Cerita Tentang Ke-aku-an dan Sedikit Harapan Daerah Baru

Trista Yudhitia Bintoro 15 Agustus 2013

Aku memperhatikan jembatan kayu di dermaga yang licin penuh lumpur itu dari jendela sepit (speedboat), sebelum akhirnya melemparkan pandangan ke sekelilingnya.  Hanya ada rerumputan dan pohon-pohon.  Hijau yang bagai emerald di daratan dipermanis dengan air sungai sewarna teh susu dibawahnya.  Ada refleksi kehijauan di sungai itu.  Sepi.  Bahkan suara burung walet yang sudah mulai biasa aku dengar di desaku, disinipun tidak terdengar kicauannya.

Sekarang pukul 9 pagi, dan sekarang aku merasa ragu bahwa ini adalah desa Bandar Agung.  Lebih-lebih aku tidak tahu pasti bahwa tempat ini memang benar-benar di muara sungai menuju desa tempat tinggalku.

Memang, aku ini salah turun.  Desa Bandar Agung masih harus beberapa km dari muara sungai, dan aku pagi-pagi di muara tanpa kontak orang desa.

Aku berdecak, kali ini melihat langit. Hari ini langit memutuskan untuk meniru warna batu. Abu-abu.  Mirip sekali dengan langit dikala winter di Melbourne.  Hanya saja, matahari disini lebih betah berlama-lama dibanding langit abu-abu di Negeri Kangguru.  Ah... baru saja akhirnya aku benar-benar sampai di desaku seorang diri, pertama kali pula, tetapi hujan sudah rintik-rintik saja.  Bagus, jalan akan semakin licin untuk dilalui.

  “Benar ini P16?”, tanyaku kepada supir sepit, berharap bukan ini tempatnya.  Mencoba memastikan kembali kepada sang supir ketika aku mencoba memanjat ke pucuk (atas) kapal untuk mengambil tasku.  Ia mengangguk santai.  Dengan pasrah aku mengambil tas carrier kesayanganku.   Tasku berat, hasil dari belanja bulanan-ku di Palembang kemarin.  Ya, beberapa hari yang lalu, aku ke Palembang untuk mengantarkan PM IV pulang setelah memenuhi janji kemerdekaan mereka untuk mencerdaskan anak bangsa.  Kali ini giliranku berlari meneruskan tongkat estafet.

  Setelah tawar menawar harga dan membayarkan biaya sepit kepada awak kapal, aku mencoba meniti jembatan kayu yang semula hanya bisa aku perhatikan saja.  Sepatu karet yang kukenakan ternyata tidak membantuku untuk berdiri tegap di jembatan.  Satu langkah, licin sekali.   Aku sedikit tertawa, terpikirkan kalau-kalau aku jatuh, itu akan menjadi pengalaman pertamaku mencicipi sungai Musi.  Aku bisa berenang. Mungkin. Aku belum mampu berenang di kedalaman sungai lebih dari 30 meter seperti sungai Musi ini. 

  Di langkahku yang kedua, entah karena jengah melihatku berjalan bagai siput, atau karena kasihan melihatku sebagai orang baru (dengan badan kecil dan rompi Indonesia Mengajar yang besar), supir sepit menyuruh awaknya untuk membantu membawakan tas carrier-ku sampai ke darat.  Biasanya aku tidak suka barangku dibawakan, tapi sekarang aku tak menolak, tentu saja. Sang awak dengan ringannya berjalan meniti kayu-kayu berlumpurkan tanah liat membawa tasku keatas.  Dia dengan lihainya sudah berjalan kembali menuju sepit setelah meletakkan tasku sembarangan diatas tanah.  Aku? masih tetap setia di tempat yang sama.  Belum bergerak, mencoba mencari-cari kemampuan kinestetik untuk melangkah dengan seimbang.

 Langkah-langkah berikutku kemudian diisi dengan seruan supir sepit dan beberapa ibu-ibu yang menontoniku dari jendela kepadaku (yang tiba-tiba aku merasa seperti di pertunjukan sirkus) dalam bahasa Melayu-nya untuk melepaskan sepatu karetku agar lebih mudah berjalan. Aku memilih untuk mengikuti saran mereka.

***

  Kapal sepit Wawan Putra, dengan biaya transport yang lebih mahal dari biasanya karena kenaikan BBM itu, akhirnya benar-benar pergi ketika aku sampai di atas.  Kapal itu menuju Palembang.  Aku sebenarnya beberapa hari yang lalu juga ada di Palembang.  

Kala itu,sehabis selesai segala urusan di Palembang dan bersiap ke dermaga Ampera, aku lupa nama-nama kapal sepit yang menuju desaku.  Seharusnya aku tidak satu sepit dengan rekan-rekan PM-ku, hanya saja rayuan calo-calo kapal membuatku yakin bahwa desaku juga menjadi salah satu tempat perhentian.

 Ya, secara teknis, benar kapal tersebut turun di P16, tetapi di muara sungai menuju desaku.  Masih ada 1,5 km lagi dari muara menuju desaku, dan aku tidak familiar dengan muara itu.  Ditambah hujan badai yang sempat membuat sungai Musi yang tenang dan dalam menjadi berombak besar dan berguncang-guncang seperti di laut., akhirnya aku mengambil pilihan yang aman.  Dari pada terdampar di muara yang tidak kukenal di tengah hujan, lebih baik ke desa temanku untuk beberapa hari.

  Sekarang aku disini, setelah menghabiskan beberapa hari di desa rekan PM yang lain, aku memutuskan untuk kembali ke desa.  Aku turun di muara sungai desa P16B karena memang kapal sepit dari desa rekan PM tidak bisa langsung ke desaku.  Ia hanya dapat menurunkanku disini, di muara.  Dengar-dengar, di muara banyak buaya, tetapi aku bersyukur tidak melihat satupun sekarang.  Aku sebenarnya gugup, tetapi kemudian teringat dengan nasihat ayah.  

Jika kamu tersesat atau tidak familiar di suatu tempat, bersikaplah seperti kamu mengenal daerah itu.  Menepilah.   Duduk dan amati orang-orangnya, tempatnya, situasinya. Jangan menarik perhatian.  Kemudian ketika sudah waktunya, berbaurlah.

Aku jelas tidak duduk, celana bahan berwarna hitamku akan penuh lumpur lengket jika aku duduk.  Aku memikirkan antara harus melepaskan rompi Indonesia Mengajar yang mencolok ini atau tidak, dan akhirnya lebih karena dorongan rasa repot melepaskannya, aku memilih untuk tetap mengenakannya.  Aku mengamati sekeliling.  Di sebelah kananku, sungai Musi yang keruh karena hujan semalam.  Dibelakangku, tidak ada jalan, namanya juga muara.  Buntu.  Di kiriku, pepohonan dan tembok-tembok putih yang aku tidak tahu apa.  Pohon-pohon tinggi menghalangi pemandangan dibelakangnya.  Di depanku ada jalan, pasti jalan menuju desa.  Tapi tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan.  Sepi sekali padahal sudah sesiang ini.

  Aku kemudian teringat tadi pagi ketika aku diantar oleh anak-anak SD tempat rekan PM-ku di Sungai Kubu di dermaga.  Mereka mengantar dengan ramai, dan dengan senyum ceria di wajah.  Sama seperti pertama kali aku datang bersama temanku, dimana mereka berlarian ke dermaga untuk menjemput dan berlomba-lomba membawakan barang-barang kami.  Aku senang sekali dengan kehadiran mereka.  Lalu kubandingkan dengan keadaan disini, di daerah muara ini, sunyi.  Kontras sekali. Tidak ada celoteh anak-anak atau suara keriuhan warga.  Tiba-tiba aku merindukan mereka.  Anak-anak Sungai Kubu yang pandai berpantun.

  Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran dan kembali ke situasi sekarang. Sepertinya tak ada ojek, jadi aku memutuskan untuk berjalan sambil menunggu orang-orang yang mungkin bisa kutumpangi.  Kali ini sepatu karetku tidak mau bekerja sama.  Ia sukses membawa segumpal lumpur setiap aku menapakkan kaki.  Entah kenapa di situasi ini aku berpikir tentang anatomi kaki bebek untuk berjalan di atas tanah berlumpur.  Akan berguna sekali karena aku tidak perlu membawa lumpur-lumpur liat ini sejauh 1,5 km lagi jika aku punya kaki seperti itu.  Rompiku juga terkena lumpur sana-sini ketika mencoba meletakkan tas carrier ke punggungku. Di pikiranku hanya tentang bagaimana mencuci semua ini.

  Tak lama berjalan, aku melihat warung.  Rupanya disini adalah daerah persawahan.  Lega rasanya melihat ternyata ada orang-orang disini.  Sembari mencoba keberuntungan dengan menanyakan kemungkinan ada ojek disini, alih-alih mereka mengatakan bahwa sudah jelas tidak ada ojek.  Seorang ibu-ibu bermuka Jawa dengan mengenakan kerudung sekenanya, tampaknya si empu-nya toko, memperhatikan bawaanku dari atas sampai bawah.  Sembari memperhatikan, ia memberitahukan bahwa perjalananku masih jauh dan jalan sedang licin dan berbahaya untuk dilalui motor. Seketika itu aku tidak percaya tentang keberuntungan, yang ada hanyalah usaha.  Karena setelah mengucapkan terima kasih dan mencoba melanjutkan perjalanan, mereka kembali memanggilku untuk mengantarkanku ke tempat tujuan. Ya, usaha.  Usaha memancing untuk diantarkan sampai ke tempat tujuan, hahaha.

  Di sepanjang jalan, aku bersyukur tidak perlu berjalan kaki karena jalanan benar-benar buruk di kala hujan.  Struktur tanah disini lebih seperti lempung (tetapi aku memang bukan ahli struktur tanah dan sifatnya).  Dan mungkin karena pohon-pohon penyerap air banyak tumbuh disini, membuat jalan ini kering ketika kemarau dan liat ketika hujan.   Aku harus berdiam sebisa mungkin tidak membuat gerakan sekecil apapun supaya kami tidak sama-sama jatuh dari motor.  Tentu saja sulit, karena aku menggendong tas sebesar diriku.  Aku memperhatikan motor-motor disini memiliki ban seperti bentuk tahu kotak-kotak kecil supaya tidak terlalu licin ketika menyusuri jalanan khas.  

  Kemudian aku melewati pasar, menaiki jembatan yang derajat lengkungannya seperti derajat lengkung pelangi.  Mencoba menengok kanan-kiri, berharap aku melihat beberapa anak sambil bertanya-tanya apakah anak itu murid SD ditempatku.  Maklum, sebelumnya aku  hanya tinggal di desa 4 hari.  Sehari bertemu anak-anak muridku di acara pisah sambut, dan sisanya menemani kakak PM IV untuk mengantarkan rekanku ke desanya.  Kemudian selang dua hari kemudian langsung menuju ibukota provinsi untuk mengantarkan kakak-kakak PM kami tersayang kembali ke Jakarta.

***

Perjalanan dari muara ke desa menjadi waktu refleksi buatku sendiri.  Ketika di pasar tadi, aku melihat seorang anak melambaikan tangannya dan berteriak menyapaku, "Bu Guru Trista!".   

Siapa dia, aku bertanya-tanya dalam hati, karena selang waktu sedetik, motor sudah melaju meninggalkan wajah yang kulihat kabur-kabur itu.  Aku hanya bisa melambaikan tangan.

Setelah melewati dua jembatan lengkung itu, tak lama kemudian aku melihat sekolahku.  Pagar biru-putih. Lapangan upacara yang hijau. Pohon-pohon Bougenville merah jambu.  Masih sama dengan yang ada di memoriku.  Di kejauhan, terdapat tower Merah dari provider yang katanya sudah bangkrut. Kemudian seperti di sekolah-sekolah lainnya, ketika mendongak ke atas, kamu bisa melihat bendera Merah-Putih di langit yang tiba-tiba membiru.  Langit di Lalan memang tidak betah dengan abu-abu.

***

  Disini, di desa Bandar Agung ini, akan menjadi tempat baruku selama setahun.  Aku bahkan masih tidak tahu apa yang aku ingin capai atau yang aku harapkan, karena toh dari awal aku hanya ingin membantu.

 Aku belum berbincang dengan anak-anakku, kecuali satu siswa yang ikut ke Palembang karena ia lolos ke babak final OSK ke Jakarta.  Belum sempat aku berinteraksi dengan keluguan dan ketidakluguan mereka.  Masih belum nyata bagiku, karena aku belum mengenal anak-anakku.  Aku masih dipenuhi dengan idealisme hasil pemeriksaanku sendiri.  Aku siap, aku tentu saja siap.  Namun sudah beberapa bulan ini aku begitu berjalan dengan fakta-fakta yang ada.

  Tak pernah aku membayangkan desa ini seperti apa.  Aku telah terbiasa tidak berharap apapun, tetapi aku memang tetap berjalan dengan segala analisa futuristik yang selalu aku sebut-sebut sebagai proposal kehidupan.  Walau kebanyakan, manusia memang hanya bisa berencana, dan disitulah aku menyadari arti berhenti mengharap dan lebih baik berbuatlah lebih banyak.  Lebih memilih mensyukuri masa kekinian dibanding yang nanti-nanti.

  Tetapi yang kulihat sekarang adalah harapan.  Kata sapaan anak yang menyebutku "Bu Guru Trista" itu memberiku harapan yang sederhana. Suatu pengingat. Harapan diriku bisa benar-benar lebih menikmati hidup ‘sekarang’ bersama mereka dengan segala ketidakpastian masa depan.  Menanggalkan segala attribut ke-aku-an.  Ke-individualisme-an.  Bermain dan belajar dengan mereka, memberikan mereka hak untuk mendapat informasi yang tiada batas. Ya, membantu.

  Saat ini, PM lainnya juga sedang mengalami hal yang kurang lebih sama.  Mungkin berbeda, tetapi esensinya tetap sama.  Tidak hanya PM, tetapi manusia lainnya juga.  Saat ini, temanku yang lain juga sedang berjuang sukarela untuk Teach for Malaysia-nya, mungkin telah melewati masa bertanya-tanya tentang tujuan.  Yang sedang bersepeda keliling Kanada untuk menaikkan kesadaran SOS Children's Village tentang keadaan anak-anak di desa juga sama.  Kita punya tujuan yang sama.  Membantu.

  Karena itu, tak sabar rasanya menunggu masuk sekolah.  Bertemu anak-anak yang mukanya hanya kuingat ketika bertemu sekali saja di acara pisah-sambut PM.  Satu hari bersama mereka.  Itu sudah cukup membuat senyumku merekah.  Aku menunggu 364 hari lainnya setelah merasakan momentum bertemu mereka untuk yang pertama kali.  Anak-anak, beri aku harapan: tersenyum bersama-sama kalian dibawah bendera Merah Putih kita, belajar banyak dan tak henti-hentinya!

***

    2 Juli 2013. Desa Bandar Agung, Kecamatan Lalan, Musi Banyuasin


Cerita Lainnya

Lihat Semua