Paminggalang,

Adeline Susanto 23 Januari 2011
11-13 Januari 2011 Perjalanan ke Paminggalangpun dimulai.. Perjalanan ini sebenarnya bukan hanya tentang menghabiskan waktu libur sekolah. Bukan juga untuk menguras lemak yang bertumpuk di tubuh. Perjalanan ini adalah tentang perang ego. Ego yang terganggu karena seolah diremehkan dan tidak dipedulikan orang. Aku tinggal di desa yang tidak begitu jauh dari Jalan poros Majene-Mamuju. Aku tinggal di rumah batu yang cukup besar dan bersih. Aku mengajar di sekolah yang gedungnya cukup bagus dan beberapa guru-gurunya masih sering datang. Meminjam kalimatnya Wiwin, malu dong kalau ada orang datang berkunjung dan melihat ternyata kita tidak se’menderita’ itu. Walaupun kalau dipikir-pikir lucu juga. Kami kan tidak pergi untuk menderita. Tapi semata-mata untuk berbagi inspirasi, motivasi, atau apapunlah namanya itu yang mungkin akan sulit dalam prosesnya. Jelas ini bukanlah panggilan untuk menderita. Perjalanan ke Paminggalan ini jadi liburan yang sangat menyenangkan. Pesertanya adalah Sakti, Wiwin, Tika, Ka Masna, Ka Icha, Ka Rusly, Ka Alfar, Cai, Pak Haji Saine, dan tentunya saya. Kami berfoto-foto di setiap lokasi yang memungkinkan untuk berfoto. Menikmati perjalanan setapak yang kadang-kadang licin dan becek, serta melewat 2 sungai besar. Dalam perjalanan ini kami melewati Pulo’be, sebuah lingkungan di tengah-tengah Desa Limboro dan Desa Paminggalang. Dengan sedikit rumah dan tanpa sekolah. Masih sekitar 5-6 km menuju Desa Paminggalan dan seorang anak kelas 1 SD harus melewati rute ini untuk bersekolah setiap harinya. Apabila hari hujan, tentunya mereka tidak bisa bersekolah karena air sungai meluap. Perjalanan berangkat dapat dikatakan cukup lancar. Kami sampai di Desa Paminggalang tengah hari. Melihat-lihat SD dan SMP satu atap dengan Pusdu di sampingnya. Semua kosong karena sekolah memang sedang libur dan Pusdu memang selalu kosong karena ketiadaan bidan. Kami singgah di rumah saudaranya Kak Masna yang ternyata adalah murid Bapakku di desa saat dia mengajar di Desa ini mulai tahun 1984-2003. Orang-orang di rumah panggung tersebut tengah memecah kemiri. Aku keasikan memecah kemiri di saat yang lain tidur. Kemiri yang sebelumnya dibakar sampai kering, dibanting ke batu dengan menggunakan bambu berujung seperti sendok. Kemiri yang belum dipecah berharga Rp 5000,00 per kilogram, sedangkan biji kemiri yang sudah dipecahkan berharga Rp 22.000,00. Jadi teringat kuliah Manajemen Inovasi dari pak gede Rake, penambahan value suatu barang seperti menambahkan kemasan atau contoh lainnya dapat meningkatkan harga jual jadi berkali lipat. Setelah dijamu makan siang, kami berkunjung ke rumah Pak Hamada Ali, sang Kepala Dusun. Ia bercerita tentang sulitnya akses menuju Desa Paminggalang. Sebenarnya desa ini dapat dikatakan sudah maju. Penduduknya cukup banyak, dengan rumah-rumah yang lebih layak ditempati dibandingkan rumah-rumah di sekitar rumahku.  Menurut bapak, desa ini cukup kaya karena tanahnya subur dan banyak ternak. Ayam, sapi,dan kambing banyak terlihat, terutama tainya yang menyebar di sepanjang perjalanan kami. Listrikpun ada walaupun dengan genset sampai jam 22.00. Sendal pertama yang kulihat bermerek crocs, dan keberadaan parabola adalah hal yang banyak terlihat. Lagi-lagi kata Wiwin, desa ini merupakan desa yang seksi untuk dibangun. Masalah utama yang ada benar-benar hanya akses yang sulit untuk menuju ke sana. Ketiadaan bidanpun disebakan hal ini. Di rumah Pak Kepala Dusun terdapat banyak obat-obatan yang ditinggalkan bidan sebelumnya. Bidan tersebut sudah pindah tugas. Penduduk tidak berani menggunakan obatnya karena takut sudah rusak. Aku mencoba melihat obatnya, tanggal