Menjelajahi Indonesia dengan Perahu Kertas
Yenni Triani 9 Maret 2015Kali ini, aku mengajak anak-anakku membuat perahu kertas. Perahu kertas warna-warni lengkap dengan benderanya. Namun bukan untuk dilarung ke laut. Sebab, aku tahu perahu kertas mereka tidak akan survive lama, bahkan tidak dalam hitungan menit, jika dilarung ke laut. Terpaan ombak laut teluk, di musim barat ini akan menelan karya ringkih mereka itu, sebelum sempat berlabuh ke mana-mana. Bahkan, sebelum mereka puas menikmati perahu kertas itu mengapung, kuyakin air laut sudah keburu menelannya, dalam sekejap saja. Padahal, untuk memproduksi perahu kertas itu, mereka telah menghabiskan waktu satu jam pelajaran. Itulah mengapa kukatakan pada anak-anakku, bahwa tidak ada prosesi pelarungan perahu kertas, setidaknya untuk kali ini.
Aku tidak ingin perahu kertas ini hanya menjadi mainan semata. Lebih dari itu, dengan kapasitas imajinasi anak-anakku yang berlimpah, aku ingin mereka melampaui tembok sekolah kami. Melampaui kampung kami, keluar dari perangkap hutan ini. Aku ingin mengajak mereka keluar, jauh dari kungkungan keterbatasan dan ketertinggalan ini. Pergi jauh, bertualang, mengarungi lautan luas, menjelajahi Indonesia, untuk kemudian menuju kota impian mereka. Dan, perahu kertas itulah yang akan berlayar bersama mereka menuju ke sana. Perahu kertas itu akan membawa mereka menjelajahi Indonesia, menemukan kota impian mereka, di atas peta. Untuk kesekian kalinya kuajari anak-anakku untuk bermimpi. Tapi kali ini, bermimpi sambil belajar peta Indonesia, sebuah pelajaran yang nampak membosankan bagi mereka sebelumnya.
“Nak, ko liat ini e. Ini ibu pu kota kelahiran, ibu lahir di sini O. Dia pu nama kota Palembang. Ko su tau toh ibu lahir di kota ini. Ibu su pernah bilang toh. Nah, sekarang ibu tanya, Palembang itu, ibu kota dari provinsi apa?” Tanyaku sambil menunjuk ke satu titik di peta Indonesia. Anak-anakku mendengarkan sambil memperhatikan peta yang terhampar di lantai. Kami semua duduk melingkar, lesehan.
“Sumatera Selatan, Ibu.”Jawab Mawada
“Wah, pintar e. Mawada benar. Hebat Mawada su tau e.” Pujiku pada Mawada sambil mengacungkan kedua jempol. Mawada tersenyum malu.
“Nah, sekarang, kamong semua dengar ibu e. Ibu mau cerita, tentang pengalaman ibu menjelajahi kota-kota impian ibu. Kota impian ibu yang pertama adalah Jakarta. Jadi, waktu ibu kecil, masih SD macam kamong semua ini toh, Ibu tinggal di kota Palembang. Baru, ibu suka nonton TV. Ibu liat di siaran TV tentang kota Jakarta. Ibu liat kota Jakarta itu besar e, banyak gedung tinggi, banyak sekolah bagus-bagus. Baru, ibu bilang ke ibu pu mama, kalau nanti ibu su besar, ibu mau kuliah di Jakarta O, biar jadi sarjana. Ibu pu mama bilang, bisa saja ibu pi kuliah di Jakarta, asal ibu jadi anak yang pintar. Kalau pintar, nanti dapat beasiswa, bisa kuliah gratis di Jakarta. Jadi, sejak itu, ibu belajar baik-baik walaupun ibu masih SD. Abis itu, ibu berdoa pada Tuhan biar Tuhan tolong ibu untuk bisa pi kuliah di Jakarta. Kamong tahu Jakarta itu letaknya di Pulau apa, Nak?”
“Jawa...”Jawab anak-anakku serentak.
“Betul sekali. Baru, mana dia pulau Jawa, pulau tempat Ibu mau kuliah itu?”tanyaku lagi.
Anak-anakku berebut mencari Pulau Jawa di peta. Hingga tak seberapa lama mereka menemukannya. Lalu kulanjutkan ceritaku.
“Nah, ternyata, setelah ibu besar, ibu benar-benar pi Jawa. Ibu pi kuliah di Jakarta O. Alhamdulillah, karena ibu rajin belajar, rajin sekolah, dan rajin berdoa, jadi ibu dapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta. Jadi, dengan beasiswa itu, ibu pu biaya kuliah dibayar oleh pemerintah. Ibu tidak usah bayar sendiri. Ibu pu Mama sama ibu pu Bapa senang sekali. Jadi, dong dua (mereka berdua) kasih ijin ibu buat pi Jawa. Baru, habis itu, dari Palembang, ibu langsung pindah ke Jawa.”Jelasku kepada anak-anakku sambil menggerakkan perahu kertasku di atas peta. Kupindahkan dia dari titik kota Palembang di Pulau Sumatera, menuju titik Jakarta di Pulau Jawa.
