info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

listening all the things you can't hear

Yunita Fransisca 22 Januari 2011
Don’t underestimate the value of doing nothing, of just going along, listening to all the things you can’t hear (Piglet #disneywords)
Banyak yang bertanya pada saya, “apa yang kamu lakukan di Kalimantan?” Mengacu pada program yayasan yang mengirim saya ke Kalimantan, terdapat tiga tugas utama yang harus saya lakukan bersama tim: mengajar intrakurikuler dan (jika ada) ekstrakurikuler, melakukan advokasi pendidikan, dan melakukan pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, tugas seorang pengajar muda, tidak hanya sekadar ‘mengajar’ di tempat ia dikirim. Ketika di sekolah dan lingkungan tempat tinggal saya sekarang, bayangan saya mengenai ‘pelosok’ pun buyar. Saya menghapus term pelosok dan lebih senang menggunakan ‘di Jawa’ dan ‘di luar Jawa’. Memang, istilah saya seakan-akan mendikotomikan Indonesia. Namun, pada kenyataannya, yang disebut pelosok memang bukanlah tempat dimana segalanya tertinggal atau berada di pedalaman belantara yang masih sedikit tersentuh peradaban. Di sini, berbagai merek motor dengan tipe baru berseliweran, berbagai mobil sport yang dirancang untuk medan off road seharga tiga ratus lima puluh juta ke atas wara-wiri dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang ‘wah’,  para anak muda sibuk memegang hp qwerty yang beberapa di antaranya telah mengenal facebook, sekolah memiliki guru yang cukup, beberapa sekolah bahkan memiliki fasilitas yang tidak kalah dengan kota besar. Melihat apa yang ada di depan mata tersebut sempat menciutkan hati saya. Bagaimana tidak, ketika teman-teman pengajar muda lainnya mengalami apa yang saya sebut dengan ‘tantangan’, saya di sini mendapatkan ‘kenyamanan’. Misalnya, ada teman saya yang harus memegang 2-3 kelas setiap harinya karena kekurangan guru, bahkan ada yang pernah memegang 6 kelas sekaligus karena tidak ada guru yang hadir di sekolah. Ada pula teman saya yang untuk mandi saja perlu shubuh-shubuh agar tidak terlihat orang karena kamar mandinya di luar rumah dan sedikit terbuka. Akses listrik dan sinyal pun tidak dimiliki oleh beberapa teman. Menjadi wali kelas juga diemban oleh teman-teman saya yang memang sekolahnya membutuhkan. Saya? Tinggal di keluarga transmigran jawa berkecukupan, bertugas di sekolah dengan jumlah guru yang cukup, ‘hanya’ mendapatkan 14 jam seminggu untuk pelajaran bahasa Inggris dan TIK, lingkungan rumah yang aman, pokoknya tentram dan tidak ada hal khusus yang menarik. Saya pun jadi merasa minder apabila mendengar atau membaca pengalaman teman-teman saya tersebut. Saya merasa bahwa tampaknya kehadiran saya di sini tidak menjadi ‘penerang’ bagi sekolah dan masyarakat. Intinya, saya tidak memiliki tantangan. Mungkin apa yang saya alami, pernah atau sedang dialami oleh orang lain. Merasa bahwa keadaan yang nyaman dan settled tidak lagi menantang. Merasa bahwa apa yang kita lakukan tidak memberikan pengalaman dan pembelajaran yang berarti bagi diri kita. Tapi, benarkah apabila pemikiran kita seperti itu? Suatu hari ketika saya menceritakan apa yang saya alami pada teman saya sambil mengeluh, ia pun berkata: “Kamu yakin ga ada tantangan di sana? Ingat ga, kamu pernah cerita ke aku kalau anak-anak sekolahmu ga punya bayangan mau jadi apa? Mereka juga kurang termotivasi untuk belajar di sekolah. Bukannya itu ya tantangan kamu? Aku ga ngerti kalo aku di posisi kamu, gimana caranya bikin anak-anak itu bermimpi dan termotivasi untuk sekolah. Itu sulit banget dan itu tantangan yang cukup berat loh. Setiap orang dari kita kan punya tantangan yang beda-beda. Dan tantangan kamu bukan tantangan geografis, masyarakat, atau kurang guru,  tapi gimana caranya membuat perubahan ke arah yang lebih baik dari sesuatu yang terkesan udah settled padahal punya problem yang gawat banget kalau dibiarin. Ga punya cita-cita dan ga termotivasi ke sekolah! Wow. Aku ga yakin aku bisa mecahin kalo ada di posisi kamu.“ Saya: “(jleb)…” Apa yang dikatakannya membuat saya tersadar bahwa ini masalah persepsi mengenai apa tantangan itu sendiri. Kenyataannya, ketika saya berusaha untuk lebih peka sedikit, situasi yang saya alami tidak sepenuhnya ‘tidak menantang’. Dalam situasi yang saya anggap ‘tentram’, ternyata menyimpan masalah-masalah fundamental yang perlu dibenahi. Masalah-masalah tersebut cukup kompleks dan saling mempengaruhi. Andai saja saya lebih peka dan melihat dari sisi lain, mungkin saya tidak perlu minder dan merasa tidak berarti. Toh tantangan yang saya hadapi cukup sulit (ternyata): bagaimana membuat pihak-pihak yang berada di dalam situasi ini sadar bahwa ada masalah yang perlu dibenahi sehingga bisa memunculkan potensi yang ada. Abstrak? Ya seperti apa kata teman saya, saya pun bingung bagaimana mengoperasionalisasikan pemecahannya. Menantang? Mmm… retoris J

Cerita Lainnya

Lihat Semua