info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

1 dari 10 Pemuda

Siti Nurhilmi Nihayati 11 Juni 2015

"Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia." -Soekarno-

Oendule, sebuah kampung yang terletak di wilayah Rote Tengah kabupaten Rote Ndao. Mengendarai motor ke sana serasa diikuti oleh awan-awan ceria yang ada di langit. Menyusuri pepohonan yang seolah melambaikan tangan dan melewati bendungan yang airnya sangat tenang. Awal perjalanan yang menyenangkan sampai tiba di jalan sirtu (pasir putih) terjal mendaki. Setelah sampai di atas terlihatlah kampung-kampung lain seperti Moklain serta Olalain. Bukan tentang keindahan alam menuju kampung Oendule yang akan diceritakan, tetapi tersebutlah nama seorang pemuda yang dengan rela mempunyai sumbangsih terhadap pendidikan di desa tersebut. Yadmy Lian, pemuda yang lahir di Oendule 28 tahun silam ini adalah penggagas sekolah rintisan di desa Oendule. Dia menamatkan sarjana di Jurusan PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya tahun 2011. Pernah ikut mendaftar Indonesia Mengajar tetapi tidak dilanjutkan, karena alasan dia harus kembali ke Rote. Bergelut dalam bidang pendidikan membuatnya mempunyai inisiatif untuk membangun sekolah rintisan tersebut walaupun banyak ragu yang dihadapi demi berdirinya sekolah ini.

Kampung Oendule diapit oleh dua sekolah resmi dari pemerintah yakni SD Negeri Lela dan SD Negeri Nitanggoen. Walaupun diapit oleh dua sekolah, jarak yang ditempuh oleh anak-anak untuk berangkat lumayan jauh. Mereka harus berjalan kaki selama satu jam demi berangkat sekolah dan mendapatkan pengajaran. Ada jalan pintas yang bisa mereka lewati, tapi menanjak. Tak hanya itu, hutan dan sungai pun harus mereka tempuh. Sehingga banyak anak Oendule yang memilih untuk berhenti sekolah karena jarak jauh yang mereka tempuh dengan berjalan kaki. Belum lagi jika hari hujan, sungai yang mereka lewati cukup dalam. Dalam bahasa Rote “oe” berarti air, sedangkan “ndule” berarti pusat jadi Oendule berarti pusat air atau kampung yang dikelilingi oleh air. Pantas saja jika anak-anak menjadi kesusahan ke sekolah jika musim hujan tiba.

Keinginan untuk membuat anak-anak bisa sekolah lagi tanpa ada yang harus putus sekolah di tengah jalan dan tanpa harus berjalan jauh itulah yang membuatnya nekat. Dia merasa dengan mendirikan sekolah rintisan ini adalah satu-satunya jalan demi anak-anak Oendule untuk mendapatkan ilmu. Kak Yadmy kemudian menyampaikan maksud pendirian sekolah rintisan kepada KCD (Kepala Cabang Dinas). Tanggapan baik dari pihak KCD ia terima, KCD juga berpikir bahwa di Oendule butuh sekolah. Terciptalah nama SD Kecil Oendule yang awalnya hanya bersiswakan 16 orang yang tinggal di sekitar Oendule, sekarang sudah ada 30 siswa dari kelas 1 sampai dengan kelass 3. Sekolah ini dirintis pada tahun 2012. Awalnya sekolah ini berjalan dengan dana Rp 300.000,- sumbangan dari beberapa orang untuk operasional sekolah yang akhirnya dibelikan kayu triplex dan cat hitam.

Banyak kendala yang Kak Yadmy hadapi demi terbangunnya SD Kecil Oendule ini, seperti tempat untuk belajar anak-anak. Pada akhirnya, sekolah rintisan ini berdiri di atas bangunan bekas pasar yang sudah tidak digunakan. Beratapkan seng dan berdinding bebak (terbuat dari pelepah lontar), masyarakat setempat bergotong-royong demi terbangunnya sekolah ini yang kelak menjadi tempat untuk anak-anak mereka menuntut ilmu. Sampai saat ini sekolah ini sedang dalam proses pengusulan untuk mendapatkan ijin operasional sebagai sekolah resmi. Semoga hal tersebut segera ditanggapi oleh pemerintah daerah setempat, sehingga pendidikan anak-anak tidak akan terhenti hanya karena masalah jarak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua