Menilai Sebuah Arti Ketulusan
Wildan Mahendra 2 November 2010
“Hati orang siapa yang tahu, manis di luar belum tentu manis didalam, tulus di luar belum tentu juga tulus di dalam, hati orang siapa yang tahu...”
Kalimat di atas setidaknya akan menjadi pemantik dalam tulisan saya kali ini. Jika kita bicara hati seseorang termasuk di dalamnya niat untuk melakukan kehendak adalah sesuatu yang cukup sulit. Tidak ada indikator jelas yang dapat mengukurnya. Belum tentu apa yang dikatakan dalam lisannya ialah apa yang ia sebenarnya rasakan. Begitu pula sebaliknya apa yang ia rasakan belum tentu juga sesuai dengan apa yang ia lisankan. Menurut saya, tersedia dua pilihan pisau bedah untuk menerka hati termasuk niat seseorang yaitu melihatnya dalam posisi biner atau posisi konsisten. Dan saya rasa untuk selamanya hanya waktu dan Tuhan yang mampu membuktikannya. Jadi untuk kali ini saya sepakat seperti kata maha dewi dalam salah satu bait lagunya “hati-hati menjaga hati...”.
Di era postmo, studi tentang hati ini sebenarnya menjadi isu yang jarang disentuh oleh banyak kalangan termasuk sosiolog atau psikolog yang tanpa bermaksud mendiskreditkan profesi lain punya kaitan mendalam terkait hal ini. Hal itu pula yang ingin saya bagi dalam tulisan ini bahwa salah besar jika pembicaraan tentang hati hanya milik ranah religi. Salah. Bagi sebagian orang, hati mungkin hanyalah sebuah perasaan yang hanya dapat dimainkan dalam area kognitif dan cenderung metafisik. Menurut saya itu tidak salah tapi secara lebih mendalam orang jarang memperbincangkan hati ini sebagai hulu dari sebuah kehendak. Berbagai fenomena postmo yang hadir belakangan ini, sebenarnya berhulu dari hati. Hati yang akan menuntun kehendak menuju sebuah kemashlahatan atau kesia-siaan.
Saya akan mengajak anda untuk menurunkan konsep untuk membaca lebih komprehensif dan setidaknya lebih jernih tentang Gerakan Indonesia Mengajar yang menjadi goresan baru dalam perjalanan hidup saya kedepan. Mungkin saya tidak akan menulis dan berbagi tentang ini jika beberapa hari terakhir tidak ada manusi-manusia berkamera bernama wartawan yang hadir dalam perjalanan gerakan ini. Saya sangat memaklumi jika gerakan ini menjadi isu yang sangat seksi untuk dibahas apalagi bertepatan dengan berbagai momentum yang pas: Sumpah Pemuda, generasi muda yang mulai apatis dan terdegradasi, juga dunia pendidikan Indonesia yang semakin terbelakang. Saya tidak tahu apakah ini merupakan reaksi kaget saya atas banyaknya liputan media yang berefek pada respon publik atau sebuah titik pencerahan saya untuk merespon secara jernih apa yang terjadi belakangan ini pada para pengajar muda yang sudah mirip selebritis dadakan. Berharap keduanya.
Niat untuk berbagi tentang hal ini sebenarnya muncul seketika setelah saya menghadiri undangan makan siang dari keluarga salah satu sahabat saya yang juga pengajar muda. Sambil menikmati chiken kari noodle versi oenpao yang menurut saya merupakan saudara batih dari mie ayam, saya berdiskusi dengan ayah sahabat saya. Sebenarnya obrolan tentang euforia pengajar muda di media muncul dari pasport. Jujur di tim Bengkalis, pasport saat ini menjadi isu yang cukup kuat sebelum deployment. Anda semua pasti sudah bisa menebak apa yang menjadi alasannya. Bentuk dari pemikiran visioner lebih tepatnya.
Ayah dari sahabat saya mulai membuka obrolan tersebut dengan menyuguhkan kami beberapa fakta bahwa, gerakan Indonesia Mengajar saat ini sedang gencar menjadi buah bibir di masyarakat baik dari kalangan borjuis maupun proletar. Saya masih ingat kalimat beliau terkait hal ini “...jangan kalian kira banyak yang memuji gerakan ini, tidak sedikit yang sinis dan memandang negatif...”. saya yang saat itu sedang kepanasan menyruput mi langsung terhenti. Chiken kari noodle nampaknya tidak menarik lagi. Beliau meneruskan respon negatif tersebut datang dari berbagai kalangan baik tentang masa ajar yang hanya satu tahun, gaji pengajar muda, anggapan bahwa program ini hanya sebuah batu loncatan, hingga Anies Baswedan yang terkesan “bodoh” dalam membuat statement di media. Seketika itu saya menelan ludah karena ice orange juice yang satu jam lalu saya pesan belum juga datang.
Beliau menyatakan bahwa statement Anies tentang penyebutan rata-rata angka nominal gaji pengajar muda di salah satu media secara tidak langsung menjatuhkan derajad dan martabat gerakan ini termasuk pengajar muda. Hal ini bisa dibilang serius, mengingat gerakan ini dibangun atas dasar pengabdian jadi tidak pantas jika sampai angka nominal terucap. Inspirasi yang menjadi sumber kekuatan dari gerakan ini jadi terkesan dikesampingkan. Saya hanya bisa mengangguk-angguk mendengarkan sekaligus meratapi jika memang fakta itu benar adanya. Hal itu juga berlaku untuk statement bahwa paska program ini akan banyak akses kemudahan yang didapat pengajar muda baik pekerjaan maupun beasiswa juga sempat dipermasalahkan. Sebelum kami pamit, beliau sempat berpesan bahwa hal ini perlu disampaikan baik kepada panitia Indonesia Mengajar maupun pengajar muda sendiri guna perbaikan kedepan. Lawan segala keraguan masyarakat atas gerakan ini dengan bukti bukan janji.
Dalam perjalanan pulang saya mulai berpikir bahwa ternyata tidak selamanya niat tulus itu dapat diterima dengan mudah. Tergantung dari sisi mana kita akan melihat. Jika dilihat dari dual track yang menjadi poros dari program ini, pemberitaan tersebut merupakan hal yang wajar karena merupakan salah satu alat. Tetapi jika dilihat dari sisi komersial, hal ini tentu berbeda. Saya yakin tidak ada maksud dari seorang Anies Baswedan untuk membuat program ini menjadi ajang popularitas. Saya juga tidak akan menyalahkan media atas berita berlebihan yang mereka tulis dan tayangkan selama ini. Apalagi untuk menyalahkan masyarakat yang saya pikir belum secara mendalam mendapat sosialisasi atas geraka Indonesia Mengajar ini. Terlepas dari hal itu, saya menyimpulkan sebuah hipotesa bahwa kritik sebenarnya adalah bentuk kepedulian dan rasa cinta seseorang atas kehendak orang lain. Kembali lagi semua tergantung dari respon personal tentang kejujuran pada hati mereka. Apakah terperangkap dalam posisi biner atau bertahan dalam posisi yang konsisten? Berharap yang kedua. Bahwa semua dilakukan untuk menebar inspirasi, memperbesar turbulensi kebaikan, hingga perjuangan untuk sebuah kemashlahatan. Dan itu semua bukan hal yang mudah. Hati orang siapa yang tahu.
Ditulis mendekati deadline dan mengejar makan malam.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda