Saya yang Dulu Tidak Mau Jadi Guru
StevaniaRandalia 28 Maret 2015Tidak ada dalam kamus saya yang dulu, bercita-cita menjadi guru. Saya yang dulu hanya mau satu. Jadi penulis. Adalah mimpi terjauh saya bisa jadi penulis naskah film di Pixar Studios. Adalah mimpi terdekat saya bisa berkarya sebanyak-banyaknya di dunia kreatif di tanah air. Hanya itu yang saya idam-idamkan, hanya itu yang saya terus kejar sedari duduk di bangku kuliah.
Saya yang dulu hafalnya lirik-lirik lagu. Bacanya kalau tidak majalah edisi terbaru ya novel fiksi yang seru. Pergi ke bioskop bisa lebih dari dua kali seminggu, sambangi festival musik dan film tanpa kenal waktu. Sungguh saya cinta dunia itu. Saya berjanji, saya mau terus berada di situ.
Saya yang dulu dengan Ayah berdiskusi seru. Betapa bakat, kecintaan, dan pengalaman saya itu bukan untuk didiamkan di satu dunia. Menjelajahlah ke dunia profesi lain, kembangkan apa yang saya punya, dan lihatlah bagaimana saya dibanding yang lain akan jadi lebih bernilai guna. Tapi saya yang dulu kepala batu dan kepalang jatuh cinta.
Yang belum saya tahu, jatuh cinta bisa berkali-kali. Pada zat yang sama ataupun yang berbeda lagi. Membuat saya yang kini tidak sama dengan yang dulu lagi.
Seperti suapan pertama saat makan es krim yang meninggalkan rasa manis di lidah hingga tak sabar untuk melahap suapan berikutnya, itulah yang saya alami kali pertama mencicipi dunia pendidikan dan menjadi guru. Lambat laun saya tahu, kreativitas saya memang berguna juga di dunia ini. Tidak lupa saya mengadu pada Ayah, sungguh benar apa nasihatnya, betapa saya bersyukur dan bahagia.
Saya yang kini menanti pagi untuk memasuki dinding beton sekolah. Melihat anak-anak di berbagai sudut halaman sekolah bermain bola, tepuk-tepuk, atau lompat karet. Menunggu hanya dalam hitungan detik, anak-anak akan muncul berlarian, berteriak “Selamat pagi Enci! (Ibu Guru dalam bahasa Saluan)” lalu dengan antusias menyalami tangan saya sambil bertanya macam-macam.
Kebahagiaan saya yang kini ada saat anak-anak ini bahagia bersama saya. Atas setiap untai pengetahuan baru yang mereka dambakan, atas asa tak terkira dari keberhasilan mereka membabat habis tantangan dengan senjata yang sudah mereka punya. Keresahan saya yang kini terobati saat salah satu anak paling nakal di kelas menyapa “Miss, saya kangen sekali sama Miss!” setelah beberapa hari saya pergi meninggalkan mereka.
Kecapan rasanya bukan terus menerus manis, ada juga asam dan pahit. Setiap pagi hingga siang berpetualang bersama anak-anak di kelas melalui berbagai wahana pengetahuan menyeretmu masuk lebih dalam ke dunia kanak-kanak sekaligus menarikmu dengan paksa untuk jadi jauh lebih dewasa. Tidak ada satu hari pun terlewat tanpa pelajaran baru yang didapat di pikiran. Tidak ada satu hari pun berlalu tanpa kelapangan baru yang dipupuk dalam perasaan.
Saya yang kini bukan tidak lagi mencintai dunia seni dan tulis menulis. Sungguh saya masih yakin, di situ jiwa saya berlabuh. “Janganlah hati ini mendua” mereka bilang, bila mencintai sesama manusia. Namun mencintai lebih dari satu dunia guna mengabdi dan berkarya, saya rasa tidak membuat hati siapa-siapa lantas patah.
Karena saya yang kini mencintai menjadi guru.
(Solan, 28 Maret 2015)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda