Kegiatan di Sekolah

Adeline Susanto 4 Desember 2010
Ceritanya 19 November 2010 Hari Jumat pasca libur Idul Adha merupakan hari kedua saya melakukan observasi persiapan mengajar. Seharusnya, menurut jadwal yang telah dibuat, saya akan mengamati kelas V. Rupanya sampai jam 8 kurang, belum ada guru tetap yang datang selain kepala sekolah dan Bu Titi guru kelas 1. Bu Anti dan Bu Sumarni yang merupakan guru honorer untuk kelas 2 akhirnya datang. Saya memutuskan untuk masuk ke kelas 2. Seharusnya saya hanya duduk di belakang dan mengamati, tapi memang tidak bisa demikian. Dalam setiap pelajaran selalu ada soal latihan dan murid-murid mendatangi saya, minta diperiksa. Tapi itu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah longgarnya semua peraturan yang ada di sekolah ini. Jadwal pelajaran seharusnya dimulai pukul 07.30 dengan istirahat pukul 09.15 dan 10.40 selama 15 menit. Prakteknya? Mulai sangat telat, banyak guru tidak masuk tanpa alasan, dan istirahat yang cukup untuk tidur siang. Beberapa pelajaran seperti muatan lokal dan pengembangan diri sering sekali diabaikan. Rupanya datang berita bahwa beberapa guru sakit. Bapak kepala sekolah menggantikan untuk mengajar kelas 6. Kelas lain kemudian diisi oleh guru yang akhirnya datang kemudian. Siang hari aku manfaatkan untuk membaca buku. Hari ini hujan sangat deras, terlihat sungai-sungai yang tiba-tiba ada di sekitar rumah. Momen privat ini dapat dikatakan cukup jarang karena orang-orang diam di rumah, dan anak-anak bermain dalam hujan. Aku terus membaca buku sampai waktu janjian dengan Bu Anti di Palipi. Beliau mau mengajakku ke rumah Bu Asmah, guru SD 42 Palipi, di Banoa. Bu Asmah merupakan guru yang kalau di Jakarta akan dibilang “TOA”. Ya, TOA merek pengeras suara karena memang suaranya menggelegar. Ditambah keramahan dan kelucuannya, suasana selalu menjadi riuh ribut dengan keberadaannya. Benar-benar dia adalah pewarna dalam kumpulan adonan guru. Tawa selalu hadir bersamanya. Dan sore itu saya mengenal keahlian lainnya, membuat kue-kue Mandar, loka yangno (pisang goreng gula merah), dan puding casablanca (campuran pandan, stroberi, dan durian.. well quite nice actually!). Beberapa guru lain seperti pak Musdar, Bu H.Rusmi, dan Bu Mariam kakak Bu Asmah ikut berkumpul dan aku diajarkan banyak Bahasa Mandar seperti “I’day mala kaweng” yang artinya “tidak boleh kawin”, dan sebagainya. Dari rumah Bu Asmah, saya diajak ke rumah bibinya Bu Anti yang bernama Bu Tandria. Katanya, itu nama bangsawan sehingga seharusnya dipanggil puang. Di rumah itu ada keponakan Ibu bernama Aco Armin. Aco juga merupakan nama bangsawan yang tidak sembarang laki-laki boleh memakainya. Ibu Tandria banyak bicara mengenai panggilan semacam ini dan mengajarkan bahasa Mandar halus. Sikapnya dan lakunya sangat berpendidikan. Anak-anaknya semua berprestasi dan bersekolah sampai universitas. Kalau semua orang tua seperti beliau, tidak memaksakan anaknya menjadi PNS atau sesuatu yang lain dari keinginan si anak, saya optimis Majene akan jauh lebih cepat maju. Sebuah bincang-bincang sore yang menarik.

Cerita Lainnya

Lihat Semua