info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kekuatan Dongeng dari Amerika sampai Rote

1 Desember 2014

Sejak pertama kali dikirimkan ke Kabupaten Rote Ndao pada tahun 2011, Pengajar Muda di sana bekerja erat dengan para penggerak daerah. Salah satunya adalah Sherwin Ufi, seorang pemuda dari Nusa Lontar yang menjadi koordinator Gerakan 1.000 Buku untuk Rote. Berikut ini tulisan opini Sherwin tentang peran mendongeng dalam pendidikan anak sebagai generasi masa depan Rote Ndao.

***

Bagi saya bukanlah hal yang mudah untuk mendongeng, tapi menyenangkan ketika mendengarkan kisah-kisah yang seru saat masih kecil. Saya teringat beberapa waktu lalu saat pertama kali ada tawaran untuk ikut dongeng di Forum Indonesia Muda (FIM) Club, sebuah wadah para anggota FIM dapat belajar mendongeng, dan saya langsung bersedia.

Motivasi saya saat itu untuk belajar mendongeng karena saya ingin mendongeng untuk anak-anak saya karena dongeng sarat dengan pesan-pesan yang mudah diterima oleh anak-anak karena ceritanya yang menarik. Saya ingin menjadi orang pertama yang mendidik anak-anak saya dengan pesan-pesan moral yang terkandung dalam dongeng. Anak-anak suka mendengarkan cerita dan secara sadar ataupun tidak, menyerap pesan-pesan dalam cerita.

Memang dongeng berisi kisah-kisah yang tak nyata tetapi dalam dongeng terkandung pesan-pesan yang sangat mempengaruhi seseorang bahkan suatu bangsa. Dongeng mengandung kekuatan yang bisa mengubah suatu bangsa. Kisah tentang pidato I Have a Dream oleh Martin Luther King Jr memang telah akrab di telinga jutaan orang. Namun siapa yang tahu bahwa sebelum pidatonya yang menggemparkan dunia, beberapa kisah perjuangan King melawan pemisahan ras--bersama-sama dengan Wyatt Walker dan Fred Shuttlesworth--justru terinspirasi dari dongeng di negeri mereka?

Dahulu budak-budak di Amerika suka dengan dongeng dan cerita favorit mereka adalah Brer Rabbit, kelinci berekor pendek. Seorang budak yang diwawancarai ahli dongeng ratusan tahun lalu pernah berkomentar tentang dongeng tersebut seperti yang dikutip Malcolm Gladwell dalam bukunya David and Goliath, “De rabbit is de slickest o’ de animals de Lawd ever made” atau kelinci itu hewan paling cerdik yang diciptakan Tuhan.

Dongeng juga memiliki pengaruh yang kuat pada budaya dan turut menentukan bagaimana masyarakat bersikap menghadapi suatu tekanan sosial. Malcolm saat mengulas tentang David and Goliath, Ketika Si Lemah Menang Melawan Raksasa, mengutip tulisan Lawrence Levine dalam Black Culture and Black Consciousness: Afro-American Folk Thought from Slavery to Freedom, “Kelinci, seperti para budak yang menulis dongengnya, dipaksa menggunakan apa yang dimiliki. Ekornya yang pendek, kecerdasan alaminya – semua itu harus mencukupi, dan agar bisa berhasil dia menggunakan apa pun yang tersedia – artinya dia boleh jadi tercela secara moral tapi bisa bertahan hidup dan bahkan mengalahkan lawan.”

Adapun salah satu kisah Brer Rabbit yang paling terkenal adalah saat Brer Rabbit dijebak oleh Brer Fox dengan mengunakan boneka yang sudah dilumuri ter. Saat Brer Rabbit berusaha untuk melepaskan diri dari boneka tersebut semakin erat lekatannya. Akhirnya Brer Rabbit berkata, “Terserah kamu mau apakan aku, Brer Fox, asal jangan lempar aku ke semak berduri,” kata Rabbit kepada Fox. Fox malah melakukan kebalikannya dan hasilnya justru Brer Rabbit, yang lahir dan besar di semak duri, berhasil melepaskan diri dari boneka tersebut dengan menggunakan duri dan kabur.  

King bersama rekan-rekannya suatu kali pernah menemui jalan buntu melawan Eugene “Bull” Connor, seorang komisioner keselamatan publik kota yang rasis, di Birmingham, Alabama. Karena King dan teman-teman tak bisa mengalahkan Connor di pemilihan umum, di jalan atau pengadilan, maka mereka meniru kisah Brer Rabbit supaya Connor melemparkan mereka ke semak duri. Selanjutnya Malcolm secara detail menulis kisah yang mendebarkan dan penuh petualangan ini persis seperti kisah dongeng Brer Rabbit tapi kali ini terjadi secara nyata dan dikenang sepanjang sejarah.

Pesan-pesan dalam dongeng tersebut ditangkap secara sempurna oleh mereka melalui peristiwa yang mereka alami. Ini terbukti saat Walker, temannya King,  yang suka mengerjai Connor memberitahu “sesuatu yang kita tahu dia ingin dengar padahal sebenarnya bermaksud mengatakan sesuatu yang lain.” Malcolm sendiri kemudian menyimpulkan, “orang menyebut Martin Luther King “Mr. Leader”, atau kalau sedang bercanda, “De Lawd”. Walker adalah Brer Rabbit.” 

