Ibu Tangguh dari Trans

Susilo Wati 9 Oktober 2014

Hari Minggu ini ada yang berbeda. Aku bangun lebih awal di banding hari libur sebelumnya. Entah mengapa aku ingin sekali pergi ke daerah transmigrasi yang ada di desaku. Meskipun masih satu desa tapi jaraknya lumayan jauh. Mayoritas yang tinggal di sana adalah orang Jawa. Daerah trans terpisah sekitar 3 km dari desaku. Saat aku memasak pagi tadi, terlihat dari jendela dapurku seorang ibu dari trans yang sedang menjajakan sayurnya. Akupun memanggilnya dan membeli kacang panjang yang dijualnya. Dagangan beliau masih utuh karena baru saja tiba di dusunku.

Usai memasak, aku pun pergi ke gereja untuk menemani para malaikat kecilku sekolah Minggu. Usai dari gereja, aku menjenguk salah satu warga yang kabarnya sudah satu minggu sakit. Kebetulan rumah beliau di belakang gereja. Di tengah percakapan kami, aku melihat ibu penjual sayur tadi pagi melintas, sepertinya hendak pulang. Aku langsung bergegas memanggilnya dan menanyakan belau hendak kemana. Ternyata tebakanku benar, beliau hendak pulang. Aku langsung berpamitan kepada tuan rumah dan berlari ke arah penjual sayur tadi. Aku ingin ikut beliau ke daerah trans.

Perjalanan dimulai dengan memasuki hutan yang berada di belakang gereja. Sekitar 15 menit kami berjalan kaki, kamipun keluar dari hutan dan sampai di jalan setapak yang agak besar. Kebetulan saat ini jalan menuju trans dalam perbaikan. Meskipun begitu jalannya masih berupa tanah karena perbaikannya belum selesai. Kubangan lumpur terhampar di sepanjang jalan karena guyuran hujan tadi malam. Tapi hari ini matahari dengan gagah menebarkan sinarnya, panasnya terik matahari pun mengiringi setiap langkah kami. Sepanjang perjalanan juga disuguhi pemandangan tonggak-tonggak pohon sisa pembakaran karena akan dijadikan ladang, kebetulan bulan ini musim bercocok tanam. Panas menghujam kaki yang menapak karena sandal yang aku pakai terkena lumpur, walhasil aku jinjing sepanjang perjalanan. Tak kubayangkan ibu-ibu ini setiap hari menjajakan dagangannya dan berjalan melewati jalan seperti ini. Mereka menghabiskan hampir separuh harinya untuk berjalan demi asap dapur yang terus mengepul. Sekitar 10 km harus mereka tapaki setiap harinya. Bahkan yang tak bisa kubayangkan lagi, anak-anak mereka juga mengalami nasib yang sama demi bisa sekolah. Mereka harus menikmati dinginnya udara pagi karena berangkat ke sekolah sekitar jam 5 pagi, dan sampai sekitar jam 7 di sekolah. Di siang hari mereka harus betah dengan hujaman panas matahari saat pulang sekolah, belum lagi saat musim seperti ini hujan sering kali datang tanpa diundang dan sebagian besar mereka tidak mempunyai payung, walhasil daun pisang pun menjadi alternatifnya.

Saat sampai di persimpangan jalan trans, aku bertemu Bu Khomisatun, ibu-ibu yang secara tidak sengaja berpapasan di jalan seminggu yang lalu saat melintasi dusunku. Beliau hendak berangkat kerja bakti dan tampaknya agak kaget melihat kedatangnku. Mungkin beliau juga bertanya-tanya, angin apa yang membawaku ke daerah terpencil ini. Desa yang belum ada listrik. Tanpa basa-basi aku langsung menyalami beliau dan beliau dengan ramahnya langsung mengajakku mampir ke rumahnya.

Bak saudara jauh yang baru ketemu, di tengah keterbatasannya beliau membuatkan kopi dan menyuguhkan pisang untukku. Usai bercengkeramah beliau mengajakku ikut bekerjabakti di jalur 9. Bu Khomisatun tinggal di jalur 3. Di trans kepala gurung ada sekitar 10 jalur, biasanya setiap jalur menandakan gelombang tahun mereka masuk di desa terpencil ini. Jangan bayangkan jalur satu sama lain berdekatan, jarak yang cukup jauh memisahkan antara jalur satu dengan yang lainnya. Tapi, di tengah perjalanan, aku bertemu dengan ibu-ibu lainnya yang baru selesai bekerjabakti. Walhasil kami tidak meneruskan perjalanan, dan kembali ke jalur 3. Di sana kami membuat rujak bebek. Para ibu yang ada di sana iuran membawa bahan rujak yang ada di rumahnya. Di tengah teriknya udara khatulistiwa aku menemukan rujak ala kampung halamanku. Alhamdulillah banget. Usai berujak bersama, aku mampir ke rumah pak Bambang, salah satu guru yang tinggal di daerah trans. Usai bercengkeramah, beliau mempersilahkanku untuk makan. Para warga trans menyaranku untuk bermalam di daerah tersebut karena aku berpamitan untuk pulang sendiri. Berhubung rumahku belum ku kunci akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Sebenarnya agak takut sih pulang sendiri jika melihat medannya seperti itu. Dan dengan wajah agak meyakinkan aku bilang ke mereka kalau aku bisa pulang sendiri. Dan sepertinya sinyal keraguanku tertangkap oleh pak Bambang dan istrinya. Akhirnya aku pulang di antar Pak Bambang. Terima kasih banyak ya pak.

Hari ini aku menemukan anak-anak dan para ibu yang luar biasa. Para ibu tangguh yang rela berjalan puluhan kilo demi asap dapur yang terus mengepul.  (20 September 2014)


Cerita Lainnya

Lihat Semua