info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bawang Putih Harus Pergi (?)

Wahyu Setioko 24 Maret 2014

Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. “Malam ini calon suaminya ‘dia’ dateng ke rumah kak. ‘Dia’ udah mau lamaran n nikah”, begitu kurang lebih isinya. Dari Eni, Pengajar Muda yang kini menggantikan kehormatanku hidup di Dusun Panyal Pangan, Pulau Bawean. Jujur, aku kaget dan agak sedih membaca pesan tersebut. Bukaaan, ini bukan kisah pengkhianatan cinta dan ditinggal nikah. Bukan. Sumpah.

            ‘Dia’, atau sebut saja Si Bawang Putih, adalah gadis yang sebaya denganku dan sehari-harinya menjadi guru TK di dusunku. Kenapa aku sebut Bawang Putih? Iya, selain rutin mengajar di TK, setiap hari ‘Dia’ harus menjaga adik dan keponakannya, bersih-bersih rumah, cari kayu bakar ke hutan, dan memasak ala kadarnya. Layaknya cerita Bawang Putih, ‘Dia’ selalu diperlakukan berbeda. Namun itu yang membuatnya mandiri, dan ..... ya, berbeda.

            Bawang Putih ini merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. Lulus SD, ia ingin sekali melanjutkan sekolah ke MTs/SMP. Namun orang tuanya tak ada daya. Beruntung, di dusunnya kala itu menyelenggarakan program Paket B (penyetaraan tingkat SMP). Ia pun mengikuti program itu hingga lulus dan mendapatkan ijazah Paket B. Belum puas, Bawang Putih masih ingin melanjutkan sekolah ke SMA/MA. Lagi-lagi, orang tua tak dapat mendukung secara finansial, maupun motivasional (motivasional emang ada ya di KBBI?). “Anak perempuan tak perlu lah sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya cuma akan di dapur dan di kasur”, begitu pandangan beberapa orang tua di dusunku. Bawang Putih akhirnya memutuskan untuk bekerja di kota kecamatan, menjadi seorang pramuwisma. Sedikit demi sedikit, uang hasil keringatnya ia tabung. Iya, ia bertekad untuk ikut program Paket C (penyetaraan tingkat SMA). Ia masih ingin terus belajar, meski tak seformal dan tak seberuntung remaja-remaja seumurannya yang bisa pergi ke sekolah setiap hari.

            Setelah benar-benar berhasil mengantongi ijazah Paket C dan ilmu-ilmu tingkat SMA, Bawang Putih lalu pulang kembali ke dusunnya. Kepala dusun lantas menawarinya menjadi guru TK di dusun tersebut. Ia ambil tawaran itu meski imbalannya tak sebesar saat ia menjadi pramuwisma, dan meski ia punya kesempatan untuk kerja dan hidup lebih baik di negeri seberang seperti teman-teman sebayanya di dusun. “Pengen sih bisa kerja juga di Malaysia kaya temen-temen, tapi liat-liat dulu keadaan kampung Saya. Pendidikannya. Butuh guru buat anak-anak. Yaudah, Saya mengabdi jadi guru saja di sini walaupun yaa gini, seadanya”, tutur Bawang Putih saat ditanya alasannya memilih menjadi guru.

            Dua tahun menjadi guru TK, Bawang Putih belum mengubur mimpinya untuk sekolah hingga tinggi. Ia menyambut antusias saat aku mengabarkan info tentang beasiswa S1 di Universitas Paramadina. Essay, surat-surat administratif dan formulir aplikasi pun satu demi satu ia siapkan. Sering ia datang padaku untuk belajar menulis essay. Ya, berhari-hari. Sampai akhirnya aku merindukannya karena sudah beberapa hari ia tak datang untuk menulis essay lagi. Usut punya usut, Bawang Putih menyerah. Ia merasa tak sanggup dengan persaingan beasiswa universitas yang ‘small but giant’ itu. Ah, sayang sekali, pikirku.

            Hari lain setelahnya, aku tersenyum saat mendengar gosip di ruang guru sekolahku. “Bawang Putih itu Saya tawari sekolah lagi, di kecamatan. Yaa tidak seperti mas Koko sih kuliahnya. Ini masuknya seminggu sekali-dua kali. Sama kaya Saya dulu, satu bulan cuma masuk dua kali. Kalau ujian saja. Hahaha”, cerita sang Kepala Dusun yang juga merangkap sebagai Staf Perangkat Desa sekaligus Guru di SD dan MTs di dusunku. Ia tertawa lepas menceritakan masa lalunya. Bangga. Merasa tak enak, aku pun ikut tertawa, kecil.

            “Kamu mau kuliah di kecamatan katanya?”, tanyaku pada Bawang Putih setelah mendengar kabar itu. “Iya mas, maaf Saya ngga lanjutin beasiswanya. Saya kuliah disini-sini saja, ngga sanggup kuliah di Jakarta”, jawabnya. “Terus ngga ngajar di TK lagi?”, tanyaku lagi. “Masih ngajar mas, kuliahnya kan hari Sabtu sama Minggu. Dua minggu sekali juga. Kalau ngga ngajar, gimana Saya bayar kuliahnya”, jawabnya sambil tertawa kecil. Aku terdiam. Tak bisa ikut tertawa. Ternyata, ia masih menggunakan gaji guru TK-nya untuk kuliah. Lagi-lagi, ia membiayai sendiri pendidikannya. Aku salut pada tekadnya.

            Bawang Putih tak pernah memikirkan dirinya sendiri selain tentang pendidikannya. Pendapatannya yang minim itu masih ia belanjakan untuk keperluan rumah dan 2 adiknya yang masih berseragam SD dan TK. Sisanya, ditabung untuk bayar kuliah. Sementara untuk makan sehari-hari, alam Ibu Pertiwi yang bangga telah melahirkannya hingga kini masih menjadi penolongnya. Sawah keluarganya subur. Begitu juga dengan kebunnya. Namun bagaimanapun juga, Bawang Putih adalah seorang gadis. Ibu angkatku (aku tinggal dengan keluarga lokal sebagai anak angkat, rumahku bersebelahan dengan rumah Bawang Putih) seringkali memberinya ‘jajan’. “Nih ada rejeki, jangan buat beli kebutuhan rumah atau adik-adik kamu. Sekali-kali kamu juga butuh beli baju atau bedak atau parfum. Kamu kan juga harus menikmati masa muda”, begitu nasihat Ibu Angkatku pada Bawang Putih seraya mengepalkan uang jajan ke tangan Bawang Putih. Iya, ia masih muda. Dan kebanyakan anak muda memang menikmati masa mudanya dengan menghabiskan uang untuk tampil cantik dan bepergian. Namun Bawang Putih tak perlu semua itu. Ia, dengan segala kepribadian dan ketulusannya, adalah pribadi yang cantik.

            Di usianya yang ke-23, Bawang Putih adalah gadis tertua di dusunnya yang belum menikah. Haha, iya iya. Tak usah heran. Aku bahkan pernah menjadi wali pernikahan muridku sendiri yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Fakta ini memang menantang. Untuk itulah aku benar-benar mewanti-wanti orangtua muridku di kelas 6 SD agar tidak menikahkan anaknya sebelum -paling tidak- lulus SMA. Bawang Putih melampaui jamannya, menurutku. Hidupnya memang terkungkung di dusun kecil di atas gunung, tapi cara berpikirnya sudah pada tingkatan modern. Namun seringkali hal itu menjadi bahan gunjingan masyarakat di desanya. Tak jarang aku mendengar desas-desus dari masyarakat tentang Bawang Putih. “Pilih-pilih sih, jadi karma”, atau yang lebih ekstrem “di dukunin tuh makanya ngga laku-laku”. Padahal ia memang tak ingin nikah muda seperti layaknya masyarakat di dusunnya.

            Bagaimanapun juga, saat-saat itu pasti tiba. Ya, sekarang ini. Saat ia dilamar oleh seorang lelaki dari desa di bawah (kaki) gunung sana. Seorang lelaki yang sedang pulang sejenak ke kampung halamannya dari ladang pekerjaannya di negeri jiran. Terlepas dari tampan atau tidak, mapan atau belum, aku sungguh mengkhawatirkan Bawang Putih. Baru saja aku berharap akan ada seorang perempuan dari dusun kecilku itu yang memperoleh gelar sarjana, menjadi guru, dan menjadi panutan masyarakat dusunnya dalam dunia pendidikan dan cara berpikir. Kehadirannya di dusun sangat penting menurutku karena selama ini contoh yang hadir di masyarakat dusunku adalah sosok perantau yang bekerja di negeri tetangga dan pulang dengan membawa sedikit kemewahan. Praktis, banyak anak muda di dusunku yang mengikutinya. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi, sampai kuliah segala, tak ada hasilnya. Lebih baik kerja di Malaysia atau Singapura, pulang-pulang jelas hasilnya. Ya, harus ada contoh bahwa pendidikan bahkan dapat mendatangkan kesejahteraan lebih dari sekedar bekerja ‘kasar’ di negeri orang.

            Untuk itulah, aku khawatir jika membayangkan tak lama lagi Bawang Putih harus pergi dari dusunnya dan ikut bersama suaminya hidup di negeri seberang. Kami akan kehilangan sosok pemudi yang dapat memperlihatkan sisi terang pendidikan di tengah masyarakatnya. Hufh. Namun apa mau dikata, roda kehidupan memang harus terus berputar. Mungkin memang sudah saatnya ia mengestafetkan tongkat perjuangannya kepada generasi berikutnya. Iya, murid-muridnya. Aku yakin, sosok Bawang Putih akan tetap hadir di benak murid-muridnya. Saat anak-anak itu ditanya ingin menjadi apa, mungkin saja akan terdengar jawaban dari bibir mungil mereka, “aku mau sekolah yang tinggi, terus jadi guru yang baik, seperti Bu Hasuna”.

            Iya, Bawang Putih itu bernama Hasuna. Sosok transformasi Dewi Sartika di dusun kecilku, Dusun Panyal Pangan, Pulau Bawean.


Cerita Lainnya

Lihat Semua