Hal yang menarik adalah dongeng kecerdikan memenuhi hasrat budak-budak yang bermimpi suatu hari bisa mengalahkan tuan mereka yang berkulit putih. Ahli sejarah Lawrence Levine mengungkapkannya dengan lebih baik, bahwa dongeng adalah 'cerita-cerita yang sangat realistis untuk mengajarkan seni bertahan hidup dan menang dalam lingkungan yang bermusuhan'. Ini membawa saya kepada kisah di Pulau Rote, tempat saya dilahirkan.

Berawal dari mimpi bersama mewujudkan ‘satu kampung satu taman bacaan’ di Rote, saat ini Komunitas Anak Muda untuk Rote Ndao (KAMu Rote Ndao) sudah membentuk 11 taman baca di tiga kecamatan atas inisiatif dari masyarakat setempat. Saat ini sudah ada rencana untuk membuka dua taman baca di dua kecamatan yang berbeda dan ini merupakan salah satu bentuk rencana aksi dari peserta alumni Kemah Pemuda Rote ke-2 yang terdiri dari pelajar di tingkat SMA/SMK, mahasiswa, pemuda gereja dan pemuda masjid.

Selain itu KAMu baru-baru ini mengekspansi programnya menjadi Kampung Belajar, suatu projek sosial yang melibatkan masyarakat untuk secara aktif turut serta dalam aktivitas yang bersifat edukatif untuk anak-anak di kampung-kampung di Rote. Dalam Kampung Belajar, setiap anak diperkenalkan kepada aktivitas edukatif sehingga waktu mereka di rumah tidak hanya dihabiskan dengan menonton acara televisi yang tidak memiliki unsur edukatif--bahkan secara konotatif cenderung terlalu cepat mendewasakan anak. Anak-anak di Rote dapat memanfaatkan sebagian besar waktunya dengan bermain sambil belajar di Kampung Belajar.

Salah satu aktivitas yang dapat diperkenalkan di Kampung Belajar adalah mendongeng. Tentunya dipastikan pesan-pesan dalam dongeng mengandung pesan moral yang baik untuk akhlak si anak. Aktivitas ini melibatkan relawan yang adalah pemuda Rote dan sebagian besar berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil maupun guru di sekolah. Secara informal, masyarakat turut berkontribusi dalam memberikan pendidikan moral gratis kepada anak-anak atau saudara mereka sendiri. Hal ini karena mendidik sudah selayaknya bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi tanggung jawab setiap orang terdidik.

Kita tak pernah tahu seperti kisahnya Martin Luther King Jr bahwa dongeng yang sering mereka dengar sejak kecil ternyata suatu kali kelak menjadi senjata yang menginspirasi mereka. Entah senjata untuk menerobos kebuntuan atau menghasilkan sejarah baru yang bahkan kemudian menghantar lahirnya presiden kulit hitam pertama di Amerika. Aktivitas seperti mendongeng yang diperkenalkan di kampung-kampung belajar yang sarat dengan pesan-pesan positif niscaya membawa anak-anak menjadi generasi yang kreatif dan bermoral.

Sejarah mencatat bahwa sepanjang masa penjajahannya di Indonesia, Belanda berhasil menduduki wilayah-wilayah kepulauan terluar. James Fox dalam bukunya Harvest of Palm menyebut wilayah ini sebagai busur selatan Indonesia, yang terdiri dari Pulau Timor, Sumba, Sabu dan Rote. Disebut demikian karena letaknya yang menyerupai busur panah dan saling berdekatan.  

Jika kita melihat peta Indonesia maka Pulau Rote hampir tidak begitu kelihatan karena pulaunya yang relatif kecil. Mungkin ini salah satu sebabnya banyak teman-teman saya dari luar NTT yang tidak tahu letak Rote. Ada yang bilang Rote dekat Maluku, bahkan ada yang mengira bahwa Rote bukan pulau dan letaknya di perbatasan Timor Leste! Secara geografis Rote memang kecil dan justru karena itu saat melawan Belanda konfrontasi merupakan pilihan terakhir. Perang gerilya bukanlah pilihan yang tepat, mengingat di pulau Rote hutan ataupun tempat bersembunyi sangatlah sedikit.

Fox mencatat bahwa sekalipun wilayahnya kecil Rote memiliki sistem pemerintahan yang stabil selama berabad-abad dibawah pendudukan Belanda. Penduduknya belajar, seperti kata Lawrence, “bertahan hidup dan menang dalam lingkungan yang bermusuhan.” Di sini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kekuatan bertahan tersebut terilhami dari sebuah dongeng.

Memang pada zaman dahulu dongeng-dongeng di Rote sudah ada, salah satunya misalnya dongeng tentang asal mula api yang tentu saja memiliki pesan moral yang berbeda dengan dongeng Brer Rabbit, si panjang akal. Namun belum jelas apakah perlawanan rakyat Rote dahulu melawan Belanda terinspirasi dari dongeng-dongeng tersebut. Mungkin demikian, tapi di sini ada sebuah potensi yang dimiliki oleh orang Rote yang boleh dikatakan setara dengan komentar Lawrence terhadap perlawanan budak-budak di Amerika melawan pemisahan ras. 

Akhirnya ini mengantarkan saya kepada sebuah pertanyaan penutup, bagaimana jika dongeng secara sadar diperkenalkan kepada anak-anak di taman-taman baca di Rote? Mengapa tidak?!


Kabar Lainnya

Lihat Semua