How could I ask for more?

Adeline Susanto 4 Desember 2010
Kata beberapa orang teman saya yang beragama Islam, sudah merupakan Sunatullah bahwa manusia itu tidak pernah puas. Ketidakpuasan ini dapat berarti banyak hal. Tidak puas untuk terus berusaha atau tidak puas untuk melayani orang yang membutuhkan adalah bentuk ketidakpuasan yang menurut saya baik untuk dijalani. Namun, seperti halnya ada dua sisi dalam satu koin, ada ketidakpuasan-ketidakpuasan yang menurut saya tidak perlu terlalu dituruti. Ketidakpuasan akan materi yang dimiliki, misalnya. Banyak orang merasa bahwa tabungannya masih kurang, belum bisa untuk beli ini dan itu. Ini dan itu yang relatif berbeda- beda tentunya. Ada yang ingin dapat makan enak setiap hari, ingin punya rumah besar dan mobil mewah, dan sebagainya. Pagi sampai siang hari tadi, seperti biasa aku bekerja di sekolah. Sekolah di pelosok Desa Pundau, Sulawesi Barat. Sekolah ini dapat kukatakan dalam keadaan sangat baik. Ada 6 buah ruang kelas lengkap dengan meja kursi dan poster-poster pendukung pelajaran. Ada pula ruang guru dengan lemari penuh berisi buku yang sebagian besar masih di dalam plastik. Umumnya anak-anak itu sudah bersepatu, tampak lebih baik keadaannya dari pada Denias dalam filmnya. Bicara tentang ketidakpuasan. Anak-anak di sekolah ini tidak puas untuk berhenti belajar. Dengan penuh semangat mereka mengangkat tangan ingin menjawab ketika guru bertanya. Jawabannya benar atau salah itu nomor dua, yang penting mereka berbunyi. Ketika selesai pelajaranpun, mereka datang ke rumahku untuk belajar. Belajar apapun yang mau kuajarkan. Mulai dari belajar menyanyi, baca komik sains bersama, membuat origami, belajar Bahasa Inggris, dan sebagainya. Masalahnya hanya satu, umumnya mereka tidak berbahasa Indonesia dengan baik. Bahasa utama yang dipakai untuk belajar dan mengajar adalah Bahasa Mandar. Bahkan, terkadang guru menterjemahkan soal-soal ujian dari pemda ke dalam bahasa tersebut supaya bisa dijawab oleh murid-murid. Wajar saja kalau pendidikan di daerah ini sangat terbelakang. Untuk sekedar memahami bahasanya saja sulit, apalagi mendalami ilmu yang buku-bukunya berbahasa Indonesia. Umumnya anak-anak di daerahku mulai belajar Bahasa Indonesia ketika masuk SMP. Satu permasalahan lagi datang, tidak semua anak dapat melanjutkan pendidikan ke SMP karena faktor ekonomi. Di ruang guru tadi siang, ada sebundel berkas yang sebelumnya tidak kuperhatikan. Ketika pelajaran selesai dan aku mengajak pulang Pak Kepala Sekolah yang menjadi Bapak Angkatku di sini, beliau menolak. Masih ingin mengerjakan surat untuk anak-anak miskin, katanya. Mataku mulai tertuju pada sebundel berkas di depannya. Aku meminta izin Bapak untuk melihat data tersebut. Jantungku berdegup sedikit lebih kencang ketika melihat banyaknya nama-nama murid yang tertulis. Beberapa di antaranya sudah kukenal. Degup ini menjadi lebih kencang ketika aku melihat informasi tentang anak-anak tersebut. Beberapa di antaranya merupakan anak yatim dengan penghasilan Ibu buruh tani hanya sekitar 750ribu PER tahun. Kebanyakan yang lain sedikit lebih beruntung, 950ribu per tahun. Tanggungan keluarga dengan pendapatan tersebut bervariasi dari 3-7 orang dalam penglihatan saya. Beberapa teman bilang, data semacam itu biasanya hanya rekaan dan dibesar-besarkan untuk memperoleh dana sebanyak-banyaknya. Betulkah? itu bukan urusanku. Beberapa rumah yang mengizinkan aku singgah menunjukkan kenyataan yang sesuai walaupun tanpa menanyakan nominal pemasukan. Rumah panggung kecil dengan kayu jarang-jarang dan jebol di beberapa bagian serta penerangan lampu minyak tanah. Data yang masuk akal menu Aku mulai belajar berkaca dalam data-data ini. Seberapa sering aku mengeluh ketika mendapatkan tugas-tugas selama bersekolah ataupun bekerja. Seberapa banyak aku bermimpi memiliki uang banyak untuk bisa berkeliling dunia. Seberapa sering aku hidup bergelimang kecukupan dan sadar bahwa anak-anak ini tidak memiliki akses nutrisi, pendidikan, apalagi kenyamanan lain yang aku peroleh. Tidaklah salah untuk bermimpi mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tahta yang lebih nyaman, atau sekedar keamanan keuangan yang banyak digembar-gemborkan masyarakat sini yang sangat ingin jadi PNS. Aku hanya ingin mengajak diriku terutama untuk lebih banyak bersyukur dengan berkat yang kuperoleh. Dalam lingkungan yang menunjang dan seringkali memaksaku bertumbuh. Dengan banyaknya jalan yang bisa kupilih walaupun seringkali aku begitu bingung karena harus memilih. Banyak orang bahkan tidak memiliki lebih dari satu pilihan. So guys, when you feel unsatisfied, look around and be grateful..

Cerita Lainnya

Lihat Semua