Suara Kehidupan dan Langkah Rejeki

YesayaPutra Pamungkas 22 Mei 2016

Canda dan Tawa menjadi pertanda, langkah-langkah gembira sang merah putih menyusuri jalan lorong didesa menuju gubuk tua ditengah desa. Sesekali anjingpun mengikuti dibelakang langkah kaki mungil, “wuk..wuk..wuuuuk,..” bergonggong merintih di udara bebas. Teriak bersautan dilantunkan bak melodi wajib setiap pagi, tanda kepedulian antar merah putih. Ricuh ramai tercipta sesaat gerombolan sang merah putih bersatu. Dari balik pintu rumah sepasang mata tua memandang sambil berharap “jadilah orang yang bisa dibanggakan kelak nak”.

Detak jarum memberi pertanda mentari memasuki pukul 07.00 Wita. Sosok tua berrambut putih berjalan tegap dari sudut gubuk, sembari memegang besi yang sudah berkarat. Ayunan tangan yang kuat menghantamkan besi dan besi hingga memanggil semua sang merah putih (Teng..teng…teng… Itu tandanya).

Tanda yang tak lekang dimakan jaman, menjadi pertanda perjalanan sang merah putih menapaki diri. Sosok siswa tertua mengambil posisi memimpin pasukan merah putih. Langkah tegap, suara komando dilantangkan mengatur barisan merah putih yang tersusun rapi berdasarkan tingkatan potensi. Sang komando tegas digubuk tua berperawakan tegap, berambut pirang sebahu, dan bermata tajam. Wanita berjiwa pemimpin menyandang nama Abela. Salah satu merah putih yang duduk ditingkat potensi 6. Sautnya “Semua Pasukan, Siap! Hormat”. Sang Merah Putih “Selamat Pagi” dengan suara kecilnya, berirama melayu.

Petugas linmas mengambil posisi ditengah barisan merah putih. Petuah dan arahan dipatri dalam diri sang merah putih. Sesekali diisi dengan nyayian penyegar diri dan tarian sehat. Ajaran tentang karakter diri sang merah putih harus dipatri tiap mentari baru. Tak ada ungkapan bosan dan lelah bagi petugas linmas dalam memberi teladan laku. Sang merah putih harus memiliki nilai yang dipatri dalam diri buat bekal nanti. Petugas linmas “Balik Kanan! Bubar Jalan”. Sang merah putih menapakan kaki dengan irama cepat ke tanah sambil melepas kata “Hore…hore..” tanda sang merah putih masuk tenda tingkat potensi sesuai diri. Petugas linmas membagi diri, melangkahkan kaki menuju tenda-tenda merah putih untuk berbagi ilmu dan laku. Layaknya sekolah pada umumnya, keadaan itu terjadi di sekolah SDN Inpres Solan, Kecamatan Kintom, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Alarm… Dinding Jam bergetar memberi tanda pada sosok tua tegap berambut putih untuk bangkit dari korsi tua disudut gubuk. Lagi-lagi kehormatannya untuk memukul besi berkarat dengan sekuat tenaga. Teng…teng..teng….. Suara merah putih dibalik jendela rapuh, pecah “Hore…Hore..” Berhamburan lari mencari posisi untuk menghabiskan energi. Semua boleh tertawa, semua boleh berteriak, semua boleh melompat, dan semua boleh menari riang gembira dengan batasan yang tegas. Lingkaran kecil terbentuk, gambar-gambar diukir diatas pasir, bola-bola melayang diudara, pesawat terbang menyusuri cakrawala, hingga langkah kaki terus berlari. Sama dibagi, sama dirasa, dan sama dinikmati sebagai asupan gizi bagi jati diri.

Hati saya sedih bersamaan juga bangga. Mata tajam memandang ditengah kerumunan merah putih, menyoroti sosok munggil yang menjinjing tremos berwarna hijau muda berisikan amunisi kehidupan (nasi kuning). Sosok ini selalu dikerumuni dan menyita perhatian teman-temannya untuk mendekap erat dirinya agar tak berlari jauh-jauh. Ya, walau sesekali sang merah putih harus merogoh kantong kosong untuk menemukan lembaran uang kusut. Tiap lembaran kusut bergantikan satu bungkus nasi. Menambah energi kala sudah dikuras oleh sang mentari. Setiap pagi sembari menyusuri lorong desa menuju gubuk tua, langkah kakinya sesekali terhenti untuk melayani dan suara menggema ke semua penjuru untuk memanggil, barang siapa mau membeli. Tremos harapanlah yang selalu ia bawa setiap pagi kesegala arah menemani langkah kaki kecilnya yang belum terlalu kuat untuk berpijak sendiri. Sosoknya terus yakin bahwa dari itulah tumpuan hidupnya diberi. Senyum yang kadang diganti dengan cucuran keringat, namun saya tak pernah melihat semangat dan daya juangnya berkurang tiap pagi. Justru daya juang tinggi dipertontonkan sosok kecilnya dihadapan mata sang merah putih. Menjadi bukti bahwa ia terus bergerak maju mendaki jalan-jalan mimpi yang telah digantungkan dilangit-langit biru. Keyakinan pada sang Ilahilah yang terus dilantunkan dalam kata hatinya. Baju merah putih yang seyogyanya digambarkan untuk mencari ilmu, berubah menjadi baju nafkah diri setiap pagi. Inilah sesungguhnya inspirasi yang patut menjadi refleksi bagi diri.

Teng..teng..teng..lonceng berbunyi menghujani gendang telinga yang tenang. Kerumunan positif anak merah putih berhamburan kesegala arah mengikuti hembusan angin. Cerita ini tak hanya jadi jenaka disiang hari, namun juga menjadi saksi nyata bahwa perjuangan menapaki langkah kehidupan memerlukan suara dan ada langkah rejekinya masing-masing. Tidak ada yang boleh menghalangi, rintangan memang tak bisa dihindari. Ingatlah! Bahwa Tuhan selalu menyertai, itulah yang menjadi keyakinan dalam diri. Kisah Sang Merah Putih dengan “Suara Kehidupan dan Langkah Rejekinya”….. Terus Berlanjut, Berjuang.

 

“Setiap Anda Mempunyai Suara Kehidupan yang Berwarna. Kumpulkanlah Warnanya, Itulah Rejeki yang Bisa di Bagi”

Yesaya Putra Pamungkas, Pengajar Muda XI SDN Inpres Solan Kab. Banggai Indonesia Mengajar

 

Foto Desain Relawan Oke Banggai : Anggi CP


Cerita Lainnya

Lihat Semua