Refleksi Seorang Guru #1: Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya

Senza Arsendy 20 Agustus 2014

Mungkin Anda ingat gambar di atas? Namun sebaiknya abaikan dulu gambar tersebut. Saya akan bercerita dahulu tentang pengalaman saya menjadi guru di kelas 4, di minggu pertama.

Bersamaan dengan berakhirnya subtema 1 tentang Keberagaman Budaya Bangsaku, maka berakhir juga minggu pertama saya menjadi guru di kelas 4. Ya, setelah beberapa minggu belum mendapat kejelasan tentang apa dan kelas berapa yang harus saya ajar akhirnya minggu lalu saya ditunjuk menjadi guru di kelas 4. Sungguh saya bersyukur, Alhamdulillah!

Walaupun kepala sekolah hanya menunjuk saya untuk sementara waktu menjadi guru kelas 4—menggantikan guru PNS yang sedang sakit stroke, saya senang bukan main. Seenggaknya peran saya di sekolah (akan) mulai jelas. Nggak seperti beberapa minggu awal ini yang kayanya saya lebih terlihat seperti jelmaan Vicky Burky dibanding Pengajar Muda yang hobi banget ngajak anak senam untuk “dapet peran” supaya ngerasa berguna.

Nge-ra-sa berguna. Datang ke sekolah luntang-lantung tanpa kejelasan mau ngapain kadang bikin ngerasa nggak guna. Saat itu saya baru benar-benar merasakan makna “seperti butiran debu” yang sesungguhnya. Lebih-lebih jika mendengar kabar PM lainnya yang sudah mulai sibuk dan asik dengan pasukannya.

“Saya ngajar kelas rangkap karena jarang ada guru yang datang.”

“Saya ngajar kelas IV, lalu ngajar SMP juga. Lalu malemnya mengajar mengaji.”

“Saya ngajar bahasa Inggris dan Matematika.”

Dan saya hanya bisa menjawab “Nggak tau nih, belum rapat sekolah. Jadi ngajarnya tergantung kelas mana yang kosong deh” jika rekan PM lainnya bertanya balik terkait kesibukan saya di sekolah. Meminjam istilah PM terdahulu, saya seperti serpihan biskuit Khong Guan yang sudah tertutup kue baru bernama Rengginang. Kecil dan terabaikan. Namun, Alhamdulillah kondisi demikian berakhir awal minggu lalu.

Walaupun malam sebelum sekolah saya menjadi lebih sibuk—harus mempersiapkan materi ajar, RPP, dan hal lain yang harus disampaikan di kelas, saya merasa malah menjadi lebih bersemangat. Semangat ini jugalah yang mendorong saya untuk bisa mengaplikasikan K13 yang susah-susah gampang. Kurikulum 2013 mengharuskan setiap guru menyampaikan materi ajar secara terintegrasi ke murid. Menjadi sangat PR jika materinya nggak nyambung sama sekali sehingga guru harus sok nyambung-nyambungin. Seperti misalnya materi PJOK (olahraga) yang digabung dengan PKN: menggabungkan materi permainan tradisional dengan nilai-nilai Pancasila. Harus muter otak lebih kencang supaya bisa menggabungkan keduanya.

Terlepas dari susah-susah gampang mengaplikasikan K13 di kelas 4, minggu ini saya merasakan keseruan mengajar anak SD. Jika sebelumnya ruang aktualisasi diri saya terbatas, mengajar kelas 4 ini memberikan saya ruang untuk mengaplikasikan apa-apa saja yang telah saya dapat di pelatihan seperti teknik mengajar kreatif dan teknik manajemen kelas. Beberapa materi ajar juga sudah saya sampaikan. Selain permainan tradisional dan Pancasila, di minggu pertama saya juga sudah menyampaikan materi tentang segi banyak, bunyi, kebudayaan, dan poster. Cukup menantang, namun tetap menyenangkan. Minggu pertama kemarin saya tutup dengan mengajak murid “Bermain dengan Soal”. Alhamdulillah dari situ saya tau bahwa usaha saya yang lebih seminggu ini membuahkan hasil.

Selain menjadi ajang aktualisasi diri sebagai guru, seminggu mengajar di kelas 4 juga membangkitkan memori saya terkait pengalaman saya di sekolah dasar beberapa tahun lalu. Hal inilah yang kadang suka bikin saya senyum-senyum di kelas. Gambar di atas adalah salah satu ingatan yang muncul. Oke saya akan mulai menceritakan hasil refleksi saya.

1.    Setiap murid ingin jadi pahlawan. Anda pernah duduk di sekolah dasar? Lebih spesifik, Anda duduk di sekolah dasar negeri? Lebih spesifik lagi, Anda duduk di sekolah dasar negeri dan menggunakan blackboard? Jika jawabannya ya, saya bisa menebak bahwa sekolah Anda menggunakan kapur di atas? Ya begitu juga di SD Inpres Bandu. Dari keenam kelas yang ada, lima kelas di antaranya—termasuk kelas saya masih menggunakan blackboard dan menggunakan kapur yang sama (dimana di kotaknya ada anak mengenakan topi wisuda). Saya jadi ingat waktu SD dulu sering sekali rebutan dengan teman lainnya jika guru berteriak “Tolong ambilkan kapur di kantor!” Ternyata hal ini terjadi juga di kelas saya. Suatu hari kapur habis di kelas, saya meminta murid membantu ambil di kantor. Banyak murid berebut untuk membantu saya mengambilkannya. Begitu juga yang terjadi jika saya meminta tolong murid untuk menghapus blackboard. Persis dengan yang saya alami ketika SD.

2.    Keringat setelah istirahat adalah suatu keniscayaan. Sejak awal minggu mengajar saya meminta murid saya tidak banyak beraktivitas fisik saat beristirahat. Saya takut mereka lelah lalu berkeringat sehingga menganggu konsentrasi mereka saat belajar lagi. Sayangnya walaupun berkali-kali dihimbau, sulit sekali mencegah mereka tidak berlebihan melakukan aktivitas fisik. Mayoritas murid pria bermain bola atau mencari kelapa di hutan, sementara wanita bermain bola lempar. Alhasil ketika mereka masuk ke dalam kelas setelah istirahat, mereka semua berkeringat yang kemudian membuat aroma kelas menjadi sangat beraneka ragam. Saat merasakan aroma yang semerbak itu saya mulai paham mengapa guru SD saya juga melarang saya dan teman-teman bermain kejar-kejaran saat istirahat. Namun, seperti juga murid-murid saya. Saat itu kami mengabaikan larangan itu dan melanjutkan permainan Polisi-Maling setiap istirahat, bahkan sampai berlari keluar sekolah dan berkeliling di kampung dekat sekolah. Jangan coba bayangkan bagaimana keringat kami. Jika di kelas rendah, guru harus siap dengan ingus. Maka sebagai penggantinya, guru di kelas besar harus siap dengan keringat.

3.    Berbicara adalah kebutuhan setiap murid, pelarangan bicara di dalam kelas harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemuridan. Benar mungkin ungkapan jangan terlalu berharap karena nanti kekecewaan akan datang. Bagi saya jangan terlalu berharap murid akan banyak diam karena itu mustahil terjadi. Beberapa kali saya menunda pembelajaran hanya untuk menjelaskan kepada murid-murid untuk tidak banyak berbicara di dalam kelas. Semakin sering saya melakukan itu, semakin sering juga saya menghela nafas karena tidak lama setelah dijelaskan mereka kembali banyak berbicara. Ada saja topik yang mereka bicarakan. Kadang saya tidak  terlalu paham karena mereka menggunakan bahasa Rote. Momen ini juga mengingatkan saya pada zaman SD. Walaupun berkali-kali saya mendapat nilai C untuk kolom perilaku karena terlalu banyak bicara saat kelas berlangsung, saya tidak bisa menghentikan hasrat untuk berbicara di kelas. Nggak heran kalo saya sering diminta duduk di baris depan. Mungkin memang bisa jadi, berbicara adalah kebutuhan setiap murid SD. Termasuk murid-murid saya di kelas 4. Dan kebutuhan mereka akan langsung hilang jika saya meminta mereka untuk berbicara—menjawab pertanyaan saya. Mereka langsung menutup mulut, seolah ingin menyembunyikan istana dalam mulutnya dari serangan gerandong.

4.    Bangun pagar Cina sebelum mengerjakan tugas. Mungkin Anda juga pernah melakukan ini: menjadikan buku pagar Cina, sebuah pagar yang bisa menutupi hasil kerja Anda dari penglihatan teman sebangku. Hal ini saya lakukan ketika SD, dan ternyata juga dilakukan oleh murid saya. Tidak lama ketika saya meminta mereka mengerjakan sesuatu di buku tulisnya, mereka sigap langsung membangun pagar Cina anti sontek. Herannya pagar itu tidak saja diperuntukkan ke teman sebangku melainkan juga ke gurunya. Alhasil saya kesulitan memonitor apa yang mereka kerjakan. Jawaban mereka ibarat helaian rambut seorang Muslimah yang harus ditutup rapat-rapat dengan jilbab kreasi dari penglihatan pria-pria. Sungguh heran karena nantinya juga saya akan melihat apa yang mereka kerjakan.

5.    Murid dapat banyak berbicara, juga berlari kencang. Namun mereka tidak dapat menahan kencing untuk waktu yang terlalu lama. Sebenarnya saya malu mengakui ini, sekitar kelas 3 SD saya sempat kencing di celana. Momen yang sepertinya sangat merusak konsep diri saya ketika itu. Jika adalah istilah “saya kotor” pada saat itu barangkali saya akan kencang-kencang teriak itu di depan guru saya yang melarang saya ke kamar kecil karena beliau kira saya bercanda. Saking malunya, saya baru pulang setelah saya memastikan bahwa tidak ada satu pun murid di sekolah. Berbekal pengalaman itu, selama seminggu kemarin saya selalu mengizinkan murid yang meminta izin ke kamar mandi. Berapa pun seringnya mereka meminta izin—dan kenyataannya memang sering, saya selalu mengizinkannya untuk secara bergantian ke kamar mandi. Saya paham bahwa menahan kencing bagi seorang murid SD bukan perkara yang mudah. Maka jika harus ada yang mengalir, mengalirlah. Karena menahan aliran hanya akan membawa malapeteka.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya saya kira cukup tepat untuk menggambarkan hasil refleksi saya seminggu kemarin. Murid saya suka mengambil kapur, menghapus papan tulis, berkeringat, berbicara, membangun pagar Cina, dan sulit menahan kencing. Begitu juga saya, semuanya saya alami ketika saya menjalani masa SD di Jakarta. Kali ini Indonesia Mengajar tidak saja membuat saya belajar namun juga berefleksi sambil mengingat momen-momen konyol yang saya alami di SD. Semoga refleksi saya membuat saya bisa jauh lebih memahami pasukan saya di kelas 4. Mari kembali mengajar sambil bernostalgia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua