info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Apa yang Saya Perjuangkan: Renungan Selama 6 Bulan Menjadi Pengelana :)

Yunita Fransisca 11 Mei 2011
Hari ini tepat 6 bulan saya berada di daerah antah berantah yang bahkan namanya baru saya dengar sekitar 8 bulan lalu. Di sini, saya menjalani kehidupan baru, bersama orang-orang baru, serta peran baru. Saya tidak pernah berpikir bahwa suatu hari saya berani keluar dari zona nyaman dan aman untuk melihat ‘dunia’. Selama ini, dunia saya hanya sebatas kehidupan kampus, rumah, hiruk pikuk masyarakat urban dan suburban. Jendela bagi saya melihat hal-hal di luar dunia saya adalah media: koran, TV, radio, dan internet. Selama menjalani kehidupan sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri yang gerakan mahasiswanya sangat aktif, saya tidak pernah ‘bergerak’. Yaaa, saya ikut organisasi kemahasiswaan, tapi hanya lingkup fakultas. Saya tidak berani ‘nyemplung’ ke lingkungan dan isu yang lebih luas. Sederhana: saya takut. Hal yang mendasari ketakutan itu adalah saya merasa tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk mengkritisi sesuatu di ranah praktis. Bagi saya, ketika seseorang mengkritisi suatu hal, pastilah ia orang yang memang mengerti permasalahan yang ia kritisi dan setidaknya mampu memberi alternatif solusi. Saya? Banyak hal yang saya pahami hanya di permukaan. Itu pun hasil pencarian dari berbagai media yang obyektifitasnya dipertanyakan. Jadi, saya tidak berani untuk memakai jaket almamater kampus untuk turun ke jalan meneriakkan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu benar urgensinya apa. *selain larangan dari oma saya tentunya hehehe* Kritikan dan pendapat saya yang mungkin lebih banyak emosinya ketimbang logika hanya dimulai di telinga sahabat-sahabat saya di kampus dan berakhir saat berbincang bersama keluarga. Pada akhirnya, pengetahuan saya yang hanya setengah matang akan isu-isu yang ada di masyarakat membuat saya akhirnya cenderung bersikap apatis. Saya berpikir bahwa ‘Udah lah. Namanya juga hidup. Ada positif, ada negatifnya. Ga mau naro bola dunia di atas kepala. Pusing. Lagian itu kan di sana. Yang penting ga mengganggu kehidupan gw. Izin menyimak dan nonton aja dari luar, gan’. Pikiran ini timbul seiring dengan ketakutan saya melihat kenyataan yang terjadi. Misalnya saja dalam pilihan untuk tidak membaca artikel di Koran mengenai lingkungan. Fyi, saya dari dulu concern dengan masalah lingkungan. Bagi saya, membaca berita mengenai lingkungan yang terus menerus dirusak membuat saya sakit hati dan tambah sedih. Jadi, saya tidak mau baca artikelnya. Cukup judulnya saja. *sekarang saya sadar kenapa pengetahuan saya hanya secuil. Wong tau informasi hanya dari judul koran hehehhe* Keadaan berbalik setelah saya ‘bertualang’ di sini. Setiap harinya saya harus menghadapi apa yang dulu saya baca dan saksikan di televisi. Sebagian sesuai, sebagian tidak sesuai seperti yang diberitakan. Realita mulai terlepas dari kulitnya satu per satu di hadapan mata saya. Saya harus menghadapi ketakutan untuk melihat kenyataan yang ada di lapangan. Shocked. Overwhelmed. Amazed. Grateful. Lengkap dalam satu paket. Apa yang saya lihat, dengar, dan alami di sini membuat saya merasa limbung. Pada satu titik, saya yakin bahwa segalanya bisa berubah menjadi lebih baik. Perubahan positif sekecil apapun selalu menimbulkan harapan dan keyakinan bahwa perubahan ke arah yang lebih baik bukanlah hal yang mustahil. Bukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan semua orang. Perubahan yang memberi suntikan semangat dan energi positif untuk terus memberi yang terbaik tanpa mengeluh. Namun terkadang pada titik lainnya, saya merasa ingin menerbangkan saja dunia ideal dari kepala. Tidak sanggup untuk merubah. Bahkan rasanya tidak sanggup untuk membuat perubahan positif sekecil apapun itu. Saya merasa sedang berdiri di keramaian yang tanpa kehadiran saya pun segalanya tetap berjalan seperti biasa. Saya benci mengatakan ini. Tapi lagi-lagi saya tidak bisa tidak mengakui bahwa saya menghadapi sekumpulan orang yang bergerak dalam satu sistem. Sistem yang tujuan pencapaiannya ideal tapi pada proses pelaksanaannya malah menjauhkan sistem tersebut dari visi misi idealnya. Keadaannya sudah kronis sehingga melihatnya pun miris. Entah sedang berada di titik mana pun itu, saya tetap yakin bahwa suatu hari nanti dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik bagi penghuninya. Seperti kata salah satu trainer saya bahwa perubahan itu dilakukan secara marathon dan estafet, bukan sprint tunggal. Pemahaman saya, marathon karena tujuan yang ingin kita capai membutuhkan perjalanan yang panjang. Mengubah kognisi, afeksi, dan hingga perilaku yang sudah mengakar membutuhkan proses yang panjang dan konsisten, bukan? Estafet karena perubahan tidak bisa dilakukan sendirian. No man is an island. Even the best fighter needs help from others to defeat his/her enemies. Bukan sprint tunggal dimana perubahan tidak mungkin dilakukan sendirian dengan instan. Saya berharap tidak akan melupakan apa yang saya saksikan dan alami selama ‘turun’ ke lapangan. Ingatkan saya bahwa hidup ini bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga orang lain. Bahwa setiap manusia tidak terlepas dari lingkungannya, dimana lingkungan akan menciptakan sistem. Oleh karena itu, setiap orang berperan dalam sistem. Dampak dari pelaksanaan sistem itu bisa dirasakan langsung dan sekejap, bisa juga tidak langsung dan butuh waktu. Ingatkan saya untuk selalu yakin dan percaya bahwa saya tidak berjuang sendirian. Bahwa di luar dunia kecil saya saat ini yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan ‘peradaban’, masih banyak yang ingat bahwa setiap diri menyumbang peran dalam keberlangsungan suatu sistem. "We all have the right to have doubts about our task and even to abandon it occasionally. But one thing we must not do is to forget it" [(lagi-lagi) Coelho :)]

Cerita Lainnya

Lihat Semua