renungan malam jum'at....memori yang baru dua bulan

Yunita Ekasari 16 Januari 2011
Asahan, 13 januari 2011 Di suatu kamar tanpa lampu malam ini, diesel di rumah kami padam lebih awal. Gelap pun kurasakan lebih awal dari malam-malam biasanya. Ayah,ibu dan adik bowo memilih untuk tidur lebih awal. Disampingku, si sulung lilis tertidur pulas membayar lelah karena bermain perang bantal denganku beberapa saat lalu... Aku sendiri masih terjaga di kegelapan malam. Ada sedikit kegundahan yg tak beralasan. Di balik jendela, terlihat langit sedang berlampukan bulan purnama, bulan purnama yang juga sinarnya sedang ku nikmati saat ini dari dalam kamarku. Baru kali ini aku menikmati kembali indahnya bulan purnama dari jendela kamarku yang hampir tidak ada cahaya, setelah bertahun-tahun aku terjebak dengan aktivitas yang menurutku tidak jelas... Suasana malam ini begitu hening dan damai nyaman.... teduh.... ditambah alunan suara jangkrik dan serangga-serangga yang masih bertahan di deretan pepohonan pekarangan rumah.. Entah darimana proses perenunganku tadi dimulai.. Tanpa terasa dua bulan aku disini. Kali ini aku ingin bernostalgia, teringat dua bulan lalu saat air mataku tumpah entah berapa banyak karena kesedihan akan berpisah dengan sahabat-sahabat terhebat sepanjang hidupku demi menjalankan kehidupan nyata yang akan mulia di tempat masing-masing. Selain itu, mungkin juga ketakutan akan kehidupan baruku di desa ini. Ya, dua bulan sudah aku menjadi warga desa indraloka 2, itu terhitung pertemuan pertama kaliku dengan bapak warto, pak lurah indraloka 2... Dua bulan ini saja sudah cukup menambah memori-memori kehidupanku.. Hari pertamaku yg sungguh membekas, ketika aku harus berkeliling ditemani beberapa anak kecilĀ  mencari keluarga yang bersedia menjadi induk semangku selama setahun, sangat asing, di tempat yang baru nasibku tidak jelas pikirku saat itu. Ya, itu proses belajar, terkadang kenyataan tak sesuai dengan ekspektasi kita. Lalu, beberapa minggu kemudian aku merasa aku sering dijadikan alasan untuk guru-guru tidak ke sekolah hingga aku mengetahui kalau sekolahku memiliki kelas jauh yang gurunya hanya tiga, disana tempat belajar anak-anak kampung sebelah yang konon katanya rumah-rumah mereka berada di atas tanah sengketa. Kemudian lewat proses perundingan dengan kepala sekolah,akhirnya beliau mengijinkan aku mengajar di kelas jauh, namun tetap mengembangkan kegiatan eskul di sekolah induk. Karena jaraknya yg tidak dekat aku pun harus pindah rumah ke rumah salah satu guru yg mengajar di kelas jauh. Aku kini belajar bersama 18 sahabat kecilku di kelas 2. Keadaan yg memang berbeda, disini tidak ada guru bidang studi kecuali guru olahraga,bu fenti yg secara sukarela meluangkan waktunya ke tempat ini setiap hari jum'at. Kedatanganku cukup membantu para guru karena kini bu mur yg dulunya harus mengajar di dua kelas sekarang hanya mengajar satu kelas. Anak-anak disini jarang menikmati kotak ajaib yang bernama televisi karena disini memang tidak ada listrik, hanya diesel untuk membantu penerangan yang hidup pada jam 7-11 di malam hari. Mereka tidak pernah upacara setiap hari senin lazimnya sekolah-sekolah lain di negeri ini. Aku hanya senyum di kegelapan malam mengingat semua keadaan-keadaan miris itu... Toh, kami masih bisa tertawa lepas ketika bermain petak umpet di antara padang ilalang yang tingginya telah melampui tinggi badan kami sehingga kami nyaris tak terlihat ketika 'nyumput' di sana.. Kebahagiaan memang di hati..tak dapat digantikan dgn materi..apapun keadaan kami... Namun,, dadaku tiba-tiba sesak.. aku tak sanggup membayangkan 10 bulan lagi... Bayangan itu menyakitkan... ketika 18 sahabat-sahabat kecilku dan semua yang kucintai disini terpaksa menunjukkan kesedihan di wajah mereka karena melihat punggungku yg semakin jauh dari pandangan mereka... Aku pun kemudian memilih untuk tidur dengan buliran air mata di pipi lalu mengalihkan pada bayangan senyum-senyum dan riakan-riakan indah mereka yang akan menyambutku esok pagi di sekolah...

Cerita Lainnya

Lihat Semua