my mellow march

Adeline Susanto 30 April 2011
30 Maret 2011 Aku menemukan diriku semakin jarang menulis. Mungkin karena aku merasa menulis untuk diriku sendiri. Maklum, sebagai orang yang pelupa, aku merasa harus menuliskan hal-hal yang terjadi dalam hidupku, mulai dari yang besar sampai yang sepele. Mulai dari hal yang memaksaku berpikir, sampai yang sekedar merangsangku untuk berpikir. Menurutku, aku belajar dari hal-hal sepele, kesalahan kecil yang kulakukan berulang-ulang, dan keragu-raguan yang sering kali membuat tidak dapat mengandalkan diriku sendiri. Aku tidak menuliskan hal-hal yang menggugah, mungkin karena memang bukan tujuanku menginspirasi lewat tulisanku. Aku semata-mata ingin berbagi pada siapapun di sana, apa yang kulakukan di sini. Aku seharusnya membuat perubahan besar, aku seharusnya menjadi garam dan terang, aku seharusnya bla bla bla yang tidak perlu kau sebutkan satu per satu karena menurutku aku cukup paham apa yang seharusnya kulakukan. Namun, kenyataan sepertinya tidak pernah semudah itu. Aku memiliki harapan yang tinggi akan anak-anak didikku. Aku ingin mereka mencintai belajar, aku ingin mereka lanjut sekolah. Aku ingin memberikan suasana belajar senyaman mungkin untuk mereka, sebelumnya dengan mendiskusikan peraturan untuk dipatuhi bersama. Ada konflik dimana peraturan justru menjadi fokus dalam kelas. Setiap anak menunjuk anak lain yang dianggap bersalah. Menghakimi, merasa diri benar dan orang lain salah. Bagaimana aku bisa menunjukkan pengampunan dan di saat yang sama konsistensi peraturan? Aku ingin membantu Bapak Ibu dalam proses pengurusan Rumah Sakit. Aku merasa, sebagai orang yang lebih berpendidikan, seharusnya aku bisa lebih berperan dalam administrasi dan sebagainya. Namun fungsi ini didominansi oleh sang tetangga keponakan Ibu.  Mulai dari RS, rujukan, pertimbangan operasi, pembatalan, keluar RS, sampai berobat dukun.  Setidaknya memang aku masih bisa berperan dalam menjelaskan hasil pemeriksaan dokter, dan sedikit menjaga supaya Ibu tidak salah rawat seperti beberapa kejadian di RS. Namun, memang, tidak mudah bagi seorang yang baru tinggal bersama 4 bulan untuk mengubah apa yang telah mereka yakini dan jalani selama ini. Yang kupertanyakan, apakah yang dimaksudkan dengan tanggung jawab moril? Cukupkan jika aku berada di samping mereka ketika mereka sakit, menemani mereka dalam semua pengobatan dukun yang membuatku pusing dan ingin segera pergi? Karena aku tidak mampu memaksakan mereka mengikuti keinginanku untuk berobat dokter. Jelas biaya lebih mahal, dan situasi rumah sakit, pakaian, gaya berbicara, istilah kesehatan, memang terasa sangat asing dibandingkan dukun yang bergaya seperti mereka dengan bahasa yang lebih biasa mereka dengar. Pemimpin itu adalah sumber solusi, bukan kumpulan keluhan dan permasalahan. Begitu kutipan dari alm. Faisal Riza, senior yang kukagumi. Begitu seharusnya, begitu teorinya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua