Berlindung Di Bawah Meja

Widhi Wulandari 24 September 2013

Pagi itu di sekolah hanya ada aku, Pak Guru Lukas, dan Bu Guru Titang. Kami terpaksa harus mengajar kelas rangkap, karena hanya kamilah guru yang tersisa di sekolah. Aku mengajar di kelas 3 dan 4. Kelas 1 dan 2 dipegang oleh Bu Titang, sedangkan Pak Lukas memilih untuk mengajar kelas 5 dan 6. Seperti pagi-pagi sebelumnya, kami selalu melakukan apel di lapangan, depan ruang guru, sebelum masuk kelas. Saat itu tiba giliranku, untuk menyampaikan amanat di dalam apel. Aku hanya mengingatkan anak-anak untuk tetap semangat belajar dan tetap tertib jika di dalam kelas. Aku hanya menghabiskan waktu kurang lebih 5 menit untuk menyampaikan amanatku.

Setelah memberi amanat singkat, aku mengakhirinya dengan mengucapkan salam pada anak-anak, kemudian anak-anak pun dibubarkan dan masuk ke kelasnya masing-masing. Tidak lama dari bubarnya anak-anak, aku pun bergegas menuju kelas 3 dan 4, yang letaknya memang agak jauh dari ruang guru dan tempat kami apel.

Tidak ada firasat apapun sebelumnya, semuanya baik-baik saja seperti sedia kala. Sampai akhirnya aku sampai di depan pintu kelas 4, lalu tiba-tiba tanah tempatku berpijak bergoyang begitu kencang, dinding dan kaca di dalam kelas bergetar begitu hebat. Rupanya Pulau Matutuang sedang dilanda gempa bumi yang begitu dahsyat.

Betapa paniknya aku saat itu, kekhawatiranku tertuju kepada seluruh muridku di kelas. Tanpa terduga, murid-muridku melakukan hal yang cukup mengejutkan sekaligus membuatku bahagia ketika gempa tengah terjadi. Mereka secara spontan dan serempak langsung merunduk kemudian masuk ke kolong meja ketika seluruh ruangan masih bergoncang akibat pergeseran lempeng bumi di Pulau Matutuang. Salah satu diantara mereka, bertiak kepadaku “Enci cepat masuk kolong mejaaaaaaaa,gempaaaaaaaaaaaa!”. Aku yang saat itu masih berdiri di depan pintu, langsung merunduk dan masuk kolong meja mengikuti murid-muridku.

Sungguh aku sangat bangga dan bahagia ketika mengetahui bahwa pelajaran tentang menjaga lingkungan alam sekitar, yang di dalamnya terdapat sub materi tentang penyelamatan diri ketika  terjadi bencana alam, ternyata diingat oleh murid-muridku. Aku ingat betul, pelajaran itu aku berikan sekitar 3 hari sebelum kejadian gempa bumi. Saat itu aku mengajak mereka melakukan simulasi penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi. Aku memberitahu mereka bahwa hal utama yang harus dilakukan ketika terjadi bencana alam adalah melindungi diri sendiri terlebih dahulu sebelum membantu orang lain. Untuk melindungi diri kita dari jatuhan barang-barang ketika terjadi gempa bumi, saat kita tengah berada di dalam ruangan, adalah dengan masuk ke kolong meja. Dan kami pun memperagakan gerakan masuk kolong meja tersebut. Ketika aku memberikan materi, beberapa murid kesayanganku ada yang mendengarkan namun tetap asik memukul-mukul meja, ada yang mendengarkan sambil mencatat dan ada pula yang mendengarkan sambil berjalan-jalan. Melihat respon dan tingkah laku murid-muridku kala itu, aku cukup sanksi materi dapat tersampaikan secara baik.

Namun di hari terjadinya gempa bumi, segala kesanksianku hilang. Murid-muridku yang ketika menerima pelajaran terlihat main-main dan tidak fokus, ternyata tetap dapat menangkap inti materi yang aku sampaikan, bahkan mereka mengingatnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Aku jadi percaya bahwa setiap anak memang memiliki caranya masing-masing untuk belajar. Tidak perlu suasana yang hening dan kaku untuk memastikan bahwa materi pelajaran akan masuk ke dalam ingatan anak-anak. Sebagai guru dan orang tua, kita baiknya memang harus memberikan ruang kebebasan pada setiap anak.  Karena pada dasarnya kebiasaan, minat dan bakat masing-masing anak akan berbeda satu sama lainnya. Dan semua anak adalah bintang di bidangnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua