info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Suatu hari di tahun 1994 dan 2010...

Yunita Fransisca 31 Desember 2010
Suatu hari di tahun 1994, di sebuah sekolah dasar Islam di Jakarta: Halaman sekolah sudah  penuh dengan kendaraan pribadi hingga merangsek ke halaman sekolah. Tampak orangtua murid dengan ekspresi cemas, bahagia, datar, lalu lalang di sekolah. Kebanyakan dari mereka datang bersama anak mereka, murid di sekolah tersebut. Di kelas 1 B, tampak tempat duduk murid telah diisi oleh orangtua murid. Hadir pula wali kelas yang sedang berbincang-bincang dengan orangtua murid yang mendapat giliran. Di kelas tersebut, terdapat pula seorang Ibu yang dengan sabar menunggu giliran nama anaknya dipanggil. Ia datang bersama anak perempuannya tersebut. Sesekali ia berbincang dengan orangtua murid yang duduk di dekatnya. Sesekali terdiam atau sibuk menjawab berbagai pertanyaan anaknya yang cerewet tentang berbagai hal. Guru: "Yunita Fransisca!" Orangtua murid: "Saya, Bu!" (sambil maju dan duduk berhadapan dengan wali kelas) Guru: "Selamat ya Bu, Sisca mendapat peringkat pertama!" Orangtua murid: "Alhamdulillah... Pinternya anak Mama! (sambil memeluk dan mencium si anak)." Anak: "Rangking 1 Bu?" Guru: "Iya, Selamat ya!" (sambil tersenyum lebar) Orangtua murid: "Ayo, cium tangan Bu Guru! Bilang apa sama Bu Guru?" Murid: "Makasih Bu Guru!" (sambil mencium tangan wali kelasnya) Guru: "Iya Nak, sama-sama. Pertahankan ya!" (murid pun mengangguk-angguk) Orangtua murid: "Mari Bu, terima kasih!" sambil keluar... Orangtua murid: "Duuuuhhh... Hebatnya anak mama. Gitu dong! Pinter! Nanti pulang, kita langsung telepon Papa ya, bilang Papa, Sisca rangking 1. Oke? Sekarang kita makan di Kentaki yaaa!" Murid: "Asiiiikkkk!" (melompat kegirangan sambil menggandeng tangan ibunya) 31 Desember 2010, di suatu sekolah dasar negeri di Kalimantan Timur: Halaman sekolah sudah  penuh dengan anak-anak yang bermain bola. Di sisi halaman sekolah tampak beberapa sepeda motor dan sepeda milik murid terparkir rapi.  Ada murid yang sedang bermain bola, asik jajan di warung, duduk di teras kelas, berlarian mengejar temannya, atau sekadar mengobrol. Ekspresi mereka seperti hari-hari biasanya: senang atau cemberut bila diolok-olok oleh temannya. Terlihat beberapa orangtua murid yang datang mengantar anak-anaknya dengan motor lalu kembali pulang. Tidak ada yang terlihat spesial hari itu. Padahal hari itu pembagian raport. Lonceng dibunyikan. Seluruh murid memasuki kelasnya. Di kelas 1, wali kelas yang baru masuk langsung menyuruh muridnya menempati tempat duduknya masing-masing, duduk rapi sambil melipat tangan. Semua menuruti. Begitu kelas mulai diam, wali kelas pun berkata, "Anak-anak, hari ini Ibu akan membagikan raport. Ada beberapa anak yang nilainya belum tuntas. Nanti semester 2 harus belajar lebih giat lagi ya supaya bisa naik ke kelas 2. Bagi mereka yang belum bisa membaca, harus latihan membaca lagi di rumah. Ingat kata-kata Bu Guru kan? Kalau mau naik kelas 2, maka harus bisa baaaaacaaaaa! Ada juga yang sudah bagus nilainya dan mendapat peringkat. Harus dipertahankan ya!" Salah satu murid: "Ibu Guru, saya dapet peringkat ndak Bu? Mamak saya bilang sudah mendoakan saya supaya dapat peringkat!" Guru: "Mudah-mudahan Angel dapat ya!" Si murid pun bertepuk tangan sendiri berharap namanya termasuk yang dipanggil mendapat peringkat. Wali kelas pun menyebutkan nama-nama siswa yang nilainya belum tuntas. Ekspresi wajah siswa kelas 1 tersebut beragam. Ada yang cemas, nyengir-nyengir, atau tampak senang-senang saja mendengar namanya atau nama temannya dipanggil. Hingga giliran wali kelas memanggil muridnya yang lain: "Siti Aisyah!" si murid yang tampak dari fisiknya sudah seharusnya duduk di kelas 4 mengacungkan tangan. Guru: "Nah, Siti Aisyah ini nilainya juga banyak yang belum tuntas. Selain itu, alfanya juga banyak. Ayo, kemana kamu kok ndak masuknya banyak sekali? Murid: "Jagain adek Bu!" Guru pun terdiam. Guru: "Adenya umur berapa?" Murid: "Masih kecil, Bu." Guru: "Ibu mu memang kemana?" Murid: "Panen sawit, Bu." Guru: "Bilang sama Ibu, kalo bisa panennya jangan pas jam sekolah ya. Ndak papa, kamu harus tetap semangat. Semester 2 harus rajin masuk sekolah ya!" Murid pun mengangguk dan menatap ke bawah. Entah apa yang ia pikirkan dan rasakan. Dulu, saya sering mendengar orangtua saya mengeluh malas datang ke sekolah untuk rapat atau antri lama mengambil raport. Mereka malas menunggu wali kelas yang berbincang lama dengan orangtua muridnya. Namun, bila mereka ada di posisi saya sekarang yang mendapat kesempatan untuk melihat pengalaman lain, mereka pasti mengerti mengapa sekolah mengundang orangtua murid datang ke sekolah. Orangtua perlu sekali dilibatkan dalam pendidikan anaknya. Mereka perlu mengetahui perkembangan pendidikan anaknya sehingga bisa memotivasi anak-anaknya untuk lebih berprestasi. Dengan hadirnya mereka di sekolah, mereka juga dapat mengetahui masalah apa saja yang dihadapi anak-anaknya di sekolah sehingga diharapkan mereka dapat bekerja sama dengan guru untuk mengatasi masalah tersebut. Saya hanya bisa terhenyak ketika mendengar alasan murid tadi yang alfanya mencapai angka 108. Dukungan orangtua terhadap pendidikan anak begitu menjadi masalah mendasar bagi keberlangsungan pendidikan anak. Seketika saya merasa begitu beruntung memiliki orangtua yang perhatian dengan pendidikan saya. Saya tidak bisa membayangkan menjadi anak yang memikul tanggung jawab begitu besar menggantikan ibunya mengasuh adik yang masih kecil karena orangtuanya harus berkebun. Kehilangan waktu ke sekolah, bermain bersama teman-teman, belum bisa membaca, hingga harus tinggal kelas berkali-kali. Entah apa yang dipikirkan dan dirasakan Siti Aisyah ketika ia menunduk tadi...

Cerita Lainnya

Lihat Semua