kadaluwarsa, dosis, dan kontra indikasinya. Umumnya masih dalam keadaan baik. Aku menuliskan keterangan dan dosis obat batuk, maag, dan vitamin yang bisa dimanfaatkan penduduk. Untuk botol-botol obat yang bertuliskan banyak kontra indikasi tidak kutuliskan karena memang aku tidak berwenang. Sore hari aku dan teman-teman berjalan menuju air terjun. Jaraknya mungkin sekitar 1 km. Air terjunnya cukup tinggi, dengan batu tempat air mengucur yang terpecah sehingga membentuk huruf X. Ka Rusli memanjat bebatuan sampai ke puncak air terjun. Pak Saine tidak mau kalah dan menyusulnya. Memang hebat bapak 50 tahun ini. Setelah banyak berfoto ria, kamipun beranjak, melewati lapangan bola, dan akhirnya kembali ke rumah. Sepatuku rusak. Sepatu kenangan yang dibelikan kakakku sekitar 7 tahun yang lalu. Ada kejadian yang agak kurang mengenakkan terjadi sekitar magrib. Para laki-laki bermain gitar dan aku ikut menyanyi. 2 orang gadis desa turut bersama kami. Pertama-tama, tangan seorang gadis yang duduk di sampingku menggenggam tanganku. Tiba-tiba, gadis lain yang berdiri dibelakangku memeluk pinggangku sambil berkata, “Sayang”. Aku berusaha biasa saja dan tetap tersenyum. Mungkin dia hanya bercanda, sambil menirukan adegan di televisi.Tapi tetap saja aku agak risih. Akhirnya aku memutuskan berganti posisi duduk. Yang sebelumnya disampingku jadi berada di belakangku, sedangkan gadis yang berdiri berada di sampingku. Nah, gadis yang dibelakangku ini menyenderkan kepalanya di punggungku sambil berbisik, “cantik..” Okey, ada yang salah nih. Aku tetap berusaha biasa saja. Para lelaki sepertinya tidak ada yang menyadarinya. Saat mereka pergi ke masjid di depan rumah, kedua gadis ini memegang gitar dan memetik sesuka hati. Untuk mengalihkan mereka dari gerakan-gerakan aneh, aku menunjukkan bahwa ketika senar gitar ditekan pada tempat yang berbeda, akan dihasilkan tinggi suara yang juga berbeda. Aku melantunkan lagu “satu satu aku sayang ayah” yang dilanjutkan mereka “dua dua aku sayang Aline”. Okey lagi, cukup. Sepertinya aku harus berlindung. Tanpa sandal aku melangkah menuju mesjid, berdiri di depan pintu, sambil berharap teman-teman selesai sholat dan melihat ke arahku. Sakti menghiburku dengan mengatakan bahwa MUNGKIN itu adalah cara mereka mengatakan bahwa mereka ingin dekat denganku, dengan sentuhan. Ya ampuuun, disentuh begitu sama laki-laki saja risih sekali apalagi sama perempuan yang baru kenal. Malam itu aku cepat tidur, tidak bisa lagi membohongi diri bahwa badanku lelah. Beredarnya isu Pocong di desa membuat rumah dikunci rapat. Kabarnya ada seorang penduduk yang baru meninggal dan semasa hidupnya dia bergaul dengan setan. Almarhum menjadi pocong dan memunculkan dirinya di kuburan dekat lapangan sepakbola dan datang ke rumahnya untuk minta makan. Sakti disuruh waspada apabila mencium bau amis. Dengan adanya cerita ini, alhasil teman-teman tidak jadi berpikir untuk tidur di masjid. Tengah malam hujan turun deras sekali. Berlanjut sampai pagi, berhenti sejenak, lalu deras lagi menjelang siang. Wah, terancam tidak bisa pulang karena pasti sungai meluap. Baru melihat betapa cuaca dapat sangat berpengaruh pada desa yang terisolir ini. Untunglah siang hari hujan berhenti. Pak Haji yang rumahnya kami tinggali memotong ayam untuk dimasak dan kami makan. Setelah makan, kami beranjak pergi. Karena hujan deras yang mengucuri sebelumnya, kami tidak dapat melewati jalur yang sama dengan jalur berangkat.  Sungai tidak akan bisa dilewati karena arusnya yang deras. Kamipun melewati jalur memutar. Naik turun bukit di tanah yang licin dan curam. Benar-benar naik turun. Cai yang berjalan cepat telah berada di puncak bukit di depan saat aku baru saja sampai di puncak bukit yang di belakang. Hal yang menghibur adalah ketika mendaki, aku melihat pemandangan yang luar biasa di belakangku. Hutan, bukit, rumah kayu, langit biru. Indahnya alamku Indonesia. Seperti kukatakan sebelumnya, sepatuku rusak. Sakti meminjamkan sendalnya untuk kupakai namun ternyata lebih baik jika aku tidak mengenakan alas kaki.Setidaknya jari-jari kakiku bisa menggenggam tanah yang licin. Jarak tempuh yang kami lalui untuk menghindari sungai adalah 5 km, sedangkan jarak tempuh lewat jalur berangkat hanyalah 1 km. Benar-benar jalur yang luar biasa. Kalau tempatku dikategorikan sebagai Majene A sedangkan tempat Firman adalah Majene C, maka Desa Paminggalang boleh jadi dikategorikan Majene E atau F karena penjangkauannya yang sulit.  Jalur Limboro dapat dikatakan sebagai jalur yang paling enak untuk dilalui karena agak datar. Malam di hari kami tiba di Desa Paminggalang, datang juga rombongan pencinta alam dari SMA 1 Pamboang. Mereka berangkat lewat Putta’da dari jam 13.30 dan sampai pukul 22.00. Ada satu perempuan yang tangannya dibalut, sepertinya keseleo dalam perjalanan. Dalam sisa-sisa tenaga, akhirnya kami sampai di jembatan, dengan Cai, Ismail anak Pak Haji datang dengan motornya membawa teman-teman bermotor lainnya. Syukurlah ada jemputan untuk melewati 2 km jalur menurun dan mendaki yang tersisa. Cai memang mendahului kami untuk mengambil motor dan memangil teman-teman. Sangat baik. Sesampainya di rumah Sakti, Sakti langsung mencari kuskusnya tercinta. Ternyata si kuskus yang dinamakan lapessi diam saja. Aku mengambilnya dari kandang dan menemukannya tidak bergerak dengan badan yang dingin. Sepertinya mati kedinginan. Kasihan. Aku membalik tubuhnya kaget melihat ada darah kering di bulu bagian perut. Berarti kemungkinan lapessi kecil diganggu kucing. Sakti shock dan menangis. Sepanjang perjalanan pulang, ia terus meneriakkan Lapessi dan Lapessi. Lapessi telah menjadi penyemangatnya untuk melalui jalur pulang yang menghabiskan tenaga. Setelah beberapa saat, Lapessi dikuburkan di halaman depan rumah. Kamipun bersiap-siap mandi di mata air panas Limboro. Pemandian air panas itu merupakan pemandian paling enak, mungkin seumur hidupku sampai saat ini. Otot-otot yang kaku mengeras selama perjalanan menjadi sangat rileks. Sebenarnya aku agak malas ke pemandian ini karena airnya yang keruh dan agak kotor. Namun, gelap malam membuatku membohongo kenyataan tersebut. Hanya nyamannya air panas yang kurasakan. Luar biasa. Perjalanan yang diakhiri dengan sempurna. Aku menghabiskan sisa malam dengan bermain keyboard Ismail. Dengan nada-nada suka-suka dan lagu-lagu yang masih kuingat. Enak sekali tidurku malam itu. Bangun pagi, saatnya pulang. Aku, Wiwin, dan Tika berencana berkumpul bersama Arrum untuk membicarakan RPP kelas 5 semester 2 keesokan harinya. Hari ini, kupakai untuk mencuci baju-baju kotor, beristirahat, mencari murid yang mau diikutsertakan Olimpiade Sains Kuark sampai berlumpur-lumpur karena melewati sawah, pergi ke Somba untuk melakukan pendaftaran, dan bertemu Arrum di sana. Selepas pendaftaran, saya dan Bapak mampir ke rumah ketua panitia, KaSD 20 Somba, Pak Nardi, untuk memastikan kelancaran proses pendaftaran. Selanjutnya, kami menuju ke rumah salah satu guru SD 28 Putta’da untuk mengingatkan dia akan keberadaan lomba ini. Kepala sekolah ini baru pensiun sehingga ada kekosongan pemimpin yang menyebabkan ketidakhadiran perwakilan sekolah dalam rapat UPTD perihal OSK ini. Terakhir sebelum pulang dan beristirahat, kami mengunjungi rumah Pak Kades Sendana yang katanya baru keluar dari rumah sakit karena penyakit maag. Semoga lekas sembuh!

Cerita Lainnya

Lihat Semua