info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Cuma 1

Silvia Ramadhani 26 Februari 2012

 

Jika harus mencari satu tema besar untuk mengkonklusikan hari ini rasanya akau akan berkata: tak sanggup. Sejak pagi hingga malam ini, telah sekian banyak hal terjadi dengan membawa warna yang sangat berbeda. Sangat berbeda...

Pagi ini, aku memulai hari seperti biasa. Bangun, “mengingat Tuhan”, duduk sedikit lama untuk menikmati pagi, dan memikirkan berbagai hal yang terjadi semalam. Sejenak, aku hampir kehilangan detik-detik terakhir saat aku memejamkan mata, sampai setengah gelas air putih yang tergeletak di atas piring sisa makan malam menyadarkanku tentang hal terakhir yang aku lakukan: selesai makan, aku membaca buku, dan sejenak, ya, sejenak saja meletakkan kepala hingga akhirnya terlelap.

*

Setelah mempersiapkan berbagai hal, aku pun pergi ke depan untuk menunggu Bapak Frans—guru agama kristen di sekolah, yang juga “menjabat” sebagai to’o atau pamanku—datang. Saat hampir mengakhiri langkahku di ruang tamu, tiba-tiba bapak Buan, bapak angkatku datang. Aku pun menyiapkan “sarapan” sederhana untuknya, sampai akhirnya aku memilih untuk pergi ke sekolah bersama Bapak.

**

Di sekolah, aku masih terus memutar otak. Hari ini, anak kelas 5 akan belajar tentang Membuat Laporan Kunjungan. Kalian tahu...di sela kemelut pikiranku tentang pemilihan tempat yang akan kami kunjungi, anganku sejenak menerawang, betapa mereka “tidak seberuntung” anak-anak Jakarta (yang ada di dalam bacaan) yang bisa pergi ke Gedung Merdeka, dan mengamati berbagai hal yang ada di sana. Tapi teman...Alam tak pernah “tak adil” membagi “cinta” nya. Aku pun mencoba berbagai option yang paling mungkin aku pilih untuk mengganti Gedung Merdeka   dan membuat “Gedung Merdeka” yang lain untuk mereka. Beberapa ide itu adalah:

1.       Pangkalan angkatan laut di Batutua.

Aku sangat ingin mengajak anak-anak pergi ke tempat ini, apalagi mengingat, banyaknya anak-anakku yang bercita-cita menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tempat ini merupakan saah satu pertahanan laut yang didirikan di pesisir Pulau Rote. Isinya? Entahlah, aku belum pernah kesana. Yang jelas, aku yakin, akan banyak hal yang di dapat oleh anak-anak setelah selesai kunjungan.

Memperjuangan hal yang hampir tak mungkin ini, aku tak putus asa. Aku pun pergi bertanya ke beberapa guru tentang kepastian jarak antara sekolah kami, SD Inpres Batulai dengan pangkalan militer tersebut (anak-anak sih bilangnya dekat namun aku sangsi dengan mereka—karena ketika akan mendatangi tempat baru bersama-sama, sejauh apapun tempat yang akan kami tuju, anak-anak akan selalu bilang... dekattttt  :D Elegi anak2 Q terkasih).  

Setelah beberapa kali bertanya pada beberapa orang yang berbeda—demi mendapatkan pembulatan massal akan jauhnya jarak antara sekolah kami dengan pangkalan militer yang bersangkutanm :D—aku pun mendapat kepastian yang sedikit mengejutkan. Dan ternyata, jarak antara SD Inpres Batulai dengan sekolah terbut adalah...Tet teret rereeeeettt,...8 km. Jarak yang hampir tak mungkin kami tempuh di hari-hari aktif sekolah (Hari Minggu ku bukan lagi milik mereka, setiap Sabtu aku haru turun ke Kota Kabupaten untuk mempersiapkan Pelatihan 1000 Guru Rote Ndao).

Akhirnya dengan berbagai pertimbangan seperti, letaknya yang begitu jauh, tidak tersedianya alat transportai, dan tidak adanya dana, akhirnya aku memutuskan untuk mengeliminasi option pertama.

2.       Pabrik Sopi (Minuman Keras Khas Nusa Lontar)

Mengunjungi pabrik sopi merupakan hal yang sangat menarik (bagiku) dan aku yakin, akan akan menjadi hal yang menarik pula bagi mereka. Selain “keistimewaan” tersebut, pabrik pembuatan sopi yang terletak di samping mata air ini (tempat yang cukup tersembunyi di salah satu lembah), juga mudah dijangkau. Sebelum rencana kunjungan ini, sekitar 4  bulan yang lalu, aku pernah pergi ke pabrik yang sama—bersama alah satu Bapak Guru, yakni Bapak Nathan. Selain mengajarkan tentang materi Bahasa Indonesia, aku juga ingin (rencananya) menyampaikan sedikit pesan moral sehubungan dengan “wine” khas Rote yang satu ini. Namun, sebelum selesai mencari plus minus tempat “penelitian” kami yang satu ini, aku menemukan satu lagi ide,...

3.       Pergi ke mal!!! Selain dekat, mengunjungi tempat satu ini juga tidak membutuhkan biaya yang besar. Belum lagi, kami hanya perlu berjalan kaki sekitar 10 menit untuk mencapai tempat tersebut. Aku pun meng-cek “kelengkapan” tempat satu ini. Dan...ternyata Mall kami “tidak kalah “ dengan gedung merdeka. Setelah mengulas kembali tentang penulisan laporan dan memastikan seluruh anak telah siap “bertempur”, kami pun berangkat. Mallll...Kami datang! (Sekedar informasi, dengan luas daerah yang tak terlalu besar—dengan label sebagai kabupaten baru hasil pemekaran, Rote nampaknya menjadi pulau dengan jumlah mall terbanyak :D Yang tidak percaya, boleh buktikan...)

 

Kami pun pergi kesana. Setelah “kembali” meminta izin pada si pemilik, aku dan anak-anak, yang juga ditemani oleh si pemilik mal datang ke tempat tujuan. Disana anak-anak melihat, mengamati, dan meneliti—bahkan setiap jengkal yang ada. Meski mengisi kolom alat transportasi (yang ada di laporan kunjungan) dengan kata berjalan kaki, mereka tetap bangga dengan proses penelitiannyaJ

 

 Hmmm... Menyenangkan sekali, melihat mereka berani mengamati, hingga mewawancarai si pemilik mall. Melihat mereka banyak bertanya dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Indonesia yang sebenarnya :D Melihat mereka terus tersenyum  bahkan kadang tertawa, tertawa bahagia. Tawa yang seakan berkata...Aku tak percaya aku melakukannya. Mewawancarai orang yang aku kenal dengan Bahasa Indonesia, dan menjadi profesional muda yang sedang mengadakan penelitian besar yang angat berharga* Suara ini muncul jelas dari wajah puas mereka.

 

Sepulang dari tempat peneliatan, kami beristirahat sejenak. Anak-anak mulai melepaskan “gerah”. Setelahnya, mereka berdiskusi dengan kelompok masing-masing dan membericarakan rencana penyelesaian laporan yang selanjutnya. Tak berapa lama, tiba waktu untuk latihan upacara bendera dan ibadat Sabtu bersama. Setelahnya,... waktu pulang pun tiba. Aku, dan mereka...juga beberapa orang yang yang sempat kami temui di perjalanan kunjungan...Tersenyum dalam hati dengan rasa bangga...

“Belajar tak perlu mahal. Belajar hanya butuh kemauan...”

*14.13

Bapak datang. Hari ini, giliran beliau yang memberikan pelajaran tambahan untuk persiapan ujian anak kelas 6. Aku pun menyiapkan makan siang—aku sengaja menunggunya untuk makan bersama. Maklum saja, ketika bapak dan mama ada di Ba’a, tugas menyiapkan makan siang dan makan-makan yang lain akan berpindah ke pundakku (biasanya bapak akan makan siang di rumah sini, dan kembali ke rumah di kota—tempat mama dan adik-adik angkatku tinggal).

Setelah makan bersama, aku pun berpamitan pada bapak untuk mandi. Hari ini aku mandi lebih awal :D karena harus segera pergi ke Ba’a, ada jani dengan dr.Fauzan sebelum akhirnya rapat dengan anak-anak. Baru saja aku keluar dari kamar mandi, suara tangis tiba-tiba pecah. Seorang tetangga mendatangiku dan berkata, “Ibu...Chorry pasti su mati tu (Pasti Chory sudah meninggal),”kata Om Yap—tetangga sebelah rumahku menghilnagkan sejenak ketergesaanku.

Innanillahiwainailaihirojiuun...

**

Chorry...Semalam baru saja aku dari rumahnya, mengantar susu coklat. Chorry menderita sakit turunan yang sampai ia tiada (ibu, kakak, dan adiknya juga telah meninggal dengan ciri-ciri yang sama) belum sempat diketahui nama penyakit apalagi penyebabnya. Chorry meninggal setelah sekitar sebulan mengalami berat badan yang terus-menerus menurun.

Sekitar 2,5 bulan yang lalu Chorry pergi ke Pekan Baru. Ia berhasil bekerja disana sebagai penjaga toko kelontong melalui bantuan sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja. Namun, sejak dua minggu lalu, Chorry “dikembalikan”. Penyakit keturunan yang ia derita menjadi alasannya. Setelah rumah sakit Kupang “menyerah”, orang tuanya membawanya pulang ke Rote. Sekitar seminggu di rumah, kami terus “memberondong” ayah Chorry untuk membawa anak ini ke RSUD Ba’a. Namun, kepercayaan bahwa penyakit yang diderita muncul akibat dosa keturunan, pihak keluarga pun malas memperjuangkannya.

Sampai akhirnya, datang ibu bidan yang serta merta memaksa ayah Chorry membawa anaknya ke RSUD—ini pukulan pertama untukku (aku sempat sedih sekali, karena belum sempat membuatkannya kacang hijau—Chorry sudah sebulan tidak mau makan, bahkan ia lupa makan. Makanya, aku mencoba mencari alternatif makanan yang bisa membangkitkan seleranya. Dan aku menemukan kacang hijau—sesuai dengan kemampuanku, mungkin satu-satunya kemampuanku mengolah makanan nikmat nan praktis dan bergizi, aku pun memilih kacang kolak hijau). Aku pun segera menjadwalkan kepergianku di Jumat ini untuk menjenguknya di rumah sakit dengan serantang kacang hijau.

*

Hari Jumat belum juga datang, namun kudengar Chorry sudah kembali ke rumah. Aku pun segera mengunjunginya dan menepati janji pada diri sendiri tentang kacang hijau buatan tanganku sendiri. Selidik punya sedlidik, ternyata pihak RSUD tidak memulangkannya. “Pergi” nya ia dari tempat itu, justru karena si ayah sudah “menyerah”. Aku pun berembug dengan beberapa tetangga (yang pernah mencoba menyelamatkan ibu dan adiknya). Namun sayang, sebagian besar dari para tetanggaku sudah angkat tangan. Alasannya? Satu. Penyakit keluarga mereka masih belum diketahui (pihak rumah sakit tidak pernah menjelaskan dengan pasti. Mereka hanya menghimbau anak-anak, ibu hamil, dan orang yang sedang memiliki luka terbuka dilarang mendekati pasien). Dua. Si ayah, tidak pernah berusaha untuk menyembuhkan anak-anak, bahkan istrinya dahulu. Padahal, jika menyangkut masalah dana, tu’u (kumpul keluarga untuk mengumpulkan uang) masih bisa dilakukan. Meski demikian, kami masih terus berusaha mencari jalan keluar dan mengurus jamkesmas untuk biaya pengobatannya.

*

Jumat malam, sepulang dari kota kabupaten untuk rapat dengan Kepala Dinas dan shalat jumat, aku menyempatkan diri untuk kembali menjenguk Chorry dengan menenteng susu cokelat (aku masih optimis, nyawanya bisa diselamatkan setelah proses mempengaruhi ayahnya berhasil). Dalam keadaan seperti ini, selain menunggu keberangkatannya (yang ternyata hanaya menjadi harapan), memberikan nutrisi yang terbaik adalah satu-satunya cara untuk membuatnya bertahan lebih lama (versi dr. Fauzan, dan Gracy juga). Bayangkan saja, “aksi” malas makannya telah membuat tubuh Chorry hanya terdiri dari tulang belulang.

Malam itu aku melihat nafasnya sudah sangat berat. Beberapa kali aku, hatiku teriris menangkap adegan keberhasilannya meneguk air gula setelah mengoptimalkan seluruh daya dan upaya yang ia punya. Ringkih, dan sangat lemah.

**

Sabtu ini ia menutup mata. Dan, jujur, aku merasa bersalah. Aku merasa masih belum berusaha dengan maksimal untuk kesembuhannya. Aku kadang berfikir, tentang menjadi orang dengan banyak keahlian mungkin menyenangkan. Bisa melakukan banyak hal untuk orang lain dan memperlama adegan-adegan bahagia di banyak keluarga. ‘.’ 

Aku tahu, harapanku adalah sesuatu yang tak mungkin. Menjadi yang sempurna, dan membuat semua, semua orang bahagia—karena aku bisa melakukan semuanya. Terlintas satu hal yang kemudian mengiang-ngiang memungkas kenikmatan menelaah hidup di akhir pekan ini.

 “Saya hanyalah satu, tetapi saya satu. Saya tidak dapat melakukan semuanya,tetapi saya masih dapat melakukan sesuatu. Dan karena saya tidak dapat melakukan semuanya, Saya tidak akan menolak sesuatu yang saya dapat lakukan” Hellen Keller

Aku tidak bisa melakukan semuanya, jadi aku tidak akan menolak untuk melakukan apa yang aku bisa. Aku, kamu, dan mereka cuma ada satu. Lalu? Mari lakukan sesuatu, karena untuk itu “hanya kita yang tahu” bahwa kita mampu. J Selamat berbagi sesuatu...


Cerita Lainnya

Lihat Semua