Merdeka Bercita-cita
Trista Yudhitia Bintoro 17 Agustus 2013“Tujuh Belas Agustus Tahun '45.. itulah hari kemerdekaan kita...”. Lantunan bait sudah terngiang di pikiran saya ketika berjalan kaki menuju lapangan upacara pagi ini. Saya tergesa-gesa takut terlambat karena lapangan tersebut lumayan jauh dari rumah. Di sepanjang jalan sudah terpasang tiang-tiang bambu kokoh yang mengibarkan bendera merah putih. Bulan Agustus, bulan yang secara naluriah orang Indonesia adalah bulan perayaan kemerdekaan. Bulan yang bernuansa Merah-Putih.
Hari ini 17 Agustus 2013. Sudah 68 tahun pula Indonesia merdeka. Di desa Bandar Agung, seluruh murid-murid di kecamatan Lalan dihimbau untuk ikut serta dalam upacara bersama di lapangan.
Tempat ini tiba-tiba sudah menjadi pasar dadakan. Warung-warung berdiri dan ibu-ibu menjajakan berbagai makanan mulai dari bakso, tekwan, gorengan dan es. Para penjual es potong dan jagung rebus sudah setia berdiri disamping motornya. Anak-anak berlalu lalang sibuk memakan es beku pagi-pagi dengan baju seragam lengkap dengan topi dan dasinya. Sampah-sampah sudah berserakan dan saya masih setia mewanti-wanti agar murid-murid ini tidak membuang sampah sembarangan. Riuh.
Upacara bendera, yang mungkin atau sebenarnya tidak ingin saya maklumi -karena seperti yang ditebak- molor. Atau mungkin, memang agendanya seperti itu. Namun demikian, saya salut kepada murid-murid saya yang sudah datang sejak pukul 7.30 untuk menghadiri upacara bendera. Saya bisikkan kepada mereka bahwa paling tidak guru mereka bangga karena mereka telah memenuhi janji untuk tidak terlambat.
"Ibu, kenapa sih kita harus ikut upacara, kan capek?”
Salah satu murid tiba-tiba menggelayuti saya dan melemparkan pertanyaan tersebut.
“Kira-kira untuk apa ya?.... sebenarnya ini untuk mendoakan para pahlawan. Sama seperti mendoakan arwah kerabat yang sudah meninggal", saya mencoba menerangkan. "Dan untuk menghargai apa yang kita punya sekarang: bebas dan merdeka melakukan apapun asal tidak melanggar aturan. Zaman sebelum merdeka, kita ini budak loh. Kalau para pahlawan itu tidak ada, kita bisa jadi tetap menjadi budak sampai sekarang”, tambah saya sembari berharap mereka dapat mengerti maksud saya. Jawaban saya terlalu diplomatis. Kebiasaan.
“Pesan Ibu selalu hanya satu: biarpun capek, nanti ketika bendera siap dikibarkan, hormat dengan benar ya”. Anggukan mereka membuat saya tersenyum.
Upacarapun dimulai. Lapangan seukuran lapangan sepak bola ini membuat paduan suara tidak terdengar dari tempat kami. Melihat anak-anak yang sudah mulai terlihat tidak khusyuk mengikuti ritual upacara ini, saya termenung. Dalam hati saya berpikir, apa arti upacara bagi mereka dan bagi kami-kami ini. Apakah hanya ritual setiap Agustusan yang selalu dilewati? Kegiatan rutinitas setiap hari Senin? Apa yang sebenarnya mereka hormati dan maknai ketika upacara?
Terbersit pikiran pesimis, yang cepat-cepat saya tepis. Walaupun hal itu benar, saya berharap suatu saat mereka akan merasakan getar ketika menghormat kepada Sang Saka Merah Putih.
Dan ternyata pesimisme memang tidak tepat
.***
Masih pada hari yang sama, pada sore harinya, kami berkumpul kembali di lapangan untuk melihat-lihat lomba. Saat itu, saya menemukan bahwa mereka sebenarnya lebih mengetahui esensi merdeka.
Saat kami duduk-duduk bersantai membentuk lingkaran dengan bendera merah-putih plastik ditengah-tengah, seorang anak bergigi gigis menghampiri saya.
“Ibu, aku kayak merah putih di bendera ini”, ujarnya
Saya sebelumnya memang membagikan bendera merah putih kecil untuk mereka. Ia meletakkan bendera merah putih transparan itu ke mukanya yang mungil. Senyumnya melebar tertutup oleh warna putih bendera. Hanya matanya saja yang terlihat.
“Jingok (lihat) aku Bu. Aku adalah merah-putih, Bu. Indonesia”. Sungguh simbolis perkataannya. Mungkin dia sendiri tidak sadar.
Melihat kesempatan ini, saya mencoba menggali pengetahuan mereka tentang kemerdekaan.
"Merdeka itu apa sih?”. Aku mencoba memancing obrolan.
“Merdeka itu... apa ya.. Merdeka itu bebas deh, Bu. Sebebas aku bisa jadi dokter nantinya”
Aha! Merdeka bagi anak ini adalah bebas menjadi dokter. Ia memaknai kemerdekaan dengan caranya sendiri.
Kemudian satu anak murid yang duduk di samping saya menirukan temannya dengan meletakkan bendera merah putih di depan mukanya. Saya menoleh memandang mata cemerlang di mukanya yang mungil itu.
“Cita-citamu apa, Cit? Dapat bercita-cita itu salah satu bentuk kemerdekaan, loh”.
"Jakarta, Bu. Lewat Olimpiade."
Katanya, Jakarta. Ya, ternyata gadis yang ini cukup bercita-cita dapat pergi ke Jakarta melalui mengikuti Olimpiade Sains yang tahun sebelumnya belum dapat ia raih.
“Nah... tau sendiri kan? merdeka itu bebas bercita-cita, bebas meraih impian, dan bebas melakukan usaha untuk meraihnya”, kata saya kepada mereka yang diikuti dengan anggukan kepala tanda setuju dari mereka.
***
Iya, merdeka bagi setiap orang adalah hal yang berbeda. Persepsi setiap orang berbeda-beda. Memaksakan satu hal pandangan adalah hal yang kurang tepat. Saya mungkin tadinya merasa mereka tidak terlalu memaknai kemerdekaan, namun itu hanyalah asumsi. Dan orang tidak hidup berdasarkan asumsi semata.
Seperti merdeka yang bagi saya adalah memenuhi janji kemerdekaan untuk ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkin hanya sedikit orang yang dapat mengerti. Mungkin hanya sedikit langkah yang bisa saya tempuh, dan hanya sedikit iuran bantuan yang bisa saya berikan.
Tetapi toh di hari kemerdekaan ini, saya sudah di sini. Di Musi Banyuasin. Puas memandangi bendera Merah Putih, melihat anak-anak dan mendengar pandangan mereka tentang kemerdekaan dan cita-cita mereka.
Merdeka bagi mereka adalah kebebasan meraih cita-cita. Merdeka bagi kita bisa jadi salah satunya adalah membantu mereka untuk membukakan jalan meraih cita-cita mereka.
Bagaimana denganmu? apa yang kamu lakukan untuk memaknai bahwa kamu sudah merdeka? apa yang bisa kamu katakan bahwa dirimu telah melakukan suatu aksi dan tidak hanya memberikan reaksi?
Ayo, sama-sama renungkan dan lakukan aksi nyata!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda