Langkah Kecil yang Penuh Makna di Pedalaman Hulu Kalimantan Tengah, Buah dari Pengupayaan Bersama

8 Mei 2023

Cerita ini tentang sekolah kecil sederhana, bernama SD Tumbang Sepan. Aku menyebutnya “the real Laskar Pelangi” dari pedalaman hulu Kalimantan Tengah. Aku bahkan tidak tahu kalau bangunan dengan dua ruang itu bisa disebut sekolah, karena menurutku lebih mirip gudang ketika pertama kali melihatnya. Sekolah kunjung, dengan total murid yang berjumlah dua belas orang. Dengan kondisi desa yang minim sinyal dan listrik, sekolah ini jadi satu-satunya pusat pendidikan di desa, satu-satunya harapan para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya demi pendidikan yang lebih baik. Tapi fakta lain, di tengah kondisi angka putus sekolah yang cukup tinggi, sekolah ini lah yang juga akhirnya melahirkan sarjana, beberapa bahkan menjadi sarjana pendidikan dan seorang yang lain menjadi perawat.

Oktober 2022 lalu, aku dan Pak Dalwar (pimpinan sekolah induk) melakukan proses pendampingan kepada guru-guru terkait rencana fasilitasi siswa untuk menampilkan seni tari daerah. Upaya pemberdayaan ini diselenggarakan untuk menggali potensi bakat dari dua belas siswa diluar potensi akademik.

"Kita nggak perlu terus menunduk karena keterbatasan di Hulu. Kita tunjukkan kalau sekolah kecil ini punya anak-anak yang mau belajar. Paling tidak, orang tuanya akan bangga", Pak Dalwar berkali-kali mengingatkan kami.

Semangat Pak Dalwar mendorong optimisme ketiga guru honor sekolah kecil ini, Bu Mita salah satunya. Beliau menawarkan diri untuk berkomitmen melatih Tari Manasai bagi anak-anak yang potensial. Kemudian disambut oleh Bu Rita dan Bu Linda yang juga menawarkan diri untuk ikut membantu.

Selama dua minggu, ketiga guru ini berkolaborasi mempersiapkan berbagai macam hal. Mulai dari memilih siswa-siswi yang tepat, mencari lagu, merencanakan gerakan tari dan pola lantainya, menentukan jadwal dan tempat latihan, sampai dengan mengembangkan keterampilan tari dari kelima anak yang terpilih sesuai dengan rencana-rencana yang telah disepakati bersama. Pada pertengahan Oktober setelah semua persiapan dianggap cukup, termasuk pengadaan pakaian adat Dayak yang nantinya dipakai, kami memulai shooting video klip Tari Manasai yang setting-nya diambil di pekarangan sungai desa dan halaman sekolah.

Persiapan kami cukup sederhana, hanya mengandalkan kamera handphone Oppo yang kami anggap cukup bagus, dan sedikit bekal pengetahuan mengenai teknik pengambilan gambar. Pak Dalwar mengambil inisiatif untuk menjadi sutradara, sedang aku nanti akan membantu mengolah potongan video-video yang telah diambil menjadi satu video utuh yang lebih tertata dan mengandung cerita. Produk akhir video nantinya akan dibagikan kepada para orang tua saat pertemuan wali murid. 

Kami sungguh tidak sabar melihat ekspresi bangga para orang tua untuk anak-anaknya.

Anak-anak mulai lelah, tubuh mereka bercucuran keringat. Anak-anak tidak bisa menyembunyikan keinginan untuk minta diberikan jeda istirahat sejenak. Guru-guru yang senantiasa membersamai, selalu menyelingi kebersamaan itu dengan kalimat-kalimat apresiasi dan semangat yang tak jarang dilontarkan.

“Kalian sudah hebat banget, gerakannya juga kompak. Ngga apa-apa, sedikit lagi ya, nak”, ucap Bu Mita sembari memberikan air minum secara bergiliran.

Guru lain juga tidak kalah suportif, Bu Linda selalu tanggap dengan kedua tangannya yang bergerak cepat untuk mengusap keringat anak-anak dengan tisu, memperbaiki riasan mereka di kala istirahat. Bu Rita, kebagian untuk meminjamkan rumahnya sebagai tempat untuk beristirahat sekaligus menyiapkan makanan untuk kami semua. Hari itu rasanya semua serba "pas". Cuaca yang sangat mendukung, wajah senang anak-anak yang begitu kentara, begitu juga dengan guru-guru dan Pak Dalwar yang sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa puasnya.

Sebulan kemudian, video yang bertajuk “Tari Manasai SD Kunjung Tumpang Sepan” akhirnya rampung dan siap dibagikan untuk disaksikan bersama-sama. Menjadi pemandangan yang haru ketika guru-guru, anak-anak, dan orang tua serempak menyaksikan video itu. Sekaligus jadi momen yang sangat aku rindukan selama aku menjadi Pengajar Muda.

“Wah, itu anak saya! Itu anak saya!”, terdengar seruan para orang tua yang saling bersahutan tatkala anaknya muncul dalam potongan video itu. Beberapa diantaranya bahkan sambil memeluk anaknya sembari tersenyum hangat. Aku pun bahkan melihat beberapa guru yang matanya berkaca-kaca.

“Terima kasih ya, Pak Eki. Ini videonya bagus banget”, ujar Bu Mita dengan nada dan mimik muka penuh haru.

“Saya hanya bantu sedikit, Bu. Anak-anak yang beruntung banget punya Bu Mita sebagai guru yang selalu ada buat mereka”, balasku dengan jujur.

Langkah awal yang kecil ini telah dimulai. Mereka, guru-guru, Pak Dalwar, dan para orang tua telah membuktikan, bahwa pendidikan nyatanya memang harus diupayakan, diperjuangkan bersama-sama. Proses yang dilalui bahkan terasa bermakna untuk masing-masing pihak.

Dan lewat salah satu upaya baik ini membuatku menyadari, kalau yang dibutuhkan anak-anak terkadang hanya sesederhana bagaimana guru-guru senantiasa hadir untuk mereka. Terlebih, ketulusan dari guru-guru itu akan menjadi hadiah yang berarti untuk mereka selama mengenyam pendidikan. Aku menemukan makna ini di pedalaman Hulu Kalimantan Tengah, yang sekali lagi, masih menjadi “the real Laskar Pelangi” bagiku.

Perjuangan mereka, perjuangan kita semua masih panjang. Kolaborasi ini hanya salah satu bentuk dari upaya baik yang didasari kemauan dan kesabaran. Semoga makna-makna ini tidak hanya ditemukan di tempat aku bertugas, tapi juga di sekolah-sekolah di seluruh penjuru negeri ini.

 

--

Penulis: Reski Amarta, Pengajar Muda XXII Kab. Seruyan, Kalimantan Tengah (instagram: @reskiamarta)

Editor: Anindita RK


Kabar Lainnya

Lihat Semua