Berobat ke Makassar

Adeline Susanto 30 April 2011
30  Maret 2011 Sudah dua minggu ini aku absen mengajar. Diawali dengan pelatihan oleh pusat selama 3 hari dan di rumah sakit setelahnya. Aku mendapat kabar sewaktu pelatihan bahwa induk semangku masuk ke rumah sakit. Malamnya aku bergegas menuju RSU Majene dan melihat Ibu yang sedang tertidur dengan infus yang menusuk tangannya. Ibu lemas sekali kelihatannya. Sejak aku datang memang Ibu suka mengeluh tentang benjolan yang berada di lehernya.  Sebelumnya benjolan itu tidak terasa sakit sehingga aku hanya menyarankan Ibu memasak dengan garam beryodium. Setelah 3 bulan berlalu, Ibu mulai merasa agak sakit. Berbekal sepotong informasi dari para tetangga, Ibu pergi berobat alternatif yang baru saja kudengar. Pengobatan alternatif dengan menggunakan lebah yang khusus. Sayang aku tidak sempat melihat langsung pengobatan itu karena saatnya bersamaan dengan pelatihan peserta Olimpiade Sains Kuark dimana aku menjadi pembimbingnya. Leher Ibu disengat 5 -7 lebah selama 3 periode. Dalam proses antar periode yang umumnya 1 minggu ini, Ibu mengalami demam yang membuatnya mengigil sekali. Kata tabibnya, memang itu yang akan dirasakan. Benjolan di leher Ibu mulai mengalami perubahan menjadi lebih lembek dan mengecil. Waw, penasaran sekali aku akan si lebah-lebah yang sudah berkorban diri ini. Kegiatan berjalan seperti biasa setelahnya, namun Bapak terlihat agak pucat. Selama sebulan, Bapak sering mengeluh mual dan tidak enak badan, serta lemas ketika harus berjalan. Bapak saat ini memiliki berbagai penyakit. Sebut saya diabetes, asam urat, kolesterol, darah tinggi, dan maag. Beliau mematuhi perintah dokter untuk tidak makan sayuran hijau dan kacang-kacangan, serta tidak minum kopi. Satu perintah yang tidak bisa dia penuhi adalah rokok. Sulit sekali memang untuk dapat berhenti merokok. Kembali ke RSU Majene dengan Ibu yang tertidur di dalamnya. Keesokan harinya aku dapat berbincang dengan dokter. Beliau mengatakan bahwa Ibu mengalami gondok beracun dan harus dioperasi. Sayangnya RSU Majene tidak dapat melakukan operasi ini sehingga perlu untuk dirujuk. Setelah perdebatan panjang tentang lokasi rujukan, ada tidaknya famili, pemberlakuan ASKES, dan estimasi biaya, akhirnya diputuskan Ibu akan dirujuk ke RS Pelamonia Makassar. Di hari keberangkatan, aku menyempatkan diri untuk pulang dan berpamitan pada guru dan anak-anak kelasku. Dengan panther kenalan Kak Anti, kamipun berangkat selepas Maghrib dan sampai sekitar pukul 03.00 pagi. Kurang informasi, dan mungkin sedikit keapatisanku, membuat kami baru mengetahui bahwa poliklinik tutup pada hari Sabtu dan Minggu sehingga Ibu tidak dapat diperiksa oleh dokter lebih cepat. Kami memutuskan merawat inap Ibu sambil menunggu Senin datang. Bapak adalah PNS golongan Iva sehingga mendapat jatah ASKES di kelas 1 namun karena penuh maka kamar yang ditempati adalah kelas 3. Untungnya, RS ini melakukan konsultasi dengan dokter sehingga pengambilan darah (FT3, FT4, TSHS) tetap bisa dilakukan, dengan memanggil Pekerja Lab. Prodia. Siang harinya, ternyata Dokter Budiono menyempatkan singgah dan memeriksa Ibu. Saking semangatnya, aku menceritakan tentang penyakit Ibu dan bertanya banyak hal. Sang dokter hanya tertawa-tertawa kecil sambil menjawab sepotong sepotong. Kak Anti menegur untuk tidak bertanya terlalu banyak lagi. “Bisa-bisa nanti kita tidak disukai dan tidak mau periksa lagi”. Dokter meminta kami untuk membawa Ibu ke Dr. Randanan Baso untuk pemeriksaan FNAB. Jadilah sore itu Ibu dibawa ke sana untuk pengambilan sampel cairan dengan jarum halus di lehernya. Hasil ini baru keluar hari Rabu pagi dan menunjukkan bahwa Ibu mengalami peradangan akut, bukan tumor tiroid. Syukurlah. Hasil ini ditunjang dengan hasil tes darah yang keluar Selasa malam yang menunjukkan bahwa kondisi tiroid Ibu baik-baik saja.  Senin malamnya aku memutuskan untuk pulang karena  ‘waktu menunggu’ ini lebih baik kumanfaatkan untuk mengajar. Namun, hari Rabu aku diberitahu bahwa Ibu akan dioperasi hari Kamis sore. Aku memutuskan untuk berangkat ke Makassar malamnya. Setelah berangkat dari desa menuju ke Majene dan membeli tiket bus, aku mendapat sms “Met mlm de’ kta bpk tdk usah ktx brgkt kemksr in mlm krn ibu udh mau keluar besk.” Cara membacanya mungkin begini : Tidak usah berangkat ke Makasar malam ini karena besok Ibu akan keluar RS. Aku bingung karena sms tiba-tiba ini, sehingga aku sms lagi bahwa aku sudah membeli tiket, apa benar-benar sudah mau pulang?. Dijawablah  dengan sms “tdk jd jualmi kembli it tiketta de” yang artinya : batalkan, jual kembali tiketnya. Malam itu aku menelpon untuk memuaskan kebingunganku. Rupanya Ibu ketakutan tidak bisa berbicara kalau sampai sewaktu operasi pita suaranya terpotong. Menurut Kak Anti, dokter tidak meyakinkan Ibu bahwa ia akan baik-baik saja sehingga membuatnya ragu. Di saat yang sama ada yang mengatakan tentang keberadaan dukun yang bisa menyembuhkan penyakit ibu. Mereka berencana keluar dari RS dan berobat dengan dukun tersebut. Waduh.. Aku meminta Kak Anti menanyakan ke dokter pilihan lain selain operasi. Atas saran seorang teman, terima kasih dr. Harry,  Aku mencoba membujuk mereka untuk sebisa mungkin melakukan pengobatan medis. Mereka setuju, dan karena masih perlu dimonitor, mereka mengatakan belum akan mengeluarkan Ibu dari RS. Jadilah aku berangkat keesokan harinya, di hari Jumat, terima kasih pada teman-teman RANU yang berbaik hati mengantarkan. Cerita belum berhenti, kaget sekali malam itu ketika di perjalanan mendengar kabar bahwa Ibu sudah dikeluarkan dari RS. Daripada aku sakit jantung, aku mencoba tenang dan tidur (alasan.. memang mengantuk sih). Dan memang demikian adanya, Ibu singgah di kamar kosan adik Kak Anti, Wati. Mereka telah menjalani pemeriksaan oleh dukun malam sebelumnya. Seorang dukun perempuan yang, menurutku, memiliki produksi hormon testoteron berlebih sehingga tumbuh rambut panjang di dagu dan di atas bibirnya, serta suaminya yang nampak sangat berpengalaman memijat. Dukun ini meminta dibelikan baju, sarung, dan piring untuk mandi Bapak Ibu sebagai bagian dari prosedur penyembuhan. Bapak? Ya, ternyata penyakit Bapak tidak kalah dengan Ibu, bahkan lebih parah. Hbnya 4,5 (normal 12-14) yang menunjukkan kondisi anemia. Malam itu aku melihat prosesi penyembuhan  sang dukun yang sama untuk Bapak dan Ibu. Ibu dan Kak Anti sudah mewanti-wanti supaya aku diam saja ketika dukun sedang beraksi. Tidak boleh banyak tanya seperti yang kulakukan pada dokter di RS. Pasangan dukun ini meyakinkan Ibu bahwa ia akan sembuh apabila ia yakin sembuh. Hm.. pelajaran tentang keimanan yang tipis bedanya dengan sugesti. Mind over matters memang. Selanjutnya, sang suami memijat-mijat ibu dengan minyak kelapa bercampur lada. Sepertinya Ibu memang merasa nyaman sekali dipijit seluruh badannya. Setelah pijat-memijat, injak-menginjak, serta tarik-menarik sambil didoakan oleh sang dukun, Ibu diminta meminum air putih yang sudah dibaca-bacakan entah apa dalam Bahasa-yang sepertinya-Arab sambil berdiri. Selanjutnya sang dukun mengucap bacaan lagi dengan tangan didepan mulutnya,kemudian “Cuhh..” ludah pun membasahi tangannya yang langsung di’oleskan’ ke leher Ibu. Astaga.. semoga dukun itu tidak punya penyakit-penyakit lainnya. Terakhir, Ibu diminta meminum air hijau yang katanya berasal dari tanaman hutan. Penasaran sekali akan nama tanamannya, namun karena sudah diperingati untuk tidak bertanya, aku hanya diam. Sepertinya dukun ini memahami tanaman obat karena Ibu diminta mengunyah kunyit dan kelapa yang dibakar. Malam itu, Ibu buang air sampai 10 kali sedangkan Bapak muntah-muntah. Menurut dukun, yang keluar adalah penyakitnya. Walaupun aku merasa itu karena air mentah yang digunakan dalam minuman hijau itu. Keesokan harinya aku singgah ke tempat praktek Dr. Randanan Baso yang mengambil sampel dari gondok Ibu. Setelah menunggu 3 jam karena banyaknya pasien yang datang, aku menceritakan tentang kondisi Ibu, tentang Ibu yang tidak mau operasi karena takut tidak bisa bicara lagi, dan tentang ia yang berobat di dukun. Dokter tersebut mengatakan bahwa itu tanggung jawabku untuk menjelaskan kepada mereka untuk menjalani pengobatan medis, yang setidaknya, punya latar pengetahuan yang jelas. Aku memintanya berbicara sambil kurekam sebagai penguat untukku bercerita pada Ibu. Dokter menyatakan bahwa memang gondok Ibuku adalah gondok jinak, tidak bermasalah kecuali sampai menekan ke kerongkongan. Ia menekankan Ibu untuk meminum obat modern, walaupun sambil menjalani pengobatan dukun. Tentang pita suara, dokter  menyatakan bahwa pasti ada kurang informasi tentang hal ini. Rekaman itu cukup manjur, Bapak dan Ibu serta Kak Anti mendengarkan dengan seksama dan setelahnya Ibu mulai meminum obat dokter. Dalam pembicaraani dengan Dr. Randanan Baso yang sudah cukup tua dengan 2 cincin bypass di jantungnya namun tetap semangat melayani pasien dan tidak meminta bayaran untuk konsultasi, Ia berpendapat tentang kondisi HB Bapak yang sangat rendah. Ada beberapa kemungkinan, seperti keberadaan cacing pita yang memakan darah-darah tersebut. Cacing diidentikkan dengan sanitasi yang buruk, yang mungkin memang ada di desa kami. Satu hal yang sangat disarankan adalah supaya Bapak mau menjalani pemeriksaan darah. Dan Bapak pun mengiyakan, walaupun ia tidak akan mau apabila diminta untuk diopname. Pemeriksaan pun dilakukan. Dari poliklinik saraf, berbekal surat rujukan asal dari RS sebelumnya, Bapak diminta untuk tes darah dan periksa jantung. Pemeriksaan di poliklinik jantung menunjukkan adanya penurunan fungsi jantung sehingga dokter memberikan 5 resep untuk jantung, darah tinggi, dan peluruh kencing. Setelah Bapak berpuasa 10 jam malam harinya, Ia pun melakukan pemeriksaan darah. Hasil tes yang kudapatkan sorenya menunjukkan kadar ureum, kreatinin, dan asam urat yang sangat tinggi. Selain itu, untuk kolesterol, HDL sedikit dibawah normal, dan LDL sedikit di atas normal. Kondisi glukosa puasa Bapak cukup baik, namun glukosa 2 jam setelah makan sangat tinggi, menunjukkan ada penurunan fungsi pankreas. Yang paling bermasalah dalam hasil ini, dapat ditebak, adalah sel darah merahnya yang jauh di bawah normal. Ada kemungkinan hal inilah yang menyebabkan penurunan fungsi jantung. Dokter menyarankan Bapak diopname, namun beliau menolak dengan alas. Sudah pasti Bapak harus pergi ke ahli gizi untuk asupan gizi seimbang yang lebih baik. Sudah pasti juga Bapak tidak boleh merokok. Tapi apakah dapat terpenuhi?  Itu yang aku belum tau. Apakah akan terus berobat dukun? Itu juga mungkin, melihat perdukunan ini memang sudah menjadi bagian dari mereka. Semoga pelan-pelan, aku bisa mengajak mereka hidup sehat. P.S : Tentang administrasi RS. Prosesnya Ibu : UGD-beri surat rujukan-obat di apotek-ruang rawat inap-urus ASKES sepagi mungkin – izin keluar, minta keterangan opname, ambil berkas lab. Prosesnya Bapak : Surat rujukan, urus ASKES-poliklinik saraf-poliklinik jantung-urus ASKES, minta cap untuk lembar pengambilan darah-laboratorium klinik-poliklinik saraf-tebus obat, minta surat jalan. (jaminan ASKES hanya berlaku satu hari sehingga setiap hari harus diperbaharui, pastikan surat rujukan sudah tercap ASKES setempat).

Cerita Lainnya

Lihat Semua