3 Menu, 3 Waktu

Wildan Mahendra 15 Mei 2011
Ini adalah kali pertama saya mendapat undangan pernikahan dari etnis Cina. Bagi saya ini merupakan undangan spesial. Selain karena saya belum menghadiri sebelumnya, yang punya hajatan juga salah satu orang terkaya di desa kami. Nama lengkapnya Lim Liong Hwa, masyarakat kami akrab mengenalnya dengan sebutan Ling Hwa. Dia memang berasal dari marga Lim. Dalam keseharian Liong Hwa merupakan seorang tokey (juragan). Saya tidak tahu tokey apa tepatnya karena informasi yang masuk begitu beragam. Ada yang menyebut dia tokey minyak, tokey ikan, hingga tokey kelontong. Rumahnya berada di pelabuhan yang sekaligus juga menjadi terminal keluar masuk speed boat jalur Titi Akar-Tanjung Medang-Dumai-PT. Bagi keluarga kami, Liong Hwa bukan orang lain lagi. Keluarga kami mengenalnya sejak kecil. Menurut penuturan mbah buyut kami—yang sekarang masih hidup segar di usia kurang lebih 97an—dulu dia pernah bekerja dengan ayah Liong Hwa untuk mengumpulkan pinang. Ayah Liong Hwa dikenal sebagai tokey pinang. Pernikahan putri tunggal Liong Hwa yang bernama Hetty Kuslin (Lim Li Zhen) dengan mantan kulinya dulu bisa dibilang menjadi ajang reunian buat kami, terutama mbah buyut yang saat itu bersikeras untuk menghadiri pesta. Bahkan ketika mbah buyut memberikan amplop (salam tempel), Liong Hwa menolaknya. Padahal menurut penuturan mbah buyut dia hendak balas budi. Liong Hwa menyatakan bahwa dia sudah sangat senang melihat mbah buyut mau datang. Momen itu jujur memaksa saya kembali berpikir tentang karakter etnis Cina dan toleransi. Berbicara tentang toleransi, semua akan saya kupas secara tajam setajam silet dalam tulisan ini, namun dalam hal toleransi hidangan pernikahan. Terus terang ini adalah fenomena yang pertama kali dalam sejarah pernikahan yang pernah saya hadiri. 3 menu 3 waktu. Saya benar-benar kagum dengan teknik undangan pernikahan putri tunggal Liong Hwa ini. Dia benar-benar bisa mengakomodasi semua undangan yang hadir. Bagi warga muslim yang kebanyakan datang dari dusun tempat saya tinggal (dusun Sukadamai) dapat menghadiri undangan dari jam 09.00 samapi 14.00 dengan menu andalan sate ayam. Liong Hwa berani menjamin semua masakan untuk waktu ini halalan toyiban alias halal. Jika masih kurang yakin, anda bisa mengecek sendiri semua alat masaknya yang khusus dan tentunya belum pernah digunakan. Tukang masaknya pun juga berasal dari dusun kami. Bahkan untuk semakin meyakinkan, semua piring dan gelas yang digunakan berasal dari plastik dengan model sekali pakai buang. Kami percaya. Perhelatan masih dilanjutkan dengan undangan yang berbeda pula. Kali ini undangan yang dimulai dari pukul 14.00-15.00 dikhususkan untuk para vegetarian atau vegan. Masakannya pun langsung dimasak dari Vihara samping rumah Liong Hwa. Kondisinya sama seperti undangan untuk kami warga muslim, tukang masak dan alat masak pun tersendiri. Populasi vegan di desa kami memang cukup banyak. Mereka dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, adalah orang yang sudah menjadi vegan murni. Hal ini menurut penuturan sahabat saya-- yang saat ini sedang berproses menjadi vegan murni—ditandai dengan ikrar suci dan pembakaran kitab yang didalamnya sudah tertulis nama si vegan murni tersebut. Salah satu ikrarnya misalnya berjanji untuk tidak menikah seumur hidup atau tidak akan pernah makan makanan yang berdarah. Kedua, vegan yang sedang berproses seperti sahabat saya. Mereka biasanya latihan menjadi vegan sebulan dua kali, tiap awal dan tengah bulan. Selebihnya sesekali mereka masih makan makanan hewani namun dalam kadar yang sangat minimal. Dengan menjadi vegan, mereka yakin jiwanya akan suci. Kemeriahan semakin memuncak pada pukul 15.00-selesai. Ini adalah waktu yang tepat bagi para penggemar nangoy (bahasa akitnya babi) dan pek cu (sejenis arak). Menurut penurut penuturan kakak saya, untuk sesi waktu ini yang datang jauh lebih banyak dari yang sebelumnya. Selain warga dari suku Akit yang menjadi mayoritas, para bos-bos cina dari berbagai daerah juga berdatangan. Kata kakak saya, pada acara ini mempelai bertugas menuangkan pek cu tadi ke setiap undangan tanda penghormatan. Selepas acara, biasanya mereka melanjutkan dengan berjudi bersama. Tradisi yang sama jika ada masyarakat dari suku akit yang meninggal. Terlepas dari hal tersebut, ini adalah fenomena baru bagi saya. Pernikahan 3 menu 3 waktu, akan menjadi salah satu pertimbangan saya untuk kembali mendefinisikan makna toleransi dalam konteks yang lebih luas. Dan film terbaru garapan sutradara muda Hanung Bramantyo “?” akan menjadi referensi dalam pendefinisian ini. Apa itu toleransi?

Cerita Lainnya

Lihat Semua