info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

[PJN 2018] Anjeli

20 Juli 2018

 

Bangsal bercatkan merah muda itu terasa begitu luas. Alas duduk yang dibentangkan disisi kanan dan kiri hanya terisi oleh beberapa orang. Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 ketika kami datang, melenceng jauh dari perkiraan semula. Warga desa yang sudah bersiap sedari pukul 15.00 pun banyak yang memutuskan untuk bergegas pulang, sehingga disinilah kami, di dalam bangsal Desa Sekikilan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menyaksikan tarian dan nyanyian penyambutan dari warga desa yang tersisa.

 

Saya, Fira, bersama tiga orang teman--Eva, Ikhsan, dan Levi--di tempatkan di Desa Sekikilan ini bukan tanpa tujuan. Mengamati, menemukan apa yang bisa kami bantu dan gerakkan, mengisi waktu liburan dengan hal yang lebih dari sekadar bermain-main. Salah satunya adalah berbagi dengan remaja-remaja disana, utamanya tentang pendidikan.

 

Anjeli namanya. Seorang gadis berambut panjang yang baru saja lulus sekolah dasar. Saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke rumahnya dan berbagi dengan keluarganya. Anjeli adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ia tinggal bersama keluarga besarnya dalam sebuah rumah sederhana. Seperti kebanyakan penduduk di Nunukan, keluarga Anjeli menjadikan kebun ubi sebagai mata pencaharian utama. Dari Kak Kamri--Pengajar Muda yang mendampingi kami--saya tahu bahwa seringkali jam belajar Anjeli terenggut demi membantu mengurus kebun ubi keluarganya. Tidak hanya itu, ia yang ditugaskan pergi ke pasar, mengurus keponakannya, dan hal lain yang menyita kesempatan belajarnya. Alasan itulah yang menjadikan saya duduk bersama Mama Anjeli, Kakak Ipar Anjeli, Kak Kamri, Kak Bitha yang berperan menjadi penerjemah bahasa kami, dan Anjeli sendiri pada suatu sore.

 

Mama Anjeli terlihat sudah lanjut usia. Beliau sedang berkutat di dapur ketika kami datang, menyambut kami dengan hangat. Di ruang depan, seorang bayi mungil ditidurkan di dalam gendongan yang dikaitkan di langit-langit. Ia adalah keponakan Anjeli yang baru saja lahir. Anjeli belum bergabung bersama kami waktu itu, ia tengah mandi di sungai bersama kawan-kawannya. Saya berusaha akrab dengan Mama Anjeli yang tidak lancar berbahasa Indonesia, juga dengan Kakak Iparnya. Menanyakan hal-hal dasar tentang Anjeli. Usianya, hobinya, dan hal lainnya. Tak berapa lama Anjeli datang, tersenyum malu-malu saat menjabat tangan saya. Ia adalah anak yang manis, sopan, dan sederhana. Saat saya tanya cita-citanya, Anjeli bilang ia ingin jadi suster, walaupun berarti ia tidak bisa menikah kelak. Ia ingin mengabdikan diri untuk gereja. Mendengarnya membuat saya terharu. Tapi, mengingat cerita Kak Kamri, saya cukup ragu hal itu dapat terwujud.

 

"Anjeli ngapain aja seharian ini?" saya berusaha bertanya dari hal yang paling sederhana.

"Tadi pagi daftar SMP di SP (Satuan Pemukiman), terus barusan mandi di sungai."

"Wah sama siapa aja tadi ke SP?"

"Sama anak-anak desa sini, dua puluh tiga orang."

"Seru ya bareng-bareng masuk SMP."

 

Anjeli mengulum senyum. Saya sedikit terkejut saat air mukanya berubah muram. "Tapi tidak semuanya diterima kak."

 

Saya tertegun. Kata Anjeli, banyak anak Desa Sekikilan yang tidak diterima, termasuk dirinya, karena usianya sudah melampaui enam belas tahun. Mereka terpaksa harus pulang dengan tangan kosong, mengubur harapan untuk merasakan tiga tahun masa Sekolah Menengah Pertama.

 

Akan tetapi Kak Kamri menenangkan kami. Ia berkata bahwa Pak Madun, salah seorang guru di SD N 003 Sekikilan, sedang mengusahakan yang terbaik untuk anak-anak ini. Yang harus kami lakukan sekarang hanyalah percaya kepadanya.

 

Dari kunjungan sore itu, saya juga mengerti mengapa Anjeli menjadi salah seorang anak yang dipilih Kak Kamri untuk dikunjungi. Impian besar yang Anjeli miliki ternyata tidak didukung oleh Sang Mama. Beliau menginginkan Anjeli untuk tinggal di rumah, tidak perlu pergi jauh untuk "sekadar" bersekolah.

 

"Tidak tahu," begitu jawab Mama Anjeli ketika saya bertanya, bolehkah Anjeli melanjutkan SMA di Kecamatan Sebuku nantinya, karena itulah SMA terdekat dari Desa Sekikilan.

 

Saya sadar bahwa meyakinkan orang tua seperti Mama Anjeli tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh karena hari sudah mulai petang, saya dan Kak Kamri pun pamit. Sebelum betul-betul keluar dari rumah panggung bercat hijau muda itu, saya meyakinkan Anjeli bahwa penghalang dalam mengejar impian pasti ada. Tidak ada jalan yang betul-betul bagus, mulus, tanpa hambatan. Saya terharu ia betul-betul mendengarkan perkataan saya. Ia mengangguk dengan semangat saat saya bertanya, "Anjeli, kalo kita ketemu nanti, kamu udah harus jadi suster yang sukses ya!"

 

Di hari terakhir, saat anak-anak dan pemuda Desa Sekikilan melepas kepergian kami, Anjeli adalah orang yang paling lama memeluk saya. Ia menangis, tapi saya tahu bahwa itu adalah air mata kebahagiaan, sebab ia bertutur, "Kakak, aku bakal ikut kejar paket B!" ia tersenyum sumringah. [*]

 

Ditulis oleh Safira Ulinnuha

SMA Negeri 3 Yogyakarta

Pengajar Jelajah Nusa 2018

Desa Sekikilan, Kab. Nunukan 


Kabar Lainnya

Lihat Semua