“Jauh juga e, Ibu. Ibu su pi di dua pulau besar O,” Fasril berkomentar.
“Iyo, itu sudah toh. Tapi itu belum jauh, Nak. Masih ada yang lebih jauh lai. Baru, setelah ibu jadi Sarjana di Jawa. Ibu bercita-cita mau jadi guru di Papua. Jadi, kota impian ibu yang kedua adalah kota di Papua. Dan, Alhamdulillah, Tuhan kasih ijin ibu untuk ke Papua. Jadi, dari Jawa, ibu pindah ke Fakfak, di Papua ini toh. Sampe akhirnya ibu ketemu kamong semua ini toh. Ibu pu anak-anak sayang ini e...”
Kamong liat toh, ibu su pi jauh saja, dari Sumatera ke Jawa, dari Jawa pi sampeee di Papua...,”Jelasku yang disambut dengan senyum mereka. Anak-anakku memandang takjub ketika kupindahkan perahu kertasku dari titik Jakarta ke salah satu titik di Papua, kota Fakfak, sebuah titik yang sangat jauh dari Jakarta.
“Nah, ko su liat toh, ibu su bisa pi di ibu pu kota-kota impian. Kota-kota impian ibu itu jauh dari ibu pu rumah di Palembang toh. Tapi ibu su bisa sampai. Bahkan ibu yang berasal dari Palembang ini, bisa pi di Papua, ketemu kamong semua. Jadi, kalo ibu bisa pi di Papua, berarti kamong juga bisa sampai di Sumatera, di ibu pu rumah O. Dan yang paling penting, kalo ibu bisa sekolah di Jawa, berarti kamong semua juga bisa sekolah di Jawa. Mau sekolah di Jawa, Nak?”
“Mau...”jawab mereka serentak.
“Makanya, kamong harus belajar baik-baik e, rajin sekolah, dan rajin berdoa sama Tuhan. Tuhan pasti dengar doa-doa ibu pu anak-anak baik ini O.”
“Nah, sekarang, angkat ko pu perahu kertas masing-masing. Kemudian, bawa dia pi berlayar ke ko pu kota-kota impian.”
“Ko bayangkan, ko ada di dalam perahu kertas itu toh. Baru kemudian, ko dayung dia sampe keliling Indonesia. Cari ko pu kota impian sendiri, Nak. Ko pu kota impian itu tidak harus di Pulau Jawa atau Sumatera, Nak. Ko bisa pi di Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, bahkan di Papua juga boleh. Papua itu luas Nak, ko liat toh dia pu gambar di peta saja besar, apa lagi aslinya.
“Ayo sekarang cari ko pu kota-kota impian!,” perintahku kemudian.
Lalu, anak-anakku berebut menjalankan perahu kertas mereka yang sudah diberi nama masing-masing itu. Mereka bersemangat melayarkan perahu kertas mereka di atas sebidang peta usang berdebu itu. Anak-anakku begitu antusias menjelajahi seantero peta. Sepertinya, mereka benar-benar membayangkan bahwa mereka sedang berada di dalam perahu kertas mereka masing-masing. Mereka menghayati skenario bahwa mereka sedang benar-benar mendayung perahu kertas itu, menjelajahi Indonesia untuk menemukan kota impian mereka. Persis, seperti yang telah aku instruksikan sebelumnya.
Maka tak mengherankan, apabila kemudian dapat kutangkap raut wajah bahagia dan bangga mereka, manakala berhasil melabuhkan perahu kertas mereka di satu titik yang kami sebut sebagai “kota impian” itu. Sejenak aku merinding melihat semangat mereka menuju ke tempat impian mereka masing-masing. Hari itu, semua anakku telah menemukan kota impian mereka. Bahkan banyak dari mereka yang memiliki lebih dari satu kota impian.
“Ibu, katong mau pi di Makassar dan Jakarta”, kata Fasril.
“Katong mau pi di Surabaya dan Palembang”, Seru Sarkia.
“Katong mau pi di Banda Aceh dan Medan”, Teriak Asmin.
Itulah jawaban-jawaban penuh percaya diri dari anak-anakku ketika kutanya; “Nak, ko pi mana?” (Nak, kamu mau pergi ke mana?)
Memang, hari ini kota-kota itu baru bisa mereka jangkau di atas peta saja. Tapi kelak, kuyakin Tuhan akan mengantar anak-anakku ke kota-kota impian mereka masing-masing. Seperti Tuhan yang telah mengantarku ke sini, kepada mereka. Aku percaya...
Dan tak terasa anak-anakku sedikit demi sedikit sudah hapal wajah peta Indonesia sekarang. Tanpa mereka sadari, mereka sudah belajar menghapal peta Indonesia, pelajaran yang selama ini terasa membosankan bagi mereka. Kali ini, perahu-perahu kertas warna-warni itu, benar-benar telah membawa anak-anakku menjelajahi Indonesia dengan penuh semangat. Aku tak pernah menyangka, bahkan sebuah perahu kertas pun bisa sangat berjasa.
-Yenni Triani- Pengajar Muda VIII Kab. Fakfak, Papua Barat (When Paper Boats Taking My Kids To Their Dream Cities)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda