Sederas Hujan, Sederas Itu Pula Semangat Anak-Anak untuk Sekolah

30 Mei 2023

#ceritabulanpendidikan -- Kampung Kaprus Sougwepu, sebuah kampung di daerah teluk yang memiliki panorama indah, sekaligus sebagai sumber perairan yang bisa menghidupi daerah sekitarnya.

Kampungku ramai, terlebih karena menjadi pusat distrik Sougwepu yang selalu disinggahi kapal-kapal besar. Setiap kali ingin berangkat ke kota, masyarakat dari berbagai pulau akan berkumpul di pulau ini. Kampung ini juga ramai dengan anak-anak, begitu juga semangat yang membersamai mereka.

Aku teringat satu peristiwa yang kalau diingat sampai kapanpun, akan selalu terasa haru. Di satu pagi yang sangat mendung, aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah seperti biasanya. Tapi melihat cuaca di luar rumah, pikiranku berkecamuk.

“Apakah jika hari ini turun hujan, anak-anak akan tetap sekolah?”, dengan sesegera mungkin aku mempercepat persiapan dan berpamitan kepada mama piara untuk berangkat sekolah.

Setelah berpamitan, aku lekas keluar rumah dan melangkah terburu-buru. Tapi sayangnya, baru beberapa langkah awal saja, hujan sudah turun dan dengan cepat menjadi deras. Saat itu memang masih pagi, masih setengah jam lagi menuju jam masuk kelas. Mama piara dan anak-anaknya –yang juga muridku di sekolah, memasang mimik muka bingung dan bertanya-tanya apakah sekolah akan tetap berlangsung meski keadaannya hujan seperti ini.

Aku cukup mengerti keadaan di kampung, yang biasanya ketika hujan, sekolah akan otomatis libur –atau diliburkan. Di kampung, kondisi apapun bahkan bisa menjadi alasan sekolah diliburkan dan pada akhirnya cukup bisa dinormalisasi sebagai kebiasaan/budaya. Penyesuaian kondisi semacam ini yang ketika dilihat cukup sederhana –setidaknya untuk kita orang-orang kota, nyatanya cukup berbeda ketika benar-benar diaplikasikan. Aku memutuskan untuk tetap ke sekolah, bersiap melakukan pembelajaran seperti biasanya, tapi aku tidak memaksakan kehendak bahwa semua anak-anak wajib datang ke sekolah. Sekali lagi, ini tahap penyesuaian.

Tanpa ragu, aku bilang pada anak-anak di rumah, “Hari ini Bu guru tetap ke sekolah e, walaupun hujan Bu guru tetap datang untuk buka sekolah, siapa tau ada teman dong yang datang ingin belajar tapi Bu guru trada. Jadi bu guru tetap ke sekolah menunggu yang mau sekolah e”.

Mendengar ucapanku itu, mama piaraku langsung mencarikan payung dan menyuruh anak-anaknya mengantarkanku ke sekolah, padahal saat itu mereka berniat tidak sekolah. Tapi melihatku sudah siap, mereka dengan sigap pula bersiap untuk mengantarkanku ke sekolah. Mereka mengantar untuk memastikan bahwa aku sampai sekolah selamat dan tidak basah.

Saat perjalanan menuju sekolah aku berujar pada salah satu anak yang bernama Eli, “Kam tara usa antar Bu guru, Bu guru bisa to ke sekolah sendiri, nanti Kam basah, Kam sakit”.

Bu guru sa antar dulu sampai sekolah e, nanti sa pulang ganti baju dengan baju sekolah, lalu panggil anak – anak”, jawaban Eli sampai membuatku tertegun. “Kam ini betulkah? Kam tidak apa-apa basah antar bu guru lalu pulang untuk ganti baju sekolah?

“Ah, tidak, bu guru. Sa ingin belajar, Bu guru”, jawaban Eli lantas membuat perasaanku menghangat di tengah dinginnya cuaca karena hujan.

Aku mengabadikan momen hujan deras pagi itu dengan kamera ponsel, tersenyum ketika melihat sandal jepit yang kupakai dan tas ransel yang kugendong di bagian depan supaya tidak basah terkena hujan. Sesampainya di sekolah, aku diliputi prasangka bahwasannya tidak akan ada murid yang datang ke sekolah hari ini, atau bahkan jika ada, hanya berkisar di jumlah satu atau dua anak saja.

Aku segera masuk kelas, mempersiapkan pembelajaran, sedikit gugup menunggu dan mengira-ngira siapa yang mungkin akan hadir ke sekolah hari ini. Tiba-tiba satu per satu murid datang, secara berkala sampai akhirnya lebih dari tujuh anak datang dengan kondisi yang beragam.

Ada yang basah kuyup, tapi tangannya menenteng kantong plastik yang di dalamnya berisikan baju kering dan buku. Ada yang datang berpayung orang tiga, baju keringnya juga dimasukkan ke dalam kantong plastik. Ada lagi yang yang datang bajunya basah, tapi lalu akhirnya kembali pulang lagi setelah mendapat pinjam payung, dan kembali ke sekolah setelah beberapa saat.

Sa ingin belajar, sa ingin berhitung dan membaca lebih banyak, Bu guru”, ungkapan anak-anak dengan raut muka yang penuh semangat sungguh membuatku terharu.

Mungkin satu peristiwa ini menjadi momen yang sederhana, tapi untukku memberikan kesan dan sudut pandang lain. Selama ini, anak-anak tidak pernah menjadi problematika utama pada bagaimana pendidikan ini berjalan. Bagi anak-anak –mungkin terutama anak-anak di kampung, asalkan ada guru, mereka akan mau datang ke sekolah. Bahkan mungkin, jika Hari Minggu gurunya meminta muridnya untuk masuk sekolah, mereka dengan senang hati akan ke sekolah. Anak-anak begitu santun dan punya semangat yang tinggi.

Keterbatasan yang selama ini hanya dilihat dari sudut pandang orang-orang di luar Timur Indonesia, justru menjadi potensi semangat yang dimiliki anak-anak itu. Momen ini aku ceritakan dengan tujuan memberikan gambaran, bahwa bagaimana bahkan di sudut-sudut negeri ini pun, masih ada semangat-semangat anak-anak yang menyala untuk terus menuntut ilmu. 

Selamat Hari Pendidikan Nasional, panjang umur pendidikan negeri kita.

 

Penulis: Velya Dwi Nanda, Pengajar Muda XXIV, Kab. Teluk Wondama, Papua Barat (instagram: velyanandaa)

Editor: Anindita RK

 


Kabar Lainnya

Lihat Semua