info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

beberapa opini yang wara-wiri di pikiranku

Yunita Fransisca 1 Desember 2010
Beberapa hari dalam minggu kemarin, saya menggantikan beberapa guru kelas yang tidak masuk. Saya pun mengajar matematika dan IPA. Ini adalah kali sekian saya mengajar mata pelajaran yang bukan menjadi tugas saya selama di sekolah. Saya juga pernah menggantikan kelas SBK di dua kelas. Dengan pengalaman mengajar berbagai mata pelajaran di berbagai kelas, saya sedikit mendapat gambaran mengenai situasi yang dialami siswa-siswa saya dalam belajar. Berdasarkan pengamatan saya selama di kelas, saya melihat bahwa siswa-siswa saya kurang mendapat stimulus dalam berpikir. Mereka tampaknya tidak terbiasa untuk berpikir mandiri sehingga saya mengalami kesulitan dalam menggali alasan mereka untuk menjawab suatu soal. Lebih mudah bagi mereka untuk menjawab pertanyaan yang dimulai dengan ‘Apa?’ dibandingkan dengan ‘Mengapa?’. Akibatnya, mereka menjadi bergantung pada penjelasan guru dan membuka buku. Mungkin ini merupakan contoh masalah klasik akibat terlalu sering menggunakan metode teacher-centered dalam mengajar. Selain itu, siswa-siswa saya tampaknya juga sangat bergantung pada contoh yang sudah ada di buku dan mengalami kesulitan bila diminta memberi contoh lain. Hal ini saya asumsikan karena mereka belum paham benar dengan materi yang diajarkan sehingga belum dapat menjembatani teori dengan contoh yang ada. Selain itu, contoh yang ada di buku kurang familiar dengan kehidupan sehari-hari mereka. Padahal, umumnya siswa dan guru bergantung dengan contoh di buku tersebut. Akibatnya menurut saya, siswa mengalami kesulitan dalam memberikan contoh selain yang ada di buku. Sepengetahuan saya, perkembangan kognitif pada anak usia SD (7-12 tahun) umumnya berada di tahap concrete operations, dimana anak sudah dapat berpikir secara logis, tapi pemikiran mereka terbatas pada situasi di sekitar mereka dan aktual. Mereka belum mampu berpikir secara abstrak. Oleh sebab itu, menjadi hal yang lumrah apabila siswa tidak dapat memberikan contoh dari materi selain yang ada di buku, apabila tidak dibiasakan peka terhadap lingkungan sekitar mereka. Misalnya saja, ketika saya menanyakan pada murid saya apa contoh simbiosis parasitisme. Mereka umumnya menjawab sesuai yang ada di buku, yaitu hubungan tanaman semak dengan tali putri. Ketika saya tanya siapa di antara mereka yang pernah melihat tali putri, tidak ada satu pun yang pernah melihat. Ketika saya deskripsikan seperti apa tali putri, wajah mereka tetap bingung. Rupanya, di daerah tempat saya mengajar memang tidak ada tali putri. Lalu saya meminta mereka untuk memberi contoh lain. Mereka tidak bergeming. Akhirnya ketika saya memancing mereka dengan bertanya ‘ada tidak ada tanaman yang berbahaya bagi pohon sawit?’ mereka pun sontak menjawab ‘benalu, Bu! Benalu! Harus dibersihkan!’. Kemudian, ketika saya bertanya hubungan pohon sawit dengan benalu termasuk simbiosis apa, maka mereka menjawab, ‘parasitisme, Bu! Benalu ambil makanan sawit, jadi buah sawit jadi kurang bagus! Sawit rugi, benalu untung!’. Nice! Menurut saya, guru memilliki tantangan dalam memotivasi siswa untuk aktif dalam mencari pengetahun. Siswa sebaiknya sejak dini dirangsang untuk mampu mengkonstruksi pemahaman mereka melalui penggabungan antara teori dengan contoh-contoh yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Saya tahu bahwa tidak mudah bagi guru, dengan berbagai keterbatasan fasilitas yang ada berusaha memacu siswa untuk aktif mencari tahu. Namun, sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan di lapangan, hendaknya guru memacu dirinya untuk kreatif mengakali minimnya fasilitas sehingga tetap dapat mencapai tujuan pendidikan yang maksimal. Bersemangatlah dan tetaplah berjuang, guru! Bersemangatlah dan terus berjuang, pengajar muda! Demi Indonesia yang lebih baik. Selamat hari Guru!

Cerita Lainnya

Lihat Semua