info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Lentera Banggai Edisi 2 Tahun 2014

20 Oktober 2014

Pengajar Muda Kabupaten Banggai menginisiasi media komunikasi bagi komunitas pendidikan di sana lewat buletin sederhana bertajuk Lentera Banggai. Di tahun kedua keberadaan Pengajar Muda di kabupaten paling timur di Sulawesi itu, sudah ada dua edisi Lentera yang terbit.

Di edisi ini, mereka mengulas tentang anak berkebutuhan khusus di rubrik Tajuk Rencana. Edisi selengkapnya dapat dibaca dan diunduh di tautan ini.

***

Pendidikan untuk Semua: Catatan tentang ABK di Banggai

Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa untuk membangun sebuah negara, yang pertama-tama harus dibangun adalah manusianya? Membangun manusianya berarti melalui jalur pendidikan termasuk perangkat di dalamnya, yakni guru dan fasilitas penunjangnya.

Untuk itu, saya mencoba menulusuri apa yang terjadi di lingkungan saya saat ini. Sesungguhnya pendidikan di Indonesia bukan hanya hak bagi anak–anak yang normal saja. Realita di lapangan berbicara bahwasanya, terdapat anak berkebutuhan khusus (ABK) yang juga memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Berbicara tentang ABK tak lepas dari wacana sekolah inklusi, yakni sekolah biasa yang menerima ABK di kelas normal yang materi pelajaran dan tenaga pengajarnya memang telah disesuaikan untuk ABK juga.

Seiiring berjalannya waktu, wacana tersebut kemudian lebih banyak digulirkan di perkotaan yang secara infrastruktur cukup siap. Namun, kondisi di Banggai ini cukup jauh dari apa yang saya bayangkan dengan kondisi ideal. Saya mendapati data yang menyebutkan terdapat 58 ABK dari berbagai jenjang pendidikan, SD, SMP hingga SMA, yang saat ini bersekolah di SLBN Luwuk (2014). Sayangnya, selain ke-58 anak tersebut masih terdapat anak–anak lain yang juga butuh fasilitas dan perhatian khusus.

Kali ini, saya bertemu Mila (9). Sekilas ia tampak seperti murid normal lainnya. Ia selalu bersemangat ketika datang ke sekolah. Namun, ketika saatnya menerima pelajaran, Mila selalu merasa kesulitan meski materi yang disampaikan cukup sederhana untuk anak lain seusianya.

Mila juga menemui kendala dalam calistung (baca, tulis, hitung). Semakin diperhatikan, Mila ternyata memiliki keterbatasan yaitu tidak bisa menulis tanpa meniru, dan saat diminta membaca pun suaranya terlampau lirih hingga nyaris tak bersuara. Gadis kecil ini memang sulit menerima materi pelajaran yang disampaikan meski disampaikan berkali–kali.

Usut punya usut, bisa dikatakan Mila termasuk dalam kategori slow learner (lambat dalam belajar). 

Kondisi ini membuat saya berpikir, apa yang bisa dilakukan oleh para orangtua murid dan kami para tenaga pengajar? Sebagian dari kami mungkin tidak cukup akrab dengan kondisi anak-anak yang sebenarnya membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus saat sekolah.

Bagi orangtua yang paham, muncul keengganan untuk menyekolahkan anak mereka di SLB kota Luwuk, pertimbangannya adalah soal jarak dan stigma yang akan muncul di masyarakat jika diketahui anak mereka bersekolah di SLB.

Menangani ABK memang bukan perkara mudah, karena menyangkut kesiapan guru dan fasilitas penunjang yang harus diadakan untuk menunjang kelangsungan proses belajar mengajar. Terdapat berbagai klasifikasi ABK, yang masing–masing membutuhkan penanganan khusus. Materi pelajaran dan kurikulum yang diterapkan pun juga tidak sama dengan yang digunakan untuk anak–anak normal, terkait juga dengan standar nilai ketuntasan juga tak bisa disamakan dengan standar normal.

Munculnya wacana sekolah biasa untuk merangkap menjadi sekolah inklusi ini adalah salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk menjangkau anak–anak berkebutuhan khusus sehingga mereka dapat bergabung dengan teman–temannya di sekolah normal.

Solusi ini juga yang dirasa paling menjanjikan untuk kabupaten Banggai saat ini. Bagaimana pun anak anak seperti Mila tidak bisa terus terusan terkurung dalam sistem pendidikan yang jelas-jelas tampak kedodoran untuk mereka. Dicanangkannya sekolah biasa yang menjadi sekolah inklusi juga dimaksudkan agar mengeliminasi stigma negatif yang muncul di masyarakat atas ABK.

Orangtua merasa percaya diri untuk menyekolahkan anaknya, anak-anak yang terindikasi ABK bisa mendapatkan kesempatan untuk menerima pendidikan yang sesuai, serta anak yang normal bisa mulai belajar menghargai keterbatasan dan kelebihan para anak ABK.

Melihat kondisi demikian, saya ingin mengajak semua pihak untuk bersama–sama menyikapi persoalan ini dengan bijak. Orangtua siswa tidak perlu ragu apalagi malu menceritakan kondisi anaknya jikalau dirasa anak–anaknya diharuskan menerima perlakuan khusus ketika bersekolah.

Saya juga ingin mengajak masyarakat untuk menyadari kondisi ABK dan perlahan mengeliminasi stigma negatif yang muncul di masyarakat. Anak–anak ini berhak mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan yang bebas dari rasa takut dan ketidakpercayaan diri.

Pun dengan pihak regulator pendidikan yang saya harapkan mampu membaca situasi dan kebutuhan anak–anak istimewa ini agar mereka dapat bersekolah dengan normal seperti teman-temannya yang lain.

Saya berharap para pemimpin agar mampu menjangkau anak–anak di setiap sudut negeri kita tercinta. Menciptakan pendidikan Indonesia tanpa deskriminasi tentunya. Semoga cerita dari Luwuk ini memberikan secercah harapan baru bagi anak–anak spesial di Indonesia. Salam.

***

Ditulis oleh Fransisca Christanti Tri Wulandari, Pengajar Muda SDN Solan, Kabupaten Banggai.


Kabar Lainnya

Lihat Semua