info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Upacara Adat Tulude, Kearifan Lokal Suku Sangir

Umi Qodarsasi 28 Februari 2014

Tradisi dan budaya masih terasa kental menyelimuti kehidupan masyarakat Sangir di saat modernisasi dan globalisasi terus menggempur kebudayaan nasional. Nilai-nilai luhur dari nenek moyang masih terjaga. Salah satu acara budaya yang masih dilestarikan adalah Upacara Adat Tulude yang digelar setiap awal pergantian tahun. Arti kata ‘tulude atau menulude’ berasal dari kata ‘suhude’ dalam bahasa sangir berarti tolak. Dalam arti luas Tulude berarti menolak untuk terus bergantung pada masa lalu dan bersiap menyongsong tahun depan. Tulude diadakan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah yang telah diberikan Tuhan selama setahun yang lalu. Tulude tidak hanya digelar di Kabupaten Kepulauan Sangihe, namun juga di Kabupaten lain di Sulawesi Utara di mana Suku Sangir berada, seperti di Bitung, Manado, Gorontalo, dan daerah lainnya. Di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Tulude dilaksanakan setiap tanggal 31 Januari. Namun pada tahun 2014 ini, Tulude diadakan pada tanggal 6 Febuari yang berpusat di Kota Tahuna. Selain digelar di Tahuna, Tulude juga dilaksanakan di berbagai kampung di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe, termasuk di Pulau Beeng Darat.

Tulude di Pulau Beeng Darat digelar pada tanggal 25-26 Febuari lalu. Acara Tulude di Beeng Darat biasa digelar setiap dua tahun sekali pada tahun genap. Seminggu sebelum pagelaran, masyarakat Beeng Darat sudah bergotong royong mempersiapkan bangunan semi permanen dari bambu di Lapangan Pasir sebagai pusat kegiatan tersebut. Hari pertama Upacara Tulude diawali dengan ibadah tulude di gereja. Setelah melangsungkan ibadah, perangkat desa, badan adat dan masyarakat menuju ke rumahKapitalaung (sebutan untuk kepala desa) untuk menjemput beliau ke tempat berlangsungnya upacara adat. Penjemputan Kapitalaung diiringi dengan Tarian Upase, musik tagonggong, dan nyanyian tradisional Sangir. Tarian Upase adalah tarian yang menggambarkan kesiapan pengawalan raja dalam setiap peperangan. Dalam upacara Tulude, sebagian masyarakat mengenakan busana tradisional Sangir yang disebut dengan Lakutepu. Setelah penjemputan Kapitalaung, acara dilanjutkan dengan Tarian Cakalele yang dimainkan oleh dua orang secara bergantian. Tarian Cakalele juga merupakan tarian perang, penari membawa parang serta sapu tangan (lenso) yang melambangkan martabat penduduk yang harus dijaga. Tarian Cakalele semakin meriah dengan iringan genderang musik tagonggong.

Malam harinya, masyarakat melakukan penjemputan Kue Tamo di rumah salah satu tokoh adat untuk dibawa ke arena upacara adat. Kue Tamo menjadi lambang dari acara Tulude yang akan dipotong keesokan harinya. Penjemputan Kue Tamo dilanjutkan dengan Tarian Gunde hingga semalam suntuk. Keesokan harinya merupakan puncak dari acara Tulude adalah pemotongan Kue Tamo. Kue Tamo berbentuk kerucut terbuat dari beras, umbi-umbian, gula serta minyak kelapa. Pada ujung Kue Tamo ditancapkan telur yang melambangkan kehidupan baru. Budayawan Sangir, Alffian Walukow memaparkan bahwa bagian terpenting dalam pembuatan Kue Tamo adalah ritual “memoto tamo”. Orang yang ditugaskan untuk memotong tamo harus menyampaikan sasalamate yang dinamakan sasalamate tamo.  Isi dari sasalamate tamo adalah berkisah tentang tamo itu sendiri dan pesan atau nasehat tentang kebaikan kepada banyak orang. Rangkaian upacara Tulude di Pulau Beeng Darat ditutup dengan tarian Empat Wayer yang diikuti seluruh masyarakat Beeng Darat. Tarian Empat Wayer merupakan tarian rakyat yang bersifat massal karena melibatkan banyak penari yang akan membentuk lingkaran besar. Gerakan tari Empat Wayer diadopsi dari kegiatan sehari-hari masyarakat sangir, misalnya memetik cengkih, nelayan, dan lain sebagainya.

Adanya Upacara Tulude ini membuka mata kita bahwa Indonesia begitu kaya akan budaya. Di sudut negeri ini, kearifan lokal masih terus tumbuh dan lestari.


Cerita Lainnya

Lihat Semua