Uluran Tangan Penuh Ketulusan

Siti Bagja Muawanah 14 Juli 2016

Sore itu Bagja berjalan ke sisi hulu desa penempatannya untuk mencari sinyal. Sudah dua minggu hanphonenya tidak dapat sinyal sekalipun disimpan di titik-titik yang biasanya ada sinyal, seperti di atas jendela dan tiang kamar mandi yang berada di belakang rumah. Ia sudah bertanya kepada warga desa, apakah mereka mengalami hal yang sama. Mereka yang menggunakan jenis telepon genggam yang berbeda ternyata mendapat sinyal walau tak selancar biasanya.

Bagja tiba di halaman rumah Demiana. Rencananya wanita yang bertugas di Tanjung Matol ini akan meminjam handphone milik temannya. Bagja bertanya pada adik Demiana yang kebetulan sedang berada di teras rumah.

“Sino1 Bu Demiana?”

“Olong2 dia Bu.”

Ternyata Demiana tidur. Ia menjadi bingung. Ia ingin menghubungi keluarga, teman, dan beberapa stakeholder. Orang tuanya pasti cemas tidak mendapat kabar selama itu. Teman-teman sepenempatan pasti menghubunginya karena mereka memiliki rencana untuk melakukan kegiatan bersama dalam menyambut libur hari raya idul fitri. 

Ketika Bagja sedang berdiri mematung, lewatlah Ferensia dan Devi. Mereka berdua merupakan teman Demiana. Mereka bertanya pada Bagja kenapa ia mematung di pinggir jalan.

Bagja menjelaskan apa yang sedang dipikirkannya, mulai dari handpone yang sudah dua minggu tidak dapat sinyal sampai beberapa orang yang harus dia hubungi. Tanpa diduga Ferensia meminjamkan handphonenya. Bagja terharu dan bahagia. Mereka bertiga naik ke rumah Demiana untuk menuju sudut teras yang menjadi area sinya.

Ketika Bagja menelepon kedua pemudi itu menungguinya, bahkan Demiana yang baru bangun karena mendengar suara berisik menawarkan handphonenya untuk digunakan. Sungguh di luar dugaan. Seharusnya ia marah karena tidurnya diganggu, tapi ia malah membantu.

Selesai menelepon Bagja pamit kepad mama Demiana. Saat sedang berdiri mengobrol Pak Bakasah lewat. Laki-laki yang memasuki usia senja ini adalah bapak angkat Bagja, selain beberapa bappak angkat yang lain. Pak Bakasah berkata, “Kano Kau makow da baloi, angalap da jalay?3”

Bagja mengangguk. Ia berjalan menuju rumah yang terletak di dekat rumah Demiana. Kedua rumah ini memiliki tipe yang berbeda walaupun keduanya sama-sama terbuat dari kayu ulin dan maranti. Hal yang menjadi kesamaan hanya tangga untuk naik ke rumah yang rata-rata tinggi.

Rumah di desa penempatan Bagja memang sengaja dibangun cukup tinggi. Hal ini karena desa ini berada tepat di pinggir sungai yang sering tergenang banjir saat curah hujan di daerah hulu dan negara Malaysia cukup tinggi. Sungai Sembakung Lumbis yang menjadi urat nadi transportasi dan seumber kehidupan warga ini memang mengalir dari Malaysia menuju Indonesia.

Sesampainya di dapur, Bagja mengorol dengan mama angkatnya. Ia juga menyampaikan bahwa Pak Bakasah memintanya untuk mengambil jagung. Kakak angkatnyalangsung menuju ladang yang teretak di belakang rumah. Bagja seringkali ikut panen tanpa pernah ikut mananam. Ada rasa tak enak hati menerima segala kebaikan yang diberikan semua orang di desa ini, tapi mereka melakukannya dengan senang hati. Walaupun Bagja mengelurkan uang untuk membeli jarang sekali mereka terima.

Rata-rata masyarakat akan memberikan semua hal yang dibutuhkan Bagja dengan sukarela. Mulai dari sayur-mayur, lauk-pauk, buah-buahan, beras, sampai kayu bakar semuanya gratis! Ketulusan semacam ini tak dapat ditemukan Bagja di kota. Bagja sangat bersyukur mendapat kesempatan untuk belajar akan ilmu kehidupan yang bernama ketulusan.

 

Catatan

1.      Sino           : ada

2.      Olong        : tidur

3.      Kano kau makow da baloi, angalap da jalay: tidakkah kau pergi ke rumah, mengambil jagung.


Cerita Lainnya

Lihat Semua