info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Untuk Pekerja Keras, Tuhan Akan Meminjamkan Tangan-Nya

Tidar Rachmadi 12 Desember 2011

Tulisan tersebut saya temukan menggantung di sebuah dinding berwarna terakota suram di kantor UPT Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean.

Lama saya memperhatikan tulisan tersebut. Bentuk dan warnanya tidak menarik, bahkan terbilang sangat sederhana --karena terlalu sederhananya, sehingga hampir luput dari pandangan mata. Namun, dalam seketika, kata-kata itu mampu menyalakan percik semangat untuk mengharamkan berbagai ketidakberdayaan.

Tulisan tersebut sekaligus membawa saya pada apa yang terjadi beberapa saat lalu, sewaktu Ulangan Tengah Semester. Membawa saya kepada sesuatu yang mungkin akan terekam di memori otak saya, selamanya.

Siswa dusunku, Dusun Serambah, menyambut UTS dengan berbagai ragam ekspresi. Ada yang takut, penasaran, semangat '45, sampai yang datar-datar saja karena menganggap ulangan seperti halnya latihan soal yang sering saya adakan 2 minggu sekali. Sungguhpun saya juga mengalami kegamangan lantaran sekolah saya tidak mendapat jatah soal dari gugus. Alhasil, setiap hari saya harus membuat 12 macam soal (untuk 6 kelas, 2 mata pelajaran per-kelas per-hari) dan turun gunung selama 1 jam selepas subuh untuk fotokopi.

Di awal pekan setelah ujian berakhir, sepucuk surat duduk manis di meja kelas saya.

 

"Untuk Pa' Guru Tidar dari Musyarafah

Pa' Guru, makasih sudah bantu Efa tulis ulangan kemarin. Mudah-mudahan Tuhan menyayangi Pa' Tidar seperti kita menyayangi kamu Pa'. Terima kasih juga karena sudah berikan saya obat. Saya tidak akan lupakan Pa' Tidar.

Wassalamualaikum wr wb"

Sulit untuk tidak mbrebes mili setelah membaca surat dari anak kelas 6 tadi. Ucapan terima kasih yang saya tahu pasti begitu dalam maknanya karena ditulis dengan pena ketulusan.

Memang selama ujian seminggu lalu, saya membantu Efa menulis ujiannya. Sembari mengawasi jalannya ujian, Efa mendikte saya kata demi kata dan angka demi angka. Ia sedang tidak bisa menulis lantaran tangannya sedang ditumbuhi 3 bisul dan banyak kudis. Sulit membayangkan betapa sakit yang ia alami.

Efa sebenarnya tidak pernah meminta untuk dituliskan. Saya mengetahui bahwa ia sedang sakit lantaran kerap melihat wajahnya meringis kesakitan saat menulis. Saat saya tanya kenapa, dengan polosnya ia membalik tangannya dan mengatakan, "Sakit sekali, Pak."

Patah hati saya melihat luka itu. Ketika tangannya sakit, ia tidak sedikitpun mengeluh dan tetap dengan sabar mengikuti ujian. Soal ujian berlembar-lembar yang saya tulis setiap harinya rasanya jauh lebih ringan dibanding dengan apa yang dialami Efa. Menulis dengan tanganpenuh luka.

Praktis, setelah mengetahui apa yang terjadi pada Efa, saya membantu ia menulis. Ia pun duduk di meja guru depan kelas. Berhari-hari,dengan sabar ia mendikte saya. Dengan sesabar itu pula saya membantu menulis, tanpa berkomentar atau memberikan mimik apabila ada jawabannya yang salah. Dalam seminggu itu saya belajar untuk hanya mendengarkan dan menulis. Proses pembelajaran kesabaran yang membutuhkan kerja keras.

Efa adalah pahlawan saya minggu itu. Ia mengajarkan arti kerja keras tanpa mengeluh sampai akhirnya saya tahupenyakitnya dan membantunya menulis ujian. Ia membuat saya malu untuk mengeluh berpanjang-panjang dalam hidup ini.

Pekan ujian ini nampaknya bukan hanyaajang tes untuk anak-anak; tetapi juga ujian untuk saya pribadi. Ketahanan, dedikasi, dan kesungguhan saya seperti diuji. Rasa lelah selama seminggu itu pudar manakala nilai mereka cukup memuaskan. Kerja keras terbayarkan dengan pelajaran kesungguhan yang saya dapat dari Efa.

Efa yang hanya tinggal bersama adik dan neneknya ini ialah contoh nyata dari kata-kata dalam dinding terakota kusam tadi bahwa, "Untuk Pekerja Keras, Tuhan Akan Meminjamkan Tangan-Nya"


Cerita Lainnya

Lihat Semua