info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Satu Tahun Mengabdi yang Penuh Tempaan

Abdul Ghofur 31 Oktober 2014

Hari selasa tanggal 28 Oktober 2014 adalah genap satu tahun sudah kami pengajar muda sejak kami pamit kepada orang tua dan meninggalkan rumah untuk sebuah panggilan hati guna memulai masuk camp pelatihan intenship pengajar muda VII gerakan Indonesia mengajar yang di mulai pas peringatan sumpah pemuda tahun lalu.

Menjadi salah satu dari 52 pengajar muda terpilih di gerakan Inddonesia Mengajar merupakan suatu hal yang akan selalu saya kenang dan syukuri di dalam perjalanan hidup saya ke depannya. Di mana di dalam satu tahun kami mengabdi, belajar, berinteraksi dan beradabtasi, kami mendapatkan nilai-nilai kearifan ataupun pelajaran hidup bagaimana tetap bertahan dan terus melangkah disaat terpaan dan tempaan itu menimpa kami, Ya, satu tahun mengabdi untuk Indonesia lebih baik ini rasanya, kami menemukan apa itu kebahagiaan, keharuan, kegetiran, problem, tetes air mata, maupun tertawa riang.

Selama satu tahun inipula banyak hal yang membuat diri ini tertegun selama berada di salah satu pelosok di ujung barat negeri ini, siapa yang sangka bahwa ternyata anak-anak yang tinggal di sini adalah manusia-manusia yang jauh lebih mengerti apa arti bertahan dan berjuang untuk hidup. Di tengah keadaan jalan yang sangat buruk untuk di lalui karena penuh dengan batu licin dan lumpur tanah, mereka tetap semangat dan gigih melaluinya untuk tetap datang ke sekolah demi memenuhi dahaga mereka akan ilmu pengetahuan.

Selain itu, ditengah jarak yang begitu jauh antara sekolah dan rumah, anak-anak yang di besarkan oleh alam ini tetap mengusahakan untuk berjalan kaki agar tetap bisa sampai ke sekolah untuk menambah keluasan pengetahuan mereka. mereka pun tak pernah putus asa dan selalu mau tahu terhadap sesuatu yang di anggapnya baru. Seperti belajar laptop, alat peraga yang di kirim dari Indonesia mengajar maupun belajar puzzle serta kartu pintar cara kreatif cara belajar membaca dan kartu kuartet kartu kreatif untuk mengenal benda-benda di sekitar kita. Ataupun permaianan tradisional yang sarat pembelajaran.

Siapa yang sangka bahwa masyarakat pelosok Aceh sudah mulai menerima dan menghargai para pendatang untuk berbaur dengan mereka, ya rasa bhineka tungal ika sudah mulai nyata dan dan dilaksanakan masyarakat Aceh, meskipun kehidupan mereka lama di hantui oleh konflik yang begitu menyengsarakan kehidupannya. 

Siapa yang menyangka bahwa sepuluh tahun pasca tsunami masyarakat aceh sudah mulai bangkit, bersatu dan berbenah untuk aceh yang lebih baik, semua daerah yang dulu hancur lebur oleh gempa dan hantaman ombak tsunami, sekarang justru beda dan berubah 180 derajat dari dulu sebelum tsunami, pembangunan jalan, tata kelola kota, sungai dan wisata maupun kuliner semua di hidupkan, sehingga tak jarang sekarang banyak pendatang baru baik orang batak, minang, bugis, jawa maupun turis asing sendiri datang untuk sekedar melihat dan menelusuri bagaimana perbedaan aceh sebelum dan sesudah tsunami.

Siapa yang menyangka bahwa selama satu tahun di daerah penempatan, pengajar muda akan di suguhkan dengan suka cita dan kegembiraannya selamanya, no..no..no..namun satu tahun di penempatan ini kami merasa di godok dan di tempa layaknya sebuah genteng atau batu bata yang awalnya tanah yang tidak berharga, kemudian di olah, di aduk dengan air, lalu di kasih dedek atau jerami padi baru kemudian di cetak, lalu di keringkan setelah itu di sisir dengan parang, di tumpuk dan akhirnya di bakar menjadi genteng atau batu bata yang berharga. Proses itu pun mirip dengan yang kami lalui baik camp pelatihan maupun satu tahun di penempatan. Benar apa yang di pesankan oleh pak Anis Baswedan bahwa satu tahun di penempatan itu laksana training leadership yang nyata dan teruji bagi kalian. Ya semua tempaan kami hadapi secara time maupun individu.

Siapa yang menyangka bahwa ada lokasi sekolah yang bukan hanya di pelosok tapi lokasinya jauh dari pemukiman warga, awal saya datang pun heran dan tidak habis pikir kenapa masyarakat ataupun pemerintah membangun sekolah di tempat yang jauh dari aktivitas masyarakatnya, sehingga sekolahpun hidup kalau pagi sampai siang saja, selepas selesai proses belajar mengajar sekolah pun layaknya sebuah bangunan tua yang ada di tengah hutan, sepi senyap bisa di bilang seperti sekolah hantu. Kegiatan di luar jam belajar pun biasanya kami adakan di balai tempat anak-anak mengaji yang justru lokasinya strategis karena berada di tengah perkampungan.

Di dalam tempaan ini pun sungguh rasanya kami sangat takjub dan terkesima oleh realitas permasalahan pendidikan di akar rumput yang begitu kompleks, peliknya masalah ini membuat pendidikan di pelosok-pelosok ini masih tertinggal jauh, anak-anak di sini memang layaknya anak-anak pada umumnya, haus akan perhatian, masih harus di tuntun ketika membaca dan menulis, menangis ketika tidak bisa mengerjakan atau bahkan berlari-lari di tengah perjalanan. Jika bukan karena niat dan kecintaan pada pengabdian ini, mungkin menyerah adalah salah satu jalan yang rasanya ingin di tempuh. Namun di sisi lain kami pun di hadapkan oleh manusia-manusia super yaitu para pendidik ataupun pembantu sekolah yang dengan ikhlas mengajar dari jarak yang jauh, keringat dan kerja keras mereka di bayar sebagai ladang amal kebaikan, hal ini karena gaji atau upah mereka jauh dari yang namanya cukup. Masyarakat pelososk yang tetap semangat dan tangguh bertahan di tengah himpitan ekonomi mereka yang semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Satu tahun ini memang kami sadar, bahwa kami juga manusia biasa, kami di sini ditugaskan untuk mengajar, namun realitas di penempatan justru kamilah yang belajar, kami ingin menginspirasi anak-anak, tapi justru kamilah yang terinspirasi dari mereka. kami di sini justru belajar akan kearifan anak-anak dan kesederhanaan hidup. Satu tahun di penempatan laksana belajar di alam terbuka, ilmunya jauh lebih kaya dari sekedar di training maupun di bangku kuliah. Rasanya memang berat di tempat yang selalu terbatas, namun dari tempat inilah kami semua paham dan sadar bahwa masyarakat ataupun anak-anak di akar rumput dengan sendirinya tumbuh berkembang dan besar oleh kegigihan dan semangat hidup mereka sendiri tanpa harus ada bantuan pemerintah. Dari sinilah seharusnya negara sadar dan malu melihat rakyatnya begitu gigih, namun negara sendiri jarang hadir di tengah mereka untuk sekedar menyapa dan melihat bagaimana nasib rakyatnya yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Melihat fakta ini rasanya tidak ada kata selain optimis. Ya, bangsa dan negara ini akan tumbuh besar dan maju jika semua elemen yang ada di dalamnya bergerak secara organik untuk bersama-sama turun tangan menyelesaikan masalah yang ada, seperti halnya para pemuda yang berkumpul semua guna menentukan langkah sejarah bangsa ini dengan terbentuknya sumpah pemuda yang menyatukan kita semua.

Dengan kalimat kami putra putri Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia,

Kami putra putri Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia

Kami putra putri Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Salam hangat dari tanah Rencong

Abdul Ghofur, Pengajar Muda VII Indonesia mengajar

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua