Sang Inspirator #1: Lintang dari Oelangga

Senza Arsendy 27 September 2014

Laskar Pelangi adalah salah satu novel favorit saya. Berkali-kali saya baca, berkali-kali saya terinspirasi. Tidak saja dengan Bu Muslimah—guru yang sangat bersahaja dan  berdedikasi, namun juga pada muridnya. Lintang adalah salah satu tokoh murid yang paling menginspirasi. Tidak peduli banyaknya keterbatasan yang dimilikinya, Lintang tetap berjuang untuk mendapatkan pendidikan. Beratnya beban hidup—yang harusnya tidak dia tanggung sebagai anak, tidak menghalanginya untuk berprestasi di sekolah. Diceritakan di novel, walaupun setiap hari harus bekerja membantu orang tua sekaligus menjaga adik-adiknya dan berjalan jauh menuju sekolah, Lintang tetap selalu menjadi anak paling pintar di kelas. Sungguh, membaca novel itu membuat saya benar-benar ingin bertemu dengan setiap tokoh yang Andrea Hirata ceritakan, termasuk Lintang.

Di Rote Ndao, jauh dari Belitong—sumber cerita Laskar Pelangi berasal, tepatnya di SD Inpres Bandu, saya menemukan Lintang yang lain. Saya tidak menyangka bahwa apa yang selama ini hanya dapat saya baca dan tonton, kini bisa saya lihat setiap waktu, setiap hari. Ya, Lintang lain itu ada di kelas saya: kelas IV SD Inpres Bandu.

Lintang lain itu bernama Polce. Cerita Polce memang tidak sama persis dengan Lintang. Polce bukan anak paling cerdas—jika diukur dari kemampuan akademik di kelas. Mungkin Polce masih nomor dua di bawah Tika—yang selama ini selalu jadi juara. Namun mendengar kisah hidup Polce di luar sekolah, mengingatkan saya pada tokoh Lintang di novel favorit saya. 

Polce tinggal di Oelangga, dusun paling jauh dari sekolah. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, maka kita bisa sampai di sana kurang lebih satu jam. Naik motor, mungkin bisa jadi lebih cepat. Atau bahkan lebih lama, tergantung kemahiran mengendarai motor—karena jalannya yang rusak parah. Setiap hari, Polce bersama murid asal Oelangga lainnya berjalan kaki menuju sekolah. Mereka berjalan menerobos hutan-hutan untuk memotong jalan agar sampai ke sekolah lebih cepat. Namun, itu tidak juga membuat mereka sampai lebih cepat datang ke sekolah. Beberapa kali, rombongan murid Oelangga, termasuk Polce telat datang. Membayangkan jauhnya rumah mereka, kadang membuat saya merasa iba jika harus memberikan konsekuensi untuk murid yang datang telat.

Seperti beberapa murid Oelangga lainnya, Polce tidak tinggal bersama orang tuanya. Di rumah yang masih terbuat dari batang pohon Lontar, Polce tinggal hanya dengan Ba’inya, seorang kakek yang berusia 75 tahun. Ibunya sudah pergi meninggalkan Polce sejak kecil, sementara ayahnya sedang merantau ke Kalimantan menjadi petani sawit. Polce tak ingat kapan terakhir ayahnya kembali, yang Polce tahu hanya ayahnya ada di Kalimantan.

Senin kemarin ketika saya sedang mengadakan bimbingan belajar tambahan di Oelangga, saya sempat mampir ke rumah Polce. Saat itu saya mengikuti Polce yang pergi ke rumah untuk mengambil buku. Sesekali Polce membalikan badan seolah ingin memastikan apakah saya masih mengikutinya atau tidak. Sampai di depan rumahnya, ada Ba’i Polce yang baru saja pulang mencari kayu. “Sore, Ba’i!” Sapa saya sambil mendekat. 

Ba’i yang saat itu tidak mengenakan baju dan hanya memakai sarung tidak menjawab sapaan saya. Bisa jadi karena dia tidak dengar, atau memang indra pendengarannya sudah tidak bekerja dengan baik. Namun demikian, tampaknya ketika saya masuk ke halaman rumah Ba’i melihat saya. Sambil terbatuk-batuk, Ba’i mendekati saya. 

“Sore Ba’i, be Pak Senja. Guru Polce di sekolah.” Saya mencoba menyapa kembali dengan suara yang lebih jelas.

“Iya, iya! Be sedang sesak nafas. Tahun lalu masih sempat pi iris tuak. Sekarang son bisa lai.” Jawab Ba’i dengan suara yang kurang jelas karena menahan batuk. 

Belum lama berbincang, saya sengaja menyudahi pembicaraan. Saya tidak tega melihat Ba’i yang terlihat sangat kesulitan saat berbicara. Oleh karena Polce tak kunjung keluar rumah, saya menyusul ke dalam. Saya sempat lihat kondisi dalam rumah Polce. Gelap—karena memang listrik belum masuk ke dusun Oelangga, lantainya masih tanah, lalu ada dua ranjang-tanpa-kasur yang di atasnya hanya ditutup kayu panjang sebagai alas tidur dan beberapa bantal. Terlihat juga baju-baju Polce yang menggantung bebas di dinding. Selebihnya saya tidak melihat karena tetiba Polce mengajak saya keluar. 

Selama ini murid-murid di kelas memang mengatakan bahwa Polce anak yang sangat mandiri. Mulai dari angkut air, masak untuk makan setiap hari, mencuci, dan pekerjaan rumah tangga lainnya Polce kerjakan sendiri. Awalnya saya tidak sepenuhnya percaya, namun melihat sendiri kondisi Ba’i dan rumahnya membuat saya yakin akan cerita murid lain tentang Polce. Bahkan barangkali kondisinya lebih berat dari apa yang saya bayangkan di awal karena ternyata Polce juga harus menjaga Ba’inya yang sudah sakit-sakitan. 

Seperti halnya Lintang, terlepas dari banyaknya tanggung jawab tambahan yang harus dilakukannya, Polce tetap menjadi bintang di sekolah. Jangan ditanya darimana Polce belajar karena saya juga sulit menemukan jawabannya. Tentu yang jelas bukan dari Ba’inya—yang baca tulis saja belum tentu bisa. Mungkin memang betul ada anak yang terlahir cerdas alami, Polce salah satunya. Polce tidak saja jago di ilmu pasti seperti matematika dan IPA, di pelajaran lain seperti menulis cerita, membuat pantun, dan menggambar juga Polce sangat terampil. Murid di kelas sepakat mengatakan bahwa Polce adalah penggambar paling handal di kelas. 

Jika saya beri tugas, maka sudah dapat ditebak bahwa Polce akan menjadi murid pertama yang menyelesaikannya. Begitu juga saat saya ajukan pertanyaan, tentu dapat ditebak Polce adalah salah satu murid yang akan mengacungkan tangan untuk menjawab. Beberapa hari lalu Polce juga tidak ragu untuk mengkritik saya. “Pak pung suara terlalu kiri itu!” Teriak Polce saat saya sedang mengajarkan sebuah lagu. Beberapa anak lainnya ikut berteriak. Lagi-lagi mereka bilang suara saya ketika menyanyi terlalu kiri.

“Terlalu kiri? Apa itu? Pak Senja son paham itu.” Saya meminta Polce untuk menjelaskan. “Son pas di nada!” Jawab Polce tanpa ragu dalam sekali nafas. Anak-anak lain tertawa sambil mengangguk tanda bahwa mereka setuju dengan Polce. Saya menyesal meminta Polce untuk menjelaskan. Benar memang, kadang lebih baik Anda tidak tahu dibandingkan tahu lalu menyakiti. Terlalu kiri masih jauh lebih baik didengar dibandingkan dengan tidak pas di nada #pembelajaranmoral4

Walaupun dalam aktivitas kelas Polce cukup aktif, ketika istirahat Polce lebih sering di dalam kelas. Biasanya dia mengambil buku di meja saya lalu membaca-bacanya. Jika ada gambar yang membuatnya tertarik, dia akan membawa buku itu ke mejanya lalu menggambar menirukan gambar di buku. Beberapa kali saya juga lihat Polce merapihkan buku-buku yang menumpuk tidak rapi. Atau kadang saya lihat juga dia duduk-duduk saja di bangkunya.

“Who you are is defined by the values you are willing to struggle for.” Begitu bunyi salah satu quote yang pernah saya baca. Jika memang begitu, maka Polce Pello dengan segala perjuangannya untuk tetap berprestasi di sekolah layak didefinisikan sebagai inspirator. Sekali lagi, walaupun ceritanya tidak sama 100% dengan Lintang, Polce adalah gambaran nyata Lintang yang bisa saya lihat di kelas setiap saat. Satu harapan saya, semoga cerita Polce nanti tidak berakhir seperti cerita Lintang yang kemudian berhenti sekolah. Semoga tidak. Amin.

Terima kasih Polce!

nb: Polce (berbaju ungu) bersama dua murid Oelangga lainnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua