kata itu : memenuhi panggilan jiwa, walaupun dimulai dari hal yang terkecil dan dipandang sebelah mata. Setidaknya itulah yang menginspirasiku menuliskan ini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua