Matilda Romroma

Siti Soraya Cassandra 19 Desember 2012

“Nama saya Matilda Romroma. Saya biasa dipanggil Ida. Saya duduk di kelas V di SD Kristen Lumasebu di Kecamatan Kormomolin. Saya senang sekali bisa ada di Saumlaki hari ini untuk mengikuti kegiatan Hari Kesehatan Nasional 2012. Hari ini saya akan berpidato tentang perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah ..... “

Begitulah awal dari pidato yang disampaikan Ida saat mengikuti lomba pidato Hari Kesehatan Nasional, satu perlombaan dari berbagai rangkaian acara yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Maluku Tenggara Barat. But the story here is not about the speech. Although I have to say it was a splendid one. Nor is the story so much about the event, though I must say that they did put on a decent show, which deserves a respectable round of applause.

Cerita ini adalah tentang sosok kecil mungil. Matilda. Atau biasa dipanggil Ida. Badannya berukuran XXXS. Banyak yang tidak mengira dia kelas V. Mungkin lebih cocok kelas 3 atau bahkan kelas 2. Walau dari luar tampak seperti kekurangan gizi, anak ini jauh lebih berisi dari puluhan anak kelas V bahkan kelas VI lainnya jika ditinjau dari segi nalar dan keterampilannya dalam berbagai kategori kecerdasan. Ia pemberani, ia penuh percaya diri, dan ia cepat sekali belajar.

Mungkin hal yang paling mengagetkan, bahkan bagi saya sekalipun, adalah tentang apa yang terjadi ketika ia mengikuti lomba pidato Hari Kesehatan Nasional. Seharusnya saya berhenti kaget disini karena memang segala sesuatu yang terjadi tidak pernah kurang dari luar biasa. Namun tetap saja, saya tetap dibuatnya ternganga.

 

The beginning.

Perayaan Hari Kesehatan Nasional. Kami berdua pergi dari Desa Lumasebu menuju Saumlaki pada hari Kamis tanggal 8 November. Techincal Meeting di adakan pukul 20.00 pada hari Jumat dan perlombaan di mulai keesokan harinya dengan cerdas cermat. Lomba pidato yang diikuti Ida dijadwalkan pada hari Senin tanggal 12 November. Tujuh. Itulah nomor urut yang Ida dapat dari 11 peserta Lomba Pidato Hari Kesehatan Nasional Tingkat SD. The number, well, it’s a malcom-in-the-middle one. They tend to say that being placed in such order is not as lucky, seeing how the jury has heard so many speeches already and most probably already exhausted by this number. The thought did occur in my mind, yes, but I had no doubt that Ida will change that. And changing that, she did.

 

Sabtu, dua hari sebelum lomba pidato.

Hari dimana Ida jatuh sakit. Sakit seperti apa? Demam tinggi dan pusing. Ini adalah penyakit anak-anak desa pada umumnya. Saat ini terjadi, semua orang biasa menyebutnya malaria. Maybe it is, maybe it isn’t, but they all call it that. Demam dan pusing adalah malaria. Ida terjatuh lumpuh, muka dan badan penuh keringat, seluruh badan terasa panas sekali dan ia hanya berkata, “Ibu, bet pusing.” When I looked at her I automatically knew. Dia terserang penyakit desa di kota.

 

Keesokan harinya.

Ida sembuh total. Ajaib tapi nyata. Sama sekali tidak seperti anak yang baru sakit. This is another characteristic of the illness that kids here get. Satu hari mereka sakit parah, lalu mereka langsung sembuh. Tunggu beberapa hari, mereka sakit lagi. Lalu sembuh lagi. Begitu terus.

 

Ida siap berlomba!

Dan datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Kami berdua sudah ada di Saumlaki sejak hari Kamis hanya untuk menunggu hari ini, hari Senin. Pagi hari kami bangun dan semua tampak indah. Ida tampak segar bugar. Saya pun bangun dengan perasaan girang, tidak sabar melihat Ida tampil. Kami mandi dan mulai bersiap-siap untuk pergi ke Gedung DinKes. Setiba disana, anggota puskesmas sudah menunggu. Panitia memberi bubur kacang hijau kepada semua orang dan kami menyantapnya sambil menunggu lomba dimulai.

 

Tidak beres!

Di saat kami menyantap inilah saya melihat ada yang salah dengan Ida. Kembali seperti hari Sabtu, Ida tampak pucat. Ia melakukan gerak gerik yang sama yaitu mendumel dan memegang dahinya berulang-ulang kali sambil memasang wajah kesal. And then I thought to myself, “Oh no, not again.” Ida demam lagi. Kali ini, hanya satu jam sebelum gilirannya.

 

Beberapa menit berlalu.

Semua peserta pidato dipanggil untuk duduk di depan, terpisah dari rombongannya. Ida duduk bersandar lemas di kursinya. Bahunya turun dan mukanya sering menunduk. Dia tampak sangat lemas, benar-benar seperti akan pingsan. Karena Ida mendapat urutan ke-7, Ida harus kuat menahan sakitnya sampai tiba waktunya maju ke depan.

  

Tantangan tambahan, yet another.   

Kebetulan (atau mungkin bukan kebetulan) peserta cilik dengan nomor urut ke-6 membaca pidatonya dengan sangat luar biasa sampai membuat semua penonton lupa dengan lima peserta yang telah maju sebelumnya. This girl, which ended up winning first place, had unbelievable public speaking skills. Saya hanya berharap performa dia memberi motivasi kepada Ida, dan tidak sebaliknya.

 

“Sekarang kami panggil nomor urut 7 dari SD Kristen Lumasebu, Kecamatan Kormomolin.”

Musik mulai bermain dan Ida berjalan menuju tangga, tempatnya berpidato (there wasn’t a podium short enough for the kids). Fever? What fever? Ida got up and she was magnificent. Suaranya lantang, gerak tubuhnya penuh percaya diri, intonasinya mengundang perhatian dan ekspresinya memukau. Demam? Demam apa? Sama sekali tidak seperti anak yang sedang sakit. Dengan logatnya yang unik, Ida berhasil membawa penonton ke dalam dunianya dan penonton pun terjun secara sukarela untuk menikmati petualangan audiovisual yang mereka santap. Senyuman dan tawa mewarnai suasana kantor DinKes. She did it, she did it real good.

 

The fall.

She said her thank-yous and bowed to the judges. She walked back towards me and then she nearly fainted. Ternyata Ida mengeluarkan semua energi yang tersisa di dalam dirinya ketika ia tampil. Kita langsung mengantarnya ke rumah salah satu anggota puskesmas dan Ida beristirahat disana satu hari penuh. Even warriors need rest.

 

"Lighting up"

Juara II. A reward well earned. When all of the village got the news, the village got more excited than even Ida herself. I watched from a far and I saw it all. Like a light, the soft and fluffy kind, Ida shined bright. And everyone else, they all started lighting up, sharing Ida’s glow.


Cerita Lainnya

Lihat Semua