Dari Manggarai ke Manggurai

Ulfa Rodiah 14 Agustus 2024
Sudah empat purnama dilalui dalam masa penugasan saya dan rekan-rekan Pengajar Muda (PM) Angkatan 26 di Kabupaten Teluk Wondama. Meskipun tidak jarang merasa belum melakukan apa-apa selama bertugas, ternyata setelah direfleksikan, sudah banyak hal dilakukan. Baik hal yang dilakukan saat di kabupaten, saat di distrik, begitu pula di kampung penugasan.
 
Mulai terbiasa beraktivitas yang rasanya jadi slow living. Sebelum jadi PM, ya cukup sering terlibat dalam kesibukan Stasiun Manggarai, tapi saat penugasan kini saya dan teman-teman tim PM Wondama, jadi lebih banyak beraktivitas di sekitar Komplek Pemda Manggurai. Ya beda-beda tipis secara alfabet, bahkan di awal-awal sampai ke Wondama, pernah sekali dua kali dengan percaya diri menjawab
"Oh itu bu, kami tinggal di Manggarai"
yang kemudian ditimpali dengan tawa,
"Hoo Manggurai kah? Kalau Manggarai tu stasiun di Jawa sana to"
"E iya to Manggurai"
 
Ajeee memang, belum terlalu terbiasa jadi.
 
Bicara soal empat purnama di penempatan, Alhamdulillah, saya dan teman-teman PM 26 Wondama, berkesempatan untuk 'merayakannya' sambil berpetualang ke salah satu kampung yang berada jauh di pegunungan sana, namanya Kampung Urere.
Bersama rombongan Kodim 1811 TW dan Pemda Kabupaten Teluk Wondama (diwakili Dinas Sosial & Dinas Kesehatan), kami berkesempatan ikut berkunjung sekaligus memandu Kegiatan Belajar Bermain (KBB). Bersama sekitar 32 anak yang sebagian di antaranya adalah murid salah satu PM, yang bersekolah di SD Kukuyeda di Kampung Wombu, Distrik Naikere.
 
Sebagaimana karakter anak gunung yang katanya pendiam, kami buktikan saat melangsungkan KBB. Mulanya agak sulit untuk bisa memancing mereka untuk berbicara, terlebih tidak semua anak bisa berbahasa Indonesia. Akan tetapi, seiring berjalannya proses KBB, anak-anak yang sudah bisa berbahasa Indonesia turut membantu kami untuk mengajak sesama temannya aktif dan mengekspresikan diri selama kegiatan, menggunakan bahasa Mairasi untuk mengarahkan petunjuk yang disampaikan oleh bapak dan ibu guru PM.
 
Kondisi kampung yang sangat mengandalkan alam, listrik yang mengandalkan panel surya, dan masyarakat yang begitu welcome dengan kedatangan kami, meninggalkan kesan mendalam, khususnya bagi saya. Bagaimana mereka bertahan dengan keterbatasan. Membuat saya jadi bertanya-tanya, "kok bisa?"
Di sepanjang jalan pulang, meskipun lelah dan kaki terasa pedis (sakit/perih) berikut nafas yang memang sudah berat saat menanjak, saya berkata pada diri saya "rajin-rajin bersyukur, dikit-dikit jangan ngeluh, ada mereka yang lebih sulit dari kamu tapi terus berusaha dan bertahan."
 
Bagaimana mereka sudah menerapkan asset based thinking (ABT) dalam kehidupan. Memanfaatkan yang ada dan sudah tersedia di alam untuk menjalankan aktivitas sehari-hari dan tetap hidup lagi menghidupkan. Pergi ke kebun, merawat alam, dan menyambut tamu dengan persembahan terbaik yang mereka miliki.
 
Semoga lain waktu, bisa kembali ke sini untuk bisa belajar lebih banyak. Memahami bahasa mereka, membantu 'menjembatani' agar mereka selayaknya warga negara di bagian daerah lain agar bisa memperoleh hak-hak dasar; seperti pendidikan misalnya. Tidak hanya bisa didatangi oleh guru setiap bakti sosial, tapi semoga sekolah dan guru bisa segera hadir menetap di sana.
 
Memang, seperti apa yang pernah salah satu stakeholder katakan kepada kami di awal kedatangan ke penempatan, "perjalanan kalian di sini itu untuk menguatkan hati." Dari Manggarai ke Manggurai, tidak padat secara aktivitas tetapi ternyata padat akan pelajaran-pelajaran soal hidup.
_
Lihat rekap KBB yang tergabung dalam agenda Bakti Sosial bersama Pemda Kabupaten Teluk Wondama dan Kodim 1811 TW di Kampung Urere: 
 
Ditulis di ujung Kampung Kaprus, 18 Juli 2024 | 19.30 WIT

Cerita Lainnya

Lihat Semua