Kisah di balik Pameran Foto Enam Benua

Wahyu Setioko 20 Mei 2013

Mengenal dan mengidentifikasi benua-benua di dunia. “mamam!”, begitu gumamku secara spontan saat membaca Kompetensi Dasar berikutnya yang harus aku siapkan dalam Lesson Plan pelajaran IPS kelas 6. Ya, aku agak bingung setelah melihat kurang lebih 10 BSE (Buku Sekolah Elektronik) dan menemukan fakta bahwa penjelasan benua-benua tersebut dipaparkan dalam bentuk TULISAN. Sekali lagi, tulisan, bacaan. Sesuatu yang kurang disukai murid-muridku. Mereka memang tipe anak-anak kinestetis yang lebih senang belajar dengan bergerak-gerak daripada duduk diam dan membaca.

Kata pakar pendidikan, guru yang baik adalah yang dapat menyesuaikan gaya mengajar guru dengan gaya belajar murid. Terobsesi untuk menjadi guru yang baik, aku pun memutar otak untuk menyajikan pembelajaran yang sesuai dengan karakter murid-muridku. Ilham itu datang saat aku membaca buku baru (baru dikasih sama SEKAR TELKOM, hihi) di perpustakaan tentang Kompetisi Majalah Dinding 3 Dimensi. Lalu tiba-tiba muncul ide di otakku. PAMERAN FOTO ENAM BENUA !

Aku memilih pameran foto karena kupikir memahami enam benua tak cukup hanya lewat deskripsi tulisan. Lebih efektif rasanya jika memanfaatkan media visual yang dipadu padankan dengan kemampuan kinestetis murid-muridku dalam berkreasi menghias stand pameran. Mereka pasti suka, aku yakin sekali. Senyumku bahkan lebih lebar saat berkhayal untuk mengembangkan pembelajaran kali ini dengan lebih kompleks. Ya, ini akan jadi pembelajaran tematik yang menggabungkan beberapa pengetahuan dan keterampilan dari berbagai macam pelajaran dan melibatkan banyak pihak dalam pembelajaran ini. Uhuuyy, aku semangat sekali kala itu.

Biasanya, cara belajar yang unik akan lebih mudah masuk ke long term memory (ingatan jangka panjang) siswa. Contoh saja, saat aku ditanya, belajar apa yang kamu ingat waktu SD? Aku akan menjawab, menumbuhkan kacang hijau jadi toge, mengamati perbedaan toge yang tumbuh di bawah matahari dan tempat teduh. Ya, karena itu unik dan aku melaksanakannya dengan senang saat itu. Tak mungkin lah aku menjawab, aku paling ingat saat guruku menyuruh membaca tentang globalisasi, atau saat aku mendengarkan guruku menjelaskan toleransi, atau saat aku mengerjakan pengurahan pecahan di papan tulis. Jujur, aku tidak ingat sama sekali dengan itu semua. Kenapa? Ya karena nggak menarik.

Nah, lagipula, dalam Taksonomi Bloom, tingkatan paling tinggi dalam pembelajaran adalah Creating (membuat produk) *CMIIW*. Pameran adalah produk yang tepat menurutku untuk menyajikan pelajaran Enam Benua. Selain itu, dengan pameran, murid-muridku dapat menyalurkan kreatifitas mereka dan sekaligus menimbulkan kepercayaan diri serta mengubur rasa malu saat berbicara di depan para pengunjung. Yeah! Tepat sekali, pikirku.

Jam pelajaran IPS pun tiba, aku mengemukakan ideku untuk pembelajaran kali ini. “Bapak bagi jadi 6 kelompok yaa, sesuai jumlah benuanya. Nanti kita cari foto-foto dan informasi tentang benua masing-masing lewat internet (wifi) di balai desa. Sekalian kalian belajar menggunakan komputer/laptop dan internet. Setelah itu foto yang kalian dapat dari internet akan dicetak dan kita tampilkan dalam bentuk pameran. Kita undang orang-orang untuk berkunjung ke pameran kita, siapa saja, semuanya diundang, presiden kalau perlu”. Haha, mereka langsung ribut sendiri, ngomongin presiden dan membayangkan ini itu.

Singkat cerita, setiap sore aku membawa murid-muridku ke balai desa secara bergantian per kelompok tiap harinya. Satu kelompok terdiri dari 2-3 orang yang aku bonceng naik motor ke balai desa untuk belajar laptop dan mencari gambar di Google serta informasi dari Wikipedia. Dua minggu berlangsung hal yang sama setiap sore. Laptop yang aku pinjam pun ganti-gantian, millik sekolah, milik guru-guru, milik kepala desa, milik pejabat desa. Hingga akhirnya sang kepala desa memunculkan ide cemerlang, “Pak Koko, sampeyan bawa saja murid-muridnya semuanya, nanti kita siapkan (baca: pinjamkan) laptop yang banyak, jadi bisa belajar bareng-bareng di balai desa. Nanti saya dan teman-teman di balai desa bisa bantu ngajarin anak-anak”.

Esoknya di sekolah. “Hari kamis kita SEMUA akan belajar bersama-sama di balai desa, melanjutkan pencarian foto-foto yang belum lengkap. Nanti ada pak kades, sekdes, guru-guru dan banyak lagi yang membantu ngajarin kalian”, infoku kepada murid-muridku. Pertanyaan paling realistis pun mereka teriakan, “naik apa pak?”. Aku agak bingung juga. Iya ya, naik apa. Pikirku, kami akan naik motor beramai-ramai, murid-muridku diantar kakak atau orangtuanya, bisa bonceng bertiga, toh mereka kecil-kecil. Tapi ternyata murid-muridku mengeluarkan ide yang –menurut mereka- brilian. “Ajelan soko bheui pak, beuh lebur billahi (jalan kaki aja pak, beuh asyik, sumpah)”, sahut salah satu muridku yang kemudian digemakan oleh teman-temannya yang lain. Keningku mengkerut, aku tersenyum yang ...(ah susah dijelaskan). Gumamku dalam hati, gila, jalan kaki, lo aja kali, gue nggak. Males banget jalan kaki 5 kilometer turun gunung ke balai desa. Iya asyik berangkatnya, pulangnya cooyyy naaiiikk, panas pula. Haha, aku tersenyum maksa, ingin rasanya bilang nggak mau, tapi anak-anak ini semakin ramai dan bersemangat. Aku menghela nafas dan akhirnya berkata, “Yaudah. Jalan kaki”. Anak-anak bersorak gembira, aku meninggikan suaraku sekali lagi agar terdengar, “Eh, tapi kalian yakin?”. YAKIN ! YAKIN ! YAKIN !. Iya iya cukup. Aku tahu sekali mereka akan menjawab dengan sangat yakin. Satu-satunya yang tidak yakin itu adalah aku.

Akhirnya kami benar-benar jalan kaki ke balai desa. Murid-muridku sangat menikmati. Aku juga sudah mulai menikmati, mudah pikirku (iyalah, ini masih jalan turun). Satu jam kemudian kami sampai di balai desa, aku sibuk menyiapkan laptop-laptop pinjaman guru-guru, tokoh masyarakat, kepala desa dan perangkat desa. Kami berhasil mengumpulkan 7-8 laptop saat itu. Sementara anak-anak masih asyik bermain di pantai yang tepat sekali berada di belakang balai desa.

Singkat cerita, kami belajar komputer dan internet bersama bapak-bapak baik hati tersebut. Murid-muridku dalam waktu singkat sudah lancar memainkan laptop dan menelusuri gambar-gambar di om google. Aku pun mulai Siaga 1 mengawasi gambar-gambar apa yang mereka cari. Perkembangan teknologi memang harus diawasi dengan baik penggunaannya, utamanya terhadap anak-anak. Aku merasa terbantu karena banyaknya pihak yang ikut membantu pembelajaran di balai desa tersebut. Akhirnya misi kami selesai, semua gambar dan informasi yang diperlukan tentang benua-benua sudah cukup untuk sebuah pameran.

Waktu menunjukkan pukul 1 siang. Dan kami harus pulang, ke atas (dusun). Nah, ini dia kenapa aku sungkan jalan kaki. Untungnya beberapa kakak dan orangtua murid-muridku berinisiatif menjemput anaknya. Hufh, alhamdulillah. Setelah makan, satu per satu kami semua kembali ke dusun dengan motor, tanpa harus jalan kaki lagi. Kini, tinggal menunggu hari esok dan mempersiapkan ruang pameran.

Di luar dugaan, kreatifitas anak-anakku tak bisa diremehkan. Aku hanya memberi 3 meja, 1 buah karton besar dan double tip untuk mereka memajang foto-foto benua mereka. Selebihnya aku bebaskan mereka menggunakan alat bahan di sekitar untuk menghias stand benua masing-masing. Hasilnya, cukup membuat aku takjub. Masalah kreatifitas, anak-anak ini memang jagonya. Praktis, sesi menghias ruang pameran pun tak ada kendala. Selanjutnya adalah bagian terpenting dalam pameran, presentasi!

Aku membagi tugas untuk menjelaskan foto-foto tersebut per individu. Satu murid bertanggungjawab untuk mempresentasikan 3-5 buah foto. Mereka berlatih, membaca di buku dan hasil perolehan wikipedia mereka tentang foto-foto tersebut. Aku mensyaratkan agar mereka dapat menjelaskan foto-foto yang mereka cari sendiri tanpa teks. Ya, mereka harus mengerti foto apa yang hadir disana dan segala macam yang terkait tentang foto tersebut. Pemandangan yang aku suka adalah saat suasana kelas menjadi gaduh karena murid-muridku berlatih presentasi foto mereka.

Undangan telah disebar, hari yang dinanti pun tiba, PAMERAN FOTO ENAM BENUA Kelas 6 SDN 2 Kepuhlegundi. Jreng jreeeeng. Mulai dari kepala UPT Dinas Pendidikan, Pengawas-pengawas Pendidikan, Kepala Desa, Sekretaris Desa, Perangkat Desa, Kepala sekolah-kepala sekolah tetangga, Kepala sekolahku, guru-guru, orangtua murid, hingga siswa/i kelas 1 sampai 5 pun hadir untuk menyaksikan pameran yang -mungkin- tak akan pernah terlupakan oleh murid-muridku.

Pagi itu, aku masuk ke dalam ruang pameran dimana murid-muridku menanti, sementara para pengunjung masih berada di ruang lain untuk acara pembukaan. Murid-muridku tampak tegang. Raut wajah mereka berubah. “Deg-degan pak”, “Banyak iya pak yang datang?”, “Pak gimana pak kalau saya lupa?”, “Pak nanti ditanya-tanya ga? Kalau saya ga bisa jawab gimana?”, mereka sahut menyahut berkata padaku. Murid-murid lainnya tampak berkonsentrasi berlatih dalam hati menjelaskan foto. Sementara murid lainnya tampak deg-degan bersama, pegang-pegangan tangan, senyum-senyum khawatir satu sama lain.

Kalau boleh jujur, itu adalah pemandangan yang sangat indah bagiku. Ya, murid-muridku, yang jarang sekali bertemu orang luar selain masyarakat dusun kecil mereka, kini harus berbicara dihadapan banyak pengunjung yang akan datang berganti-gantian dan bertanya kepada mereka. Terlebih lagi, pengunjung-pengujung tersebut adalah orang-orang ‘besar’ di mata mereka. Hari itu, murid-muridku akan belajar mengatasi rasa malu mereka, akan belajar mengatur rasa percaya diri mereka, akan bicara dan disaksikan banyak mata, termasuk orangtua mereka sendiri. Mental mereka dilatih di pameran itu, keberanian mereka di uji. Ya, ini memang pembelajaran yang sarat arti bagi pengembangan keterampilan diri mereka.

Setelah pembukaan dan sedikit penjelasan dariku akan esensi pameran tersebut tersampaikan kepada para pengunjung, tirai pameran pun dibuka. Satu per satu pengunjung-pengunjung itu menghampiri stand pameran murid-muridku. Menambah cepat dan kencang degup jantung mereka. Saat itu aku berdo’a dalam hati, Ya Allah biarkanlah murid-muridku menikmati rasa deg-degan mereka. Karena setelah mereka berhasil melewatinya, akan ada sesuatu yang tertinggal di hati dan pikiran mereka. Sesuatu bernama kepercayaan diri, dan kebanggaan.

Pameran berlangsung kurang lebih 2 jam. Seiring berjalannya waktu, suasana tegang pun telah cair oleh guyonan-guyonan para pengunjung saat menghampiri stand-stand enam benua yang memukau. Mereka, para pengunjung, sangat suka sekali dengan Pameran Foto Enam Benua itu. Ya, pameran itu memang memuaskan. Puja-puji bertubi-tubi datang dari pengunjung-pengunjung ‘besar’ tersebut. Bahkan rombongan UPT Dinas Pendidikan berkata, “Pak Koko, terima kasih karena menginspirasi kami untuk mengadakan pameran foto di Hari Pendidikan Nasional nanti”. Sejak saat itu, aku dijuluki Penjelajah Enam Benua oleh orang-orang dinas pendidikan tersebut. Ya, aku senang. Tapi jauh lebih senang ketika menghampiri murid-muridku usai pameran dan mendengar kesan mereka. “Pak, saya deg-degan banget tadi, tapi akhirnya saya bisa pak”, “Saya juga pak”, “Saya juga”, murid-muridku bersahut-sahutan menghampiriku. “Ya, dari awal Bapak yakin kalian pasti bisa”, balasku pelan karena agak haru. Percaya atau tidak, semua ini aku lakukan hanya untuk mendengar satu kalimat itu dari murid-muridku, Pak akhirnya aku bisa!.

Aku tersenyum bersama murid-muridku yang tampak puas melewati mix feeling mereka. Aku bahagia. Kebahagiaan yang bahkan tak bisa kunilai berapa harganya, kebahagiaan yang terlalu tinggi untuk dibayar dengan rupiah. That’s the priceless happiness for beeing a teacher. Aku bangga dengan murid-muridku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua