info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Mamuju, Karang Puang

Adeline Susanto 23 Januari 2011
14-16 Januari 2011 Saat-saat bersama kalian adalah seperti oase di tengah padang gurun. Menyegarkan. Namun tolong, kalau mau berlibur berikan dulu informasi sebelumnya. Hari ini aku diculik menuju Mamuju. Awalnya hanya berencana berkumpul di Majene dengan Arrum, Wiwin, dan Tika untuk membicarakan RPP kelas 5 semester dua. Kaget sekali ketika Panther datang di Palipi dan aku melihat sosok Firman BK di dalamnya. Wah, senangnya. Tapi aku bingung kenapa Tika tidak ada di dalam mobil. Kejutan kedua adalah ketika aku mengetahui Bahwa Agung dan Tika sedang di motor, menuju Mamuju. Agak Kecewa ketika tahu Fauzan pergi ke balikpapan tanpa bilang-bilang. Tapi malam ini dia pulang sehingga besok pagi akan bergabung, di Mamuju. Sakti juga ternyata dalam ketidaksengajaan pergi, ke Mamuju, untuk menghadiri pernikahan kenalannya. Soleh? Sudah di Mamuju untuk survey lokasi dan penginapan. Uwaaaaw... Sayang sekali tidak ada Nisa. Ia berkelana menjelajah Tana Toraja, sekalian mencari informasi untuk nanti kami semua berangkat ke sana. Intinya.. tetap saja, kaget! Berangkat dari pelabuhan Palipi jam 19.30 dan sampai sekitar pukul 22.30. Panther berhenti di Hotel Golden Marannu, tempat Soleh memesankan kamar. Seharusnya 1 kamar hanya bisa diisi maksimal 3 orang, tapi 4 wanita ini bersikeras masuk di satu kamar. Pihak hotelpun mengalah. Hahaha dari pada tidak dapat pelanggan. Setelah beberapa saat dalam euforia menemukan kasur empuk dengan TV dan kipas angin dalam kamar berharga Rp.140.000 per malam, kami akhirnya mengindahkan perut yang menggedor-gedor sedari tadi. Berjalan sedikit ke pinggir pantai, kami menemukan deretan warung yang sebagian sedang menggulung terpal warungnya. Maklum, jam sudah menunjukkan sekitar pukul 12 malam. Untunglah masih ada warung yang buka karena aku sudah berliur ingin makan nasi goreng. Nasi dan  digoreng, perpaduan sempurna makanan yang tidak sebaiknya dimakan sebelum tidur. Mantaplah. Sepulang dari warung, kami berjalan-jalan mengitari daerah sekitar hotel, dan membawa pulang 2 kotak kartu remi. Kembali ke kamar, kami pun bermain dengan kartu-kartu ini. Dimulai dengan permainan 41 yang berisikan penjumlahan 4 kartu untuk mendapatkan penjumlahan angka 41, permainan cepe dengan 7 kartu  untuk membuat angka 100 bergantian sampai kartu habis, sampai akhirnya sekedar bernostalgia dengan permainan cangkul. Ahh.. cangkul. Siapa sangka sekarang aku dekat sekali dengan cangkul. Mata mulai berat, para pria mulai memisahkan diri dan beberapa dari kami langsung tertidur. Aku dan Arrum tetap membahas RPP untuk menghindarkan kami dari kebohongan publik ketika kami pamit pergi ke luar desa untuk rapat. Jam menunjukkan pukul 03.00, sudah tidak konsentrasi. Tidur.. tidur.. Bangun sekitar jam 8.30. Wah, kalap. Hari ini kami harus mengumpulkan data peserta Olimpiade Sains Kuark se-Kabupaten Majene serta mentransfer dana pendaftaran ke rekening panitia penyelenggara. Beberapa saat kemudian datanglah Fauzan dari perantauannya ke Tanah banjar. Kami pun berangkat untuk check out dan mencari makan. DI perjalanan aku mampir di toko kelontong untuk membeli perlengkapan untuk pelatihan OSK. Di toko mahkota, aku menemukan bola voli. Tergiur untuk membeli bola supaya bisa main dengana anak-anak. Sebenarnya lebih ingin membeli raket bulu tangkis, namun apa daya keterbatasan dana.Setelah belanja-belanji, kami pun makan nasi campur di warung pinggir jalan. Soleh memberi ide untuk kami pergi ke pulau Karangpuang yang letaknya dekat dengan pelabuhan. BK kembali karena harus menghadiri perkawinan dan Agung turut serta karena tidak mau ketinggalan pengajian malam harinya. Sedih deh.. Waktu terus berjalan dan sepertinya agak mustahil untuk pergi ke pulau sebentar terus kembali untuk berangkat ke tempat masing-masing. Tempatku terbilang cukup dekat dengan jalan poros, sekitar 1 km. Tapi teman-teman yang lain, mencapai 2-5 km dari jalan poros menuju rumah. Aku mengajukan untuk menginap semalam lagi.  Setelah kebimbangan panjang, akhirnya semua sepakat untuk menambah satu malam di Mamuju. Kamipun bisa berangkat ke pulau. Pulau Karangpuang dapat dikatakan sangat dekat. Hanya sekitar 15 km dengan perahu motor. Biaya perjalanan hanya Rp 5000,00. Kejernihan air mengundangku untuk langsung melompat ke laut. Sayangnya, rasa takutku menang hari ini. Aku meilhat buanyaaaaak bulu babi di lautan yang jernih ini yang menahan niatku menyebur. Di pulau ini ada sebuah penginapan, namun sayangnya tempat tersebut sedang penuh. Pak Jongke, pemilik wisma menawarkan kami tinggal di rumahnya namun kami memutuskan untuk kembali pulang. Sepertinya pulau ini pernah memiliki masa-masa keemasan. Memiliki satu panguung, tersedia lampu-lampu penerang, dan ada jalur semen sekitar 6 km mengitari pulau. Saat ini, panggung sudah mulai reot, dan hanya ada satu penginapan lain berupa rumah kayu yang kaca jendelanya pecah lantai kayu bolong-bolong dan WC yang sebaiknya tidak diceritakan. Seandainya tarian atau pertunjukkan Mandar ditampilkan di sana seperti pertunjukkan angklung di Saung Angklung Udjo Bandung, saya yakin pulau ini akan lebih hidup;. Setelah singgah di salah satu puncak tertinggi pulau untuk melihat keindahan dari atas dan mampir ke gua lidah yang berlubang masuk kecil tapi dalamnya agak besar di sebelahnya, kamipun turun untuk merasakan permainan air laut di jari kaki kami. Memesan Indomie dari Pak Jongke yang mempunyai warung di rumahnya. Memakan mie sambil menatap laut serta melegakan kerongkongan dengan menegak nikmatnya air kelapa muda langsung dari tempurungnya. Sempurna Senja tinggal sedikit lagi. Rencana kami mengunjungi sekolah di pulau ini belum bisa terlaksana. Di pulau ini ternyata ada 4 SD dan 1 SMP, luar biasa memang efek kedekatan dengan Ibukota provinsi. Lain sekali ceritanya di beberapa puluh kilometer di sekiitarnya. Pak Jongke berbaik hati memanggilkan kapal untuk kembali ke pelabuhan. Sudah terlalu sore memang. Karena pelayaran ini merupakan permintaan khusus, kamipun harus merogoh kocek lebih banyak. Rp 100.000,00 dibagi 6 orang. Soleh yang membawa motor langsung melaju, mencari informasi penginapan lainnya sedangkan yang lain menuju ke warnet. Senangnya bisa ngobrol dengan teman-teman tersayang lewat Y!M. Makan malam hari ini apa ya? Bingung berujung warung nasi goreng. Lagi. Menikmati malam terakhir berlibur sebelum memulai semester yang baru. Kami akhirnya menginap di hotel yang sama lagi, di kamar yang sama lagi. Haduh haduh, tahu begitu tidak kami bawa tas punggung yang memberatkan itu. Malam ini tidak banyak energi untuk main kartu, aku pun ketiduran sambil dininabobokan tayangan “Love in The Time of Cholera”. Pagi-pagi aku bersiap ke gereja. Hari ini semua gereja dimulai pukul 09.00. Semua, artinya lebih dari satu. Kata kenalan Wartawan Radar Sulbar, banyak gereja di sekitar jalan puncak. Dan memang benar, ada banyak bersebrang-sebrangan. Berkeliling dengan Soleh untuk mencari GKI namun tidak kutemukan. Akhirnya aku berhenti di GKSB. Setidaknya aku bergereja walaupun bukan di gereja yang biasa kudatangi. Hanya berharap gereja ini tidak berbahasa mandar karena namanya Gereja Kristen Sulawesi Barat. Soleh kembali ke rumahnya setelah mengantarkanku. Ada janji memancing dengan warga katanya. Sepulang dari gereja, aku kembali ke hotel. Beres-beres, check out lagi, pergi ke Masjid Agung di depan Kantor Gubernur sambil mencari makan. Terjebak hujan di pinggir jalan. Menemano teman-teman sholat di masjid Agung. Masjid ini seperti gedung disney land. Besar, memiliki menara-menara dengan warna-warni pastel. Dalamnya pun juga indah. Kubah di tengah masjid bertuliskan kaligrafi-kaligrafi tulisan Arab dengangambar gambar awan di beberapa bagian. Cantik. Setelah makan ayam bakar di Warung Idola yang enak, kami berjalan menuju terminal. Ternyata terminal itu lumayan jauh, mungkin butuh satu jam berjalan mencapainya. Untung ada bapak di pinggir jalan yang menawarkan kami ikut mobilnya. Bagian menunggu mobil ke Majene lewat yang menghabiskan waktu kita lewati saja. Akhirnya saya sampai ke rumah sekitar pukul 18.40. Wiwin kasihan, tidak ada ojek naik ke desanya dan genset di desa sedang rusak sehingga tidak ada penerangan. Saat tulisan ini dibuat, aku belum mengetahui kelengkapan cerita bagaimana ia sampai di rumah. Aku belum siap untuk menghadapi hari esok. Belum siap menghadapi semester baru di kelas yang baru. Aku mencoba menyiapkan sebisaku, tapi memang liburan sebelum kerja bisa mengganggu konsentrasi. Kemalasan menghadapi hari Senin. Monday Blues, istilahnya menurut Arrum. Nampaknya aku memang harus berserah sepenuhnya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua