Haus

Tio Nugroho 6 Oktober 2013

Bismillah.,

Sudah lama rasanya saya tak berkirim kabar dengan karangan bebas yang biasa. Mungkin tak ada yang rindu, tapi semoga penikmat yang belum tahu menjadi tergerak hatinya untuk mengaku ingin bertemu.

Masih ingatkah engkau tentang Sudirman? Siswa kelas empatku yang penuh talenta kebetulan. Mungkin kak Faisal (PM IV) pernah menceritakan, karena dulu ia pernah menjadi guru setahun teladan. Dialah manusia kecil, punya empat adik dan jarang mandi tapi penuh ambisi dalam mengerjakan soal yang kuberikan. Ada banyak yang telah ku ujicobakan. Mulai soal tentang jam (matematika), tebak-tebakan ibukota provinsi (IPS-Geografi), dan jua kecepatannya mencari jawaban di soal cerita Bahasa Indonesia ataupun PKn. Ah, dia memang anak di atas rata-rata dengan resleting yang selalu terbuka. Sudah rusak, tak punya uang katanya. Haha.

Belum lagi aku harus ceritakan tentang Ngurah atau Opik. Dua makhluk kecil kelas dua ini, telah merebut hatiku sejak pertama aku mengajarkan ilmu. Kecepatan menangkap maksud dari permintaan dalam soalku ataupun kemahiran menulis dan membacanya membuatnya memang pantas naik dari kelas satu. Ya, di daerah terpencil seperti ini tak jarang kita temui siswa kelas lima atau enam bahkan SMPpun masih belum bisa membaca. Mereka dinaik kelaskan dengan percuma karena rentang usia yang tak lagi muda, atau memang permintaan orang tua.

Dari semua siswa yang ada, hampir semua bersemangat untuk sekolah. Kecuali dalam beberapa hari, mereka terpaksa pergi. Melayani kebijaksanaan orang tua mereka, untuk membantu petik kopi. Bahkan di hari libur seperti ini, di kala mereka harusnya bermain sering sekali akan muncul pertanyaan. “Pak Guru, kapan kita sekolah pak? Dengan bergantian aku menjawab, “Iya, besok Senin ya..”. Kenapa bergantian? Karena pertanyaan itu akan diulang-ulang oleh bermacam siswa lain dengan kepolosan. Sungguh, mereka butuh perhatian. Mungkin pak gurunya pun begitu, ya kan? Hehe.

Layaknya sebuah dermaga yang pasti membutuhkan kapal bersandar dalam indahnya bergambar. Pun dengan rasa dahaga yang lebih lega saat sang air merasuk melewati dinding mulut dan kerongkongan. Begitu mungkin perumpamaan paling tepat akan perasaan di hati anak-anak. Mereka begitu haus akan pembelajaran, yang mungkin sebenarnya dengan berjalannya waktu mereka lebih hebat dari anak di perkotaan. Jangan dulu bandingkan dengan pelajaran. Mari kita berlomba tentang hakikat bertahan, dalam kerasnya kehidupan.

Siswaku disini, telah biasa naik pohon tinggi. Siswiku disini, tak ragu angkat karung berisi penuh biji kopi. Anak-anak kecil seumuran balita disini telah berebut mengangkat pasir dalam ember di kala misi kerja bhakti renovasi masjid kami terlaksana jadi. Adik angkatku jago menangkap burung, mahir mencari buah-buahan liar, dan masih terus berusaha menunjukkan padaku bahwa dia bisa menangkap ayam hutan dengan jebakan buatan. Hampir semua bisa, tak peduli yang laki atau wanita. Tak perlu tanya usia karna semua sama. Merekalah yang pantas disebut manusia perkasa, tangguh luar biasa. Untuk yang punya anugrah pintar di kelas bisa kita beri penghargaan setinggi-tingginya. Tak usah ditunjukkan dengan piala dalam pemenangan lomba. Karena bagiku, bagi kakak PM II dan PM IV merekalah sang juara. Seminimal-minimalnya telah menjuarai hati kami. Merebut rasa bangga kami, yang tak bisa terbeli.

Untukmu Eni, sang siswi paling cantik teruslah menjadi purnama soleha cerdas beragama.

Untukmu Niluh, siswi yang sering ‘ngambek’ tapi paling semangat ikut les tambahan.

Untukmu Mahdi, lelaki 15 tahun tapi masih kelas IV,  penurut dan selalu minta di kelas.

Untukmu Muksin, yang aktif bergerak merangkul setiap celah persahabatan.

Untukmu Sahni, gadis penari penyuka pantun dan puisi sungguh berjiwa seni tinggi.

Untukmu Sudirman, teruslah menjadi teladan bagi adik-adikmu bagi bangsa dan banggamu.

Untukmu Celsa, Harmi, Suki, Ketut, Ngurah, Ahmad, Opik, Nyoman, Anto, Dewi, Heri, dan Rahmat di kelas II. Belajar yang rajin ya...kalian istimewa. Jikalaupun belum di akui di kota atau jawa. Setidaknya kalian telah berhasil mencuri haru bercampur semangat setiap orang yang melihat.

Dari Pak Guru Tio, Pak Faisal, Pak Habib. Dari kak Diki yang ikhlas setiap tahun kemari